Wednesday, March 28, 2007

e-mail untuk pendukung lesbianisme

Di bawah ini adalah e-mail saya yang menanggapi salah satu anggota milis Forum-Pembaca Kompas dengan subjek "Lesbian: Begitu Tabunya?". E-mail itu isinya artikel dengan judul yang sama yang diambil dari situs Jurnal Perempuan. Jurnal Perempuan, yang saya tahu, adalah media yang mempromosikan isu-isu kesetaraan gender/feminisme. Mohon maaf, bukannya saya alergi dengan feminisme, tapi banyak hal yang mereka perjuangkan sangat sulit masuk di logika saya. Salah satunya ya yang satu ini, pro terhadap lesbianisme/homoseksualitas (yang pada waktu yang sama, mereka membenci -- hingga ke sum-sum tulang -- praktik poligami).

Bagaimanapun, ini pandangan saya berdasarkan hal-hal yang saya tahu. Lagi pula, tidak semua yang diperjuangkan oleh kaum feminis itu buruk. Jadi, hal-hal yang baik darinya (hikmah) tentu akan saya ambil. Karena hikmah itu perbendaharaannya orang muslim, ambillah dia sekalipun keluar dari lisan seorang kafir.

Wallahu 'alam.


Mbak yth,

Sudah menjadi hukum Tuhan tiap mahluk/hal di dunia itu diciptakan berpasang-pasangan. Mengikuti logika mbak yang pro lesbianisme/homoseksualitas ini, setiap insan lesbian/homoseks pun mempunyai pasangan lesbian/homoseksnya masing-masing.

Nah, kalau mbak konsisten dengan pandangan seperti itu, sudah seharusnya mbak sebagai pendukung/pecinta lesbianisme/homoseksualitas juga gak perlu protes kalau ada orang-orang yang tidak mendukung/membenci pilihan hidup orang-orang yang menganutnya. Memaksakan orang-orang untuk mendukung atau setidak-tidaknya menerima lesbianisme/homoseksualitas itu berarti mbak gak konsisten dengan pluralitas itu sendiri. Jadi, mbak juga harus menerima dengan lapang dada orang-orang yang menolak itu.

Lagi pula, menurut saya, sangat tidak pada tempatnya kalau lesbianisme/homoseksualitas itu disamakan dengan anak bindeng atau orang kulit hitam. Insya Allah, itu salah besar mbak. Agama yang saya anut, Islam, tidak menghukum orang karena dia bindeng atau berkulit hitam. Di mata Islam, semua manusia sederajat, dan manusia yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Nah, kalau ada orang-orang yang membenci lesbianisme/homoseksualitas itu karena agama juga membencinya, mbak.

Tapi, toh kalau menurut mbak lesbianisme/homoseksualitas adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan, silahkan diperjuangkan, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Kalaupun perjuangannya sangat berat (karena sudah ribuan tahun kayaknya lesbianisme/homoseksualitas tidak pernah diterima masyarakat luas) yah anggaplah itu harga dari sebuah perjuangan. Kalau dikucilkan pun tidak usah berkecil hati, mbak. Karena jika mbak konsisten bahwa apa yang mbak lakukan/yakini itu benar menurut Tuhan yang mbak yakini dan menurut nurani mbak, apalah arti pandangan orang lain?

PS: Numpang tanya, mbak, kira-kira apa hukumnya kalau pasangan lesbianisme/homoseksualitas itu melakukan poligami dengan pasangan sejenis juga? Mohon maaf mbak kalau pertanyaan saya ini bodohnya tidak ketulungan.

salam,

amrie

2 comments:

spew-it-all said...

Sesungguhnya penolakan terhadap homoseksualitas itu bukanlah sifat homoseksual yang dianggap menentang alam (crimes against nature, begitu seringkali disebut). Penolakan itu sendiri tak lebih merupakan pada konstruksi sosial dimana mereka yang dominan dalam masyarakat menentukan apa yang normal dan apa yang tidak. Dalam hal ini, homoseksual dianggap sebagai 'kelainan'.

Homoseksual itu sendiri muncul sebagai identitas kultural pada akhir abad 19 setelah seksualitas muncul sebagai isu politik di akhir abad 19.

Di Indonesia, penolakan itu sendiri dikaitkan dengan paham dalam agama. Dalam ilmu kultural and sosial, agama dianggap sebagai salah satu aspek yang membantu mengkonstruksi makna homoseksualitas itu sendiri.

Mengapa saya mengatakan bahwa homoseksual itu adalah identitas? Sebab identitas sekarang ini tidak lagi dimengerti sebagai sesuatu yang baku dan jadi. Identitas itu cair dan mudah beruba. Arman atau Siti bisa memiliki lebih dari satu identitas: Islam atau Kristen atau Buddha, perempuan atau laki-laki, kaya atau miskin, tua atau muda, Jawa atau Kalimantan, progresif atau konservatif dan sebagainya. Di sini bisa terlihat bahwa identitas itu sendiri mencakup aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural. Dan seksualitas sudah diangap menjadi bagian dari identitas itu sendiri.

Kebenaran said...

Stupid you are blog

http://sangkebenaran.blogspot.com/