Wednesday, February 27, 2008

akhir yang baik

Salah satu kaidah dalam memberikan nama kepada anak kita, dari yang saya tahu, adalah menghindari mengambil nama dari seseorang/tokoh yang masih hidup. Alasannya adalah karena kita belum mengetahui bagaimana akhir dari hidup dan kehidupan orang itu. Jika hari ini seseorang dielu-elukan karena kelurusan pribadinya, belum tentu dia akan tetap lurus hingga ajal menjemputnya.

Dalam bingkai yang lebih besar, kaidah di atas menyimpan pesan bahwa setiap manusia yang masih bernafas itu belum final. Orang yang baik belum final kebaikannya dan orang yang jahat juga belum final ke-jahat-annya. Karena itu, kalau ada orang yang kita anggap baik, tolonglah jangan terlalu mengultuskannya atau memuji-mujinya sampai ke langit. Begitu juga, kalau ada orang jahat cukup dicela perbuatannya saja, iya perbuatannya saja, karena orangnya sewaktu-waktu bisa berubah baik.

Dalam konteks ini ada contoh yang baik yang dapat diambil dari Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau memiliki beberapa putra yang diberi nama mengikuti nama sahabat-sahabat utama Rasulullah di antaranya Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Hal demikian beliau lakukan selain sebagai tanda kecintaan Imam Ali kepada ketiga khalifah yang lurus (khulafa ar-rasyidin) itu, tapi juga karena ketiganya tetap lurus hingga akhir hayat mereka.

Saya misalnya, di satu sisi termasuk salah satu orang Indonesia yang mengagumi Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad. Tapi di sisi lain, saya agak menahan diri untuk memberi nama anak saya, kalau dia laki-laki misalnya, dengan 'Ahmadinejad'. Mungkin saya akan mengambil satu atau lebih sifat baik yang saya kagumi dari Ahmadinejad, untuk dijadikan nama anak saya kelak. Sifat-sifat baik, seperti pemberani, bijaksana, adil, atau lemah-lembut, bisa dimiliki dan harus dicita-citakan untuk dimiliki oleh siapa saja.

Akhirnya, kita diajarkan untuk berdoa agar Tuhan menganugerahkan kita akhir yang baik (husn al khatimah), dan agar kita dapat menjadi teladan bagi orang lain, bukan cuma hari ini, tapi juga sampai ujung usia kita. Wallahu 'alam.

Thursday, February 14, 2008

hari patah hati

Kahlil Gibran pernah menulis, "Ketika engkau bersedih tengoklah kembali ke dalam hatimu, maka engkau akan mendapati bahwa sesungguhnya engkau sedang menangisi sesuatu yang sebelumnya adalah (sumber) kebahagiaanmu."

Patah hati adalah proses yang wajib, otomatis, dan tidak bisa tidak (pasti) dilalui setiap orang yang jatuh cinta. Kalau hari ini cinta membuat anda tersenyum, maka suatu hari nanti, mungkin besok, cinta juga yang akan membuat anda meratap.

Jika kita berani untuk merayakan hari cinta, hari kasih-sayang, kita seharusnya juga tidak ragu untuk merayakan hari patah hati. Karena patah hati juga punya hak penuh untuk dirayakan. Karena patah hati lahir dari rahim cinta.

Hari ini, merataplah untuk mereka yang jatuh cinta, dan bersuka-citalah untuk dia yang patah hati. Yang jatuh cinta, akan patah hatinya. Dan yang patah hati akan jatuh cinta lagi. Kepadamu, duhai patah hati, hari ini aku nyatakan cintaku.

Tuesday, February 12, 2008

'kita sudah kaya, sayang'

Mintalah hati yang damai, entah apa pun yang terjadi dalam hidupmu. ~ Anthony de Mello, Burung Berkicau

Salah satu buku yang merupakan koleksi terbaik saya adalah Burung Berkicau karangan Anthony de Mello SJ. Burung Berkicau hampir pasti disukai juga oleh mereka yang menyukai buku-buku filsafat atau tasawuf. Burung Berkicau boleh jadi disukai pula oleh mereka yang menyukai bacaan-bacaan yang mengusung pluralisme dan inklusifitas, terutama dalam beragama.

Pater de Mello adalah penulis yang berlatar belakang agama Katolik Jesuit. Tapi, Burung Berkicau - serta juga dua buku de Mello yang lain yaitu Doa Sang Katak dan Berbasa Basi Sejenak -- seperti yang ditulis dalam pengantar situs isnet.org, tidak dimaksudkan pengarangnya sebagai pegangan untuk mengajarkan doktrin atau dogma Kristen kepada umat beriman Katolik.

Menurut sumber yang saya baca, Pater de Mello memang terkenal sebagai sosok guru yang jago bercerita. Seseorang yang sepertinya dekat dengannya mengatakan bahwa murid-muridnya senang mendengar cerita-cerita de Mello yang tidak kunjung habis. De Mello wafat pada 2 Juni 1987 di New York.

Burung Berkicau sendiri adalah buku yang berisikan 70 kisah dari berbagai tradisi agama, mulai dari Katolik, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, sampai Konghucu. Kisah-kisah dalam Burung Berkicau lebih singkat dibandingkan yang ada di Doa Sang Katak, tapi relatif lebih panjang daripada yang terdapat dalam Berbasa-Basi. Tapi, ketiga buku itu sama baiknya, menurut saya.

Ini salah satu kisah favorit saya dari Burung Berkicau:

"Suami:

'Manisku, aku akan bekerja keras supaya pada suatu saat kita akan menjadi kaya.'

Isteri:

'Kita sudah kaya, sayang, karena kita saling memiliki. Kelak mungkin kita akan mempunyai banyak uang juga.'"

Bagian dari kesenangan saya adalah merekam, dari bacaan-bacaan, kata-kata singkat yang (saya anggap) indah dan dalam maknanya. Saya juga mencoba merekam beberapa kata-kata singkat dari Burung Berkicau.

Bagaimanapun, Saya sama sekali tidak bermaksud untuk merangkum isi dari buku itu menjadi hanya 20 butir kalimat saja. Usaha ini boleh dianggap sebagai "godaan" kepada teman-teman yang untuk menyelami samudera kearifan dalam Burung Berkicau.

  1. Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya. Pandanglah saja.
  2. Aku sungguh berniat mengisi jubahku dengan bunga-bunga. Dan bila kembali pada kawan-kawanku, aku bermaksud menghadiahi mereka beberapa kuntum bunga. Tetapi ketika aku di sana, keharuman taman itu membuatku mabuk, sehingga aku menanggalkan jubahku.
  3. Orang yang tahu, tidak banyak bicara. Orang yang banyak bicara, tidak tahu.
  4. Kepercayaan yang kaku dapat memutarbalikkan kebenaran.
  5. Jauh lebih mudah percaya kepada dewa-dewa berhala ciptaan kita sendiri, kalau kita berhasil meyakinkan orang lain, bahwa dewa-dewa memang ada.
  6. Pada mulanya aku berharap dapat mengubah mereka. Kini aku masih terus berseru, agar supaya mereka jangan mengubah aku!
  7. Agama yang jelek memperkuat kepercayaannya akan jimat. Agama yang baik membuka matanya untuk melihat, bahwa setan-setan tidak ada.
  8. Bukanlah penghargaan bagi seorang pembimbing rohani, bahwa para murid selamanya duduk bersimpuh di depan kakinya.
  9. Sekarang aku tahu, bahwa aku tidak dapat benar-benar berubah, sebelum aku menemukan orang yang tetap akan mencintaiku, entah aku berubah atau tidak.
  10. Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja.
  11. Jika engkau mencari kebenaran, engkau berjalan sendirian. Jalan ini terlalu sempit untuk kawan seperjalanan. Siapakah yang dapat tahan dalam kesendirian itu?
  12. Seandainya aku membatasi diri dan hanya mengkhotbahkan apa yang kupraktekkan, maka aku tidak begitu munafik lagi.
  13. Kehilangan nama? Tidak banyak berbeda dengan kehilangan kontrak yang mau ditandatangani dalam mimpi.
  14. Simpanlah hartamu dan tinggalkan si 'aku'. Jangan membakar tubuhmu, bakarlah 'ego'mu! Cinta akan muncul dengan sendirinya.
  15. Cinta itu tidak mengingat-ingat kesalahan.
  16. Ia menjadi jauh lebih indah justru karena tidak menyadari keindahannya. Dan ia menarik perhatianku, justru karena tidak berusaha untuk memikatku.
  17. Kebanyakan orang memerlukan seorang suci untuk disembah dan seorang guru untuk dimintai nasehat. Ada persetujuan diam-diam: 'Engkau harus hidup sesuai dengan harapan kami, dan sebagai gantinya kami akan menghormatimu.'
  18. ‘Kita sudah kaya, sayang, karena kita saling memiliki. Kelak mungkin kita akan mempunyai banyak uang juga.'
  19. Mintalah hati yang damai, entah apa pun yang terjadi dalam hidupmu.
  20. Setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia. Hampir tak seorang pun berpikir bagaimana mengubah dirinya.

Monday, February 11, 2008

john rambo

Trautman: Oh you're the one who's making the mistake.
Murdock: Yeah? What mistake?
Trautman: Rambo.

~ Rambo II.

Akhir pekan yang lalu saya nonton film John Rambo (Rambo IV) tidak di bioskop, tapi di rumah. Meskipun tidak seenak nonton di bioskop, tapi lumayan bisa dinikmati. Sebelumnya, banyak teman yang bilang, Rambo IV bukan film bagus. Saya percaya dengan itu karena saya memang dikecewakan dengan proyek Sylvester Stallone sebelumnya, Rocky Balboa (sebaliknya, Rocky Balboa banyak dipuji orang).

Tapi ternyata, Rambo IV tidak seburuk yang diceritakan. Saya tidak bilang film itu sangat bagus, hanya tidak sejelek penilaian sebagian teman-teman. Sebagai film laga, buat saya, Rambo IV tetap masih lebih memuaskan daripada Hitman misalnya atau, yang lebih menyedihkan lagi, The Marine. Tapi, ketiga film itu punya sedikitnya satu kesamaan, ending yang buruk.

Selain Rambo IV, saya juga pernah melihat beberapa film lain yang oleh kritikus atau kebanyakan orang dinilai buruk, tapi kenyataannya sama sekali tidak seburuk yang orang katakan. Shark Tale adalah salah satunya. Mungkin saja Shark Tale tidak sebaik Finding Nemo, film animasi yang sama-sama menjadikan mahluk-mahluk laut sebagai tokoh-tokoh utamanya, tapi Shark Tale, menurut saya, tidak kalah berbobot dan menghibur.

Seperti juga Finding Nemo yang saya tonton nyaris selusin kali, Shark Tale juga sarat akan pesan moral yang disampaikan dengan menghibur dan jauh dari membosankan. Salah satunya adalah mengenai arti dan harga dari sebuah popularitas. Popularitas oleh film ini diartikan sebagai sesuatu yang bisa dicapai tanpa kerja keras, atau hanya melalui kebetulan semata.

Dan, Shark Tale juga memotret kecenderungan banyak orang, termasuk kita sendiri, yang menjadikan popularitas sebagai tujuan utama. Popularitas dianggap sebagai sumber kebahagiaan. Karena, bersama popularitas datang berbagai kemudahan. Karena populer, teman atau lebih tepatnya orang-orang yang mengaku sebagai teman pun menghampiri dari semua penjuru mata angin.

Oscar, si ikan kecil tokoh utama Shark Tale, belajar bahwa dia tidak perlu menjadi ikan yang populer, ikan yang tinggal di puncak terumbu karang sebagai simbol kemewahan, untuk menjadi "somebody". Karena tanpa Oscar sadari, selama ini dia adalah "somebody" bagi Angie yang mencintainya. Buat Angie, Oscar bukanlah "nobody" dan Angie tetap menyayangi Oscar sekalipun dia adalah "nobody".

Kita bisa juga belajar dari John Rambo yang low profile dan lebih banyak kerja daripada bicara. Rambo diceritakan pernah jadi kuli sukarela di sebuah biara di Thailand (Rambo III), di Rambo IV, dia dikisahkan sebagai tukang perahu di pedalaman Thailand. Meski demikian, Rambo adalah penolong bagi orang lemah dan malaikat maut bagi para penindas.

Dari John Rambo, kita dapat belajar untuk tidak menganggap remeh orang lain. Karena, mungkin saja yang terlihat oleh kita sebagai tukang somay atau tukang gorengan atau tukang layangan, boleh jadi orang tersebut adalah semacam Rambo yang senantiasa siap untuk menendang pantat para penjahat jika dibutuhkan..