Wednesday, April 30, 2008

friends and foes


"No matter how good you are, don't ever let them see you coming. That's the gaffe, my friend. You gotta keep yourself small. Innocuous. Be the little guy. You know, the nerd... the leper... shit-kickin' surfer. Look at me."

~ The Devil's Advocate

Berdasarkan pengalaman hidup sejauh ini, makin hari saya makin mengerti betapa pentingnya menjaga perkataan kita. Selain kita harus berhati-hati memilih setiap kata yang akan kita ucapkan, kita juga perlu benar-benar memerhatikan kepada siapa kata-kata itu kita ucapkan. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa penyesalan karena tidak mengatakan sesuatu adalah lebih baik daripada penyesalan karena telah mengatakan sesuatu.

Dari pengalaman hidup sejauh ini, saya juga berkali-kali menemukan bukti betapa benarnya anjuran agar kita tidak mencintai seseorang kecuali sekadarnya saja karena suatu saat mungkin kita akan membenci dia, dan tidak membenci seseorang kecuali sekadarnya saja, karena suatu saat mungkin kita akan mencintai dia. Beruntunglah jika kita belum pernah membenci orang yang dahulu teramat sangat kita cintai, atau sebaliknya mencintai orang yang dahulu kita benci.

Kita sepertinya juga perlu meninjau ulang mengenai siapa saja "orang-orang yang PALING PERLU diwaspadai" dan "orang-orang yang PALING TIDAK PERLU diwaspadai". Saya pribadi berpendapat bahwa "orang-orang yang PALING TIDAK PERLU diwaspadai" JAUH LEBIH PERLU diwaspadai daripada "orang-orang yang PALING PERLU diwaspadai". Bukankah musuh yang paling berbahaya adalah yang (kita anggap) paling dekat dengan kita?

Sepertinya, kita juga perlu mewaspadai orang-orang yang memiliki kepatuhan yang melampaui batas-batas yang wajar kepada kita, orang-orang yang (mempertontonkan secara gamblang) kecintaan mereka yang berlebih-lebihan kepada kita. Orang-orang yang demikian, menurut hemat saya, tidak kalah berbahayanya daripada orang-orang yang sering menunjukkan oposisi, penentangan mereka kepada kita. Kelompok yang disebut pertama cenderung melengahkan, dan yang terakhir justru membuat kita selalu terjaga. Wallahu 'alam.

Monday, April 28, 2008

signature

"Jadi bos itu nggak gampang," begitu yang pernah dikatakan salah satu teman. Setiap bos punya gaya atau signature masing-masing dalam mengelola kantornya dan juga para bawahannya, dia juga bilang begitu. Mungkin teman saya itu memakai kata signature (tandatangan) untuk menyebut ciri atau gaya khas seseorang yang sangat jarang ditemui pada orang lain (dan karenanya membedakan dia dari orang lain).

Banyak bos yang punya gaya atau pembawaan khas yang dirasakan nyaman oleh para bawahannya. Tapi, tidak sedikit juga bos yang punya gaya atau pembawaan yang sulit untuk diterima dengan baik oleh para bawahannya. Mungkin jenis bos yang disebut terakhir itulah yang paling sering dihindari kebanyakan orang. Apalagi, yang namanya signature atau pembawaan, pada umumnya sangat sulit untuk diubah.

Teman saya yang tadi itu juga bilang, kalau ada bawahan yang tidak bisa menerima gaya kepemimpinan dari bosnya itu, sebaiknya dia bersabar, karena siapa tahu bosnya itu akan berubah. Dan, kalau bosnya itu masih belum berubah dan si bawahan sudah tidak tahan dengan dia (karena itu memang sesuatu yang hampir mustahil berubah), sang bawahan setidaknya punya dua pilihan; (belajar) menerima dengan tanpa syarat gaya bosnya itu, atau keluar dari kantor tersebut.

Sementara itu, teman saya yang lain menceritakan pengalamannya memiliki bos yang barangkali memenuhi syarat untuk disebut "bos baik hati". Baik hati karena bosnya sering mentraktir makan bawahannya, kapan saja kalau diminta. Saya sendiri tidak tahu apakah itu dilakukan oleh sang bos karena pembawaannya yang memang murah hati atau hanya untuk mengambil hati bawahannya.

Saya tadinya berpikir jenis bos yang begitulah yang ideal, karena baik kepada bawahannya. Tapi ternyata teman saya bilang, bosnya itu disenangi karena mudah "disetir" bawahannya. Dari nada bicara teman saya, saya membaca kalau model kepemimpinan yang demikian tidak bisa disebut ideal. Teman saya juga setuju dengan pendapat teman saya yang satu lagi bahwa tiap bos punya signature yang terkadang tidak bisa diukur dengan timbangan "benar-salah".

Jadi, sepertinya benar perkataan bahwa jadi bos itu tidak gampang. Dan, tidak gampang pula menemukan bos yang benar-benar sesuai dengan selera kita. Mungkin yang perlu kita sadari bahwa setiap bos itu pada hakikatnya adalah bawahan juga. Kalau ada bos yang menganggap dan bertingkah-laku seolah-olah dia orang yang paling berkuasa di jagad raya ini, orang seperti itu tidak perlu kita sumpahi, tapi sepatutnya kita kasihani dan doakan supaya penyakitnya sembuh.

Dan, kita sebagai bawahan juga sebaiknya tidak main mutlak-mutlakan. Bos atau atasan mutlak salah, mutlak zalim, dan sebaliknya, kita sebagai bawahan mutlak benar dan mutlak dalam keadaan ditindas atasan. Imam Ali suatu kali pernah mengatakan kurang lebih, "Dahulu saya kira hanya penguasa yang dapat berbuat zalim kepada rakyat. Ternyata, rakyat juga dapat berbuat zalim terhadap penguasa".

Di akhir tulisan ini saya kutipkan salah satu resep Imam Ali yang sangat bermanfaat, sangat mudah diterapkan oleh kita -- yang pada hakikatnya adalah pemimpin (meski bukan bos, seperti halnya tidak semua bos adalah pemimpin) -- dan sangat perlu menjadi signature kita:

"Campurlah ketegasan dengan kelembutan. Bersikap lunaklah ketika kelunakan lebih memadai, dan bersikap tegaslah ketika ketegasan dibutuhkan. Rendahkan sayapmu bagi rakyatmu. Cerahkan wajahmu di hadapan mereka. Lembutkan sikapmu untuk mereka. Jangan membeda-bedakan perlakuanmu di antara mereka, baik dalam perhatian, tatapan, isyarat maupun ucapan salam. Sehingga dengan demikian "orang-orang penting" tidak mengharapkan penyelewenganmu demi kepentingan mereka; rakyat kecil pun takkan putus asa akan keadilanmu dalam memerhatikan nasib mereka."

Monday, April 21, 2008

'suara lembut'

"We were together, alone, close to an extent beyond description. I was not crying - the tears came later. Each of us was before the other; unknown & united as we had been at the beginning of our journey. In this last unity, in the midst of this very close familiarity, I talked to him, kissing that forehead that was so noble and handsome, on which age and pain had not succeeded to carve any wrinkles, and no adversity had managed to cause to frown - a forehead that still emanated light."

Kalimat itu adalah sebagian kesaksian yang ditulis seorang istri mengenang almarhum suami yang sangat ia cintai. Kata-kata itu ditorehkan oleh Suzanne dalam buku berbahasa arab berjudul "Ma'ak" (Bersamamu) yang dia persembahkan untuk mendiang suaminya, Taha Hussein (di Indonesia sering ditulis Taha Husain). Ma'ak hingga sekarang dikenal sebagai buku yang sangat menyentuh yang bercerita tentang kehidupan dan kebersamaan mereka.

Saya tidak mengenal Suzzane, tapi saya mengagumi suaminya. Saya pertama kali "mengenal" Taha Hussein saat masih di bangku kuliah, tepatnya pada salah satu hari ketika saya menghabiskan waktu di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok, beberapa tahun ke belakang. Saya mengenal cendekiawan berkebangsaan Mesir itu lewat salah satu karya besarnya yaitu "Fitnatul Kubra" yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul "Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam".

Berdasarkan sumber yang saya baca, semasa hidupnya Hussein menulis sejumlah buku dan banyak artikel. Topik-topik tulisan Hussein pada umumnya mengenai literatur dan sejarah Islam, karya fiksi, serta politik. Hussein adalah seorang doktor filsafat. Hussein juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Mesir pada 1950. Hussein juga pernah menerima penghargaan di bidang hak asasi manusia dari PBB. Di atas itu semua, sebagian karya tulis Hussein sempat mengundang kontroversi dan tekanan dari kaum konservatif Mesir.

Hussein adalah seorang yang mengalami kebutaan sejak ia berusia tiga tahun. Keterbatasan indra penglihatannya nyaris tidak menjadi penghalang bagi Hussein untuk memperoleh pendidikan hingga ke jenjang doktoral. Sejarah baru Hussein sendiri dimulai dari pertemuannya dengan Suzzane saat dia menjalani kuliah di Prancis. Karena tidak banyak buku yang ditulis dengan huruf braile, Suzzane lah yang membacakan berbagai referensi untuk Hussein.

Suzzane, yang dipanggil Hussein dengan "suara lembut", kemudian menjadi istri, mentor, penasihat, asisten, dan ibu dari anak-anaknya. Hussein pernah mengatakan bahwa sejak pertama kali ia mendengar "suara lembut" Suzzane, "amarah tidak pernah lagi merasuk ke hatinya".

Hussein wafat pada Oktober 1973 dalam usia 84 tahun di rumahnya, sendiri, hanya ditemani Suzanne, si pemilik "suara lembut".

Monday, April 14, 2008

putus

Pernah, dulu sekali, saya begitu tidak bisa menerima kata "putus" yang diucapkan oleh seseorang yang waktu itu saya sangat sukai. Itulah kata "putus" pertama yang pernah saya terima dari seorang pacar. Kata "putus" dari pacar pertama mungkin memang tidak mudah diterima oleh kebanyakan orang. Apalagi, kata "putus" itu datang pada waktu yang sangat tidak kita harapkan.

Kata "putus" yang kita terima mungkin lebih mudah diingat daripada kata yang sama yang keluar dari mulut kita. Artinya, kita lebih sering (atau mungkin hobi) mengingat-ingat saat-saat kita disakiti orang daripada saat-saat kita menyakiti orang lain. Saya begitu juga. Tapi, rasa-rasanya saya boleh bersyukur karena bukan termasuk orang yang menemukan kegembiraan dari perbuatan menyakiti (hati) orang lain.

Betul juga kalau dikatakan kalau kata "putus" tidak selalu menimbulkan efek yang sama kepada setiap orang atau pasangan, terutama dari pihak yang "diputuskan". Sudah lumrah terjadi kata itu malah sudah ditunggu lama. Dan, buat sebagian yang lain, kata "putus" jauh lebih indah daripada situasi "gantung". Kadang juga, kata "putus" merupakan bagian dari jawaban akan doa-doa kita karena apa yang terjadi setelahnya malah jauh lebih baik.

Kata "putus", tentu kita sudah tahu, bukanlah akhir dari sebuah hubungan, tapi sebaliknya merupakan awal. Karena, setiap awal itu adalah akhir, dan setiap akhir sejatinya adalah suatu awal. Artinya, boleh jadi benar bahwa "putus" mengakhiri satu hubungan (yang dulu), tapi kata itu juga menandakan lahirnya sebuah hubungan yang baru.

Kata "putus" harus diartikan putusnya hal-hal yang buruk yang pernah ada dalam sebuah hubungan. "Putus" sama sekali tidak boleh mengakhiri hal-hal baik yang sudah dibangun bersama-sama. Alasannya sebetulnya sederhana saja, segala hal yang putus pasti bisa disambung lagi. Bagi mereka yang memiliki pandangan yang jauh ke depan, "putus" justru dilihat sebagai satu tahapan penting dari dan demi (kematangan) sebuah hubungan.

Akhirnya, Saya ingin menutup curhat yang sangat tidak penting ini dengan sebuah kutipan yang sangat penting dari Ali bin Abi Thalib kw: "Bila kau berniat memutuskan hubungan dengan seorang kawan, tinggalkan kepadanya kenangan manis dirimu yang kelak akan membuka jalan kembali kepadamu di suatu saat, jika sewaktu-waktu ia ingin menjalin hubungan denganmu." Wallahu alam.

Wednesday, April 09, 2008

beyond victory


Bila kau beroleh kemenangan atas musuhmu, jadikanlah pengampunanmu atas dirinya sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan itu

~ Ali bin Abi Thalib

Saya tidak tahu mana yang paling membuat saya bahagia pagi ini, membaca apresiasi dari seorang sahabat terhadap tulisan saya yang berjudul "tentang politik, perang dan tipu muslihat" ataukah ulasan dia terhadap tulisan itu yang, menurut saya, begitu lugas, mencerahkan dan -- melebihi semuanya -- sangat menawan.

Dia sudah memberikan saya izin untuk menampilkan tanggapan yang dia sampaikan melalui e-mail di blog ini. Saya melakukan sedikit penyuntingan yang sangat kecil atas isi e-mail di bawah yaitu terkait tanda baca dan ejaan. Itu saya lakukan semata-mata untuk menambah keasyikan dalam membaca. Dan, karena saya merasa kurang afdhal kalau tulisan ini tidak berjudul, maka saya beranikan diri untuk menambahkan judul untuk e-mail sahabat saya itu. Selamat menikmati.

beyond victory

Tulisannya mantap sekali. Namun, ada sebuah kritik dari gw. IMHO (in my humble opinion, amr), Ada perbedaan kata "tipu muslihat" dalam ucapan Ali as: “Demi Allah, Muawiyah tidak lebih cerdik dari saya. Tetapi, ia menipu dan melakukan kejahatan. Sekiranya saya tidak benci penipuan, maka tentulah saya menjadi paling cerdik dari semua manusia. Tetapi, setiap penipuan adalah dosa, dan setiap dosa merupakan pendurhakaan terhadap Allah" dengan hadits Rasulullah yang berbunyi: "perang adalah tipu muslihat".

Tipu muslihat dalam kalimat Ali harus dibaca dalam makna sebenarnya, yaitu cara-cara menipu dalam melakukan konfrontasi perang atau langkah politik. Tentu yang disindir Ali as adalah beberapa perbuatan Muawiyah seperti suka menyuap seseorang dengan menggunakan uang negara agar mau mengikuti dan menjadi pembela Muawiyah, suka mengingkari janji, memutarbalikkan fakta, dan mengambil langkah-langkah yang menguntungkan secara politis walaupun melanggar hukum Islam.

Dengan kalimat Ali as di atas, seakan-akan Sayyidina Ali as ingin mengatakan kepada pengikutnya, bahwa Ali as mengetahui secara detail setiap tindakan Muawiyah. Dan jikalau langkah-langkah Muawiyah dibenarkan secara agama - suatu hal yang mustahil -, akan menjadi mudah bagi Ali as untuk mengikuti langkah-langkah Muawiyah dan mengalahkan Muawiyah. Namun, karena tujuan Ali as bukanlah memenangkan peperangan semata-mata, tetapi lebih tinggi dari itu, yaitu selalu konsisten di dalam jalan Allah dan Rasulullah.

Langkah Ali as yang selalu konsisten tersebut, dapat dibaca sesaat beliau as diangkat menjadi Khalifah. Langkah mula-mula yang beliau ambil adalah langsung memecat Muawiyah dan konco-konconya. Sebuah langkah yang mendapat tantangan dari orang terdekat beliau seperti Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menyarankan agar beliau menunda pemecatan tersebut, karena menurut pemikiran Ibnu Abbas, langkah tersebut tidak bisa dibilang cerdas.

Kekhalifan Ali as barulah seumur jagung, sedangkan kekuatan Muawiyah sudah ber-urat akar di Syuriah selama 12 tahun. Mencopot Muawiyah, sama saja memaklumkan perang. Tetapi, karena pribadi Ali as sangat berbeda jauh dengan pribadi Ibnu Abbas, tidak mengeherankan jika usul tersebut ditolak. "Demi Allah, aku tidak dapat membiarkan Muawiyah duduk di singgasananya walaupun satu detik, sementara aku membiarkan orang-orang tertindas di luar sana", jawab Sayyidina Ali.

Bagi Ali as, urusan Muawiyah tidak semata-mata urusan politik jikalau harus mengorbankan hak-hak orang banyak. Secara politis, langkah pemecatan Muawiyah jelas tidak cerdik. Ali as tentu sadar akan hal ini, walaupun tanpa bantuan pendapat Ibnu Abbas sekalipun. Tetapi, membiarkan Muawiyah duduk di singgasananya, sama saja melakukan penipuan dan melakukan kejahatan, karena ada hak-hak orang banyak di sana yang tertindas. Sekiranya, melakukan kejahatan dan penipuan itu kita sebut sebagai kecerdikan, dan penipuan itu dibolehkan oleh agama, maka Sayyidina Ali as tentulah manusia yang paling cerdik, sebagaimana klaim Ali as di atas.

Adapun maksud hadits Rasulullah yang berbunyi: "perang adalah tipu muslihat" adalah -- dalam laga peperangan -- anda dibolehkah melakukan strategi perang atau "tipu muslihat" perang demi meraih kemenangan. Tentu kata tipu muslihat berbeda makna dengan kata tipu muslihat dalam ucapan Ali as. Bukankah Rasulullah SAW melarang setiap prajurit perang untuk membakar tumbuh-tumbuhan, membunuh hewan-hewan, meracun sumber air, merusak ladang-ladang, membunuh anak-anak-wanita-orang tua dan membunuh para pemuka agama di tempat peribadatannya? Bukahkah Rasulullah melarang untuk mengingkari janji perdamaian dengan pihak musuh walaupun hal tersebut membawa keuntungan?

Jika "tipu muslihat" dalam makna sebenarnya dibolehkan, tentulah merusak ladang, meracun air, membunuh anak-anak-wanita-orang tua dibolehkan. Karena jika langkah tersebut dilakukan, pastilah akan membawa efek mematikan bagi pihak musuh. Jadi, tipu muslihat di sini haruslah dilihat dalam konteks strategi peperangan, sebuah strategi kapan saat yang tepat untuk menyerang, menyergap dan bertahan secara efektif dan efisien.

Begitulah yang saya pahami Amri...

Best regards

~subchan