Monday, August 18, 2008

alam

Namanya Alam. Dia boleh dikata sahabat saya. Salah satu yang terbaik. Dari dulu sampai sekarang, Alam nyaris selalu siap saya buat susah. Padahal, dia tidak pernah menyusahkan saya. Sepuluh tahun lebih saya berteman sama Alam. Dari dulu sampai sekarang, Alam selalu bikin saya seolah-olah dia tidak punya teman lain sehebat saya atau sesukses saya. Padahal, saya tidak hebat, apalagi sukses. Alam tidak pernah mengungkapkan kesedihan dia di depan saya. Bahkan, dia baru menceritakan kepada saya soal ibundanya yang wafat setelah berbulan-bulan kemudian. Orang macam apa yang tidak mengetahui musibah yang sedang menimpa sahabatnya? Sahabat macam apa saya? Tapi, Alam tidak pernah ambil pusing. Itu sifat dia. Tidak mau menyusahkan orang lain. Alam tidak pernah satu kalipun menempatkan saya di posisi di mana saya harus memilih di antara dua atau lebih pilihan sulit. Alam tidak pernah mau bikin orang lain pusing. Itu kebiasaan dia. Saya pusing kenapa Alam masih mau berteman dengan saya. Padahal, saya gagal dalam banyak ujian untuk menjadi teman apalagi sahabat yang baik. Saya heran kenapa saya malah getol mencari orang-orang lain macam Alam untuk saya jadikan sahabat daripada berpikir bagaimana menjadi Alam bagi teman-teman yang sudah saya punya. Atau sekadar menjadi Alam untuk Alam.

Tuesday, August 12, 2008

surga

Saya pernah diajarkan dulu bahwa wanita yang wafat ketika melahirkan akan masuk surga. Sejak pertama kali mengetahui hal tersebut (mungkin hadis) tidak sulit bagi saya untuk memercayainya. Mungkin saja ada tempat tersendiri di surga bagi para wanita yang gugur waktu memperjuangkan hidup sang jabang bayi dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri.

Kemarin pagi, saat sedang mengurus administrasi di loket askes di sebuah RS di Tangerang, saya bertemu dengan seorang bapak yang juga sedang mengurus keperluan yang sama untuk istrinya. Awalnya, saya hanya mendengar secara sambil lalu waktu si bapak berjawab-tanya dengan petugas loket askes.

Untuk beberapa saat, tidak ada yang istimewa dari tanya-jawab antara sang bapak dengan petugas loket askes. Dari dialog antara keduanya, saya jadi tahu bahwa istri sang bapak baru saja melahirkan anak keduanya lewat operasi. Awalnya, saya juga tidak terlalu memerhatikan betapa selama berbicara wajah sang bapak terlihat murung (ekspresi yang lumrah ditemui di RS di mana saja).

"Istri Bapak meninggal jam berapa?" pertanyaan sang petugas itulah yang bikin saya terkejut. Saya langsung melihat ke wajah sang bapak yang sejak tadi berdiri persis di sebelah kanan saya. "Jam sembilan tadi," jawab si bapak. Saya lemas dan tidak tahu mesti bagaimana. Akhirnya, saya paksa untuk membuka mulut, "Yang meninggal istri Bapak?" Sang bapak mengiyakan. Saat itu saya bisa melihat lebih jelas ekspresi si bapak. Jelas sekali kalau dia sekuat tenaga menyembunyikan kesedihannya. "Bapak biar sabar ya," ucap saya yang tidak tahu harus bicara apalagi. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.

Anaknya selamat meski masih dalam perawatan khusus. Jenazah almarhumah istrinya masih di ruang ICU. Kepada sang petugas si bapak mengatakan kalau dia dan istrinya masuk RS itu pada Minggu sore. Usia kandungan sang istri saat itu delapan bulan. Sang istri memiliki riwayat penyakit yang, menurut si bapak, telah diinformasikan kepada pihak RS di hari pertama mereka masuk.

Lepas dari apapun yang terjadi di meja operasi, saya yakin istri sang bapak itu masuk surga. Saya tidak melihat balasan yang lebih baik dari surga bagi sang ibu yang telah menjaga dengan penuh cinta, kasih dan sayang bayi yang dikandung selama delapan hingga sembilan bulan penuh, siang-malam, sambil berdiri dan duduk, panas dan sejuk, di bawah terik matahari dan guyuran hujan, dalam keadaan kuat dan lemah, saat istirahat dan juga bekerja, dan kemudian wafat ketika berjuang hidup sang bayi dengan hidupnya sendiri... Balasan apalagi yang lebih baik dari surga?