Wednesday, April 26, 2006

Dua Tahun UU Advokat: Memperketat Saringan, Meredam Persaingan

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 5/4/05.

Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekadar memikirkannya saja sudah membuat sebal.

“Saya seorang fresh graduate dari universitas swasta di Jakarta, dan sangat kebingungan dengan berita-berita tentang kursus advokat yang termuat di iklan-iklan serta tanggapan yang saya baca pada website ini. Sekarang saya sedang sibuk mencari pekerjaan yang masih berkaitan dengan bidang hukum, namun sangat sulit ditemui khususnya bila fresh graduate yang belum sama sekali punya pengalaman kerja dan belum magang.”
Demikian sebagian isi surat pembaca yang diterima oleh redaksi hukumonline. Bukan pertama kalinya, hukumonline menerima surat pembaca, e-mail ataupun komentar senada dari para sarjana hukum yang kelimpungan mencari pekerjaan. Tidak sedikit dari puluhan atau bahkan ratusan e-mail yang masuk mengeluhkan betapa sulitnya menjadi advokat pasca diundangkannya UU No.18/2003 tentang Advokat pada 5 April dua tahun lalu.

Agaknya tidak ada diantara kita yang tidak setuju bahwa perlu ditetapkan barrier to entry--sebuah pembatasan atau saringan yang ketat bagi orang-orang yang ingin menjadi advokat. Barrier to entry tidak selalu berkonotasi buruk. Betul, harus ada kualifikasi tertentu yang perlu diterapkan demi lahirnya advokat-advokat yang bermutu. Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekedar memikirkannya saja sudah membuat kita sebal.

Dalam titik tertentu, berbagai persyaratan untuk menjadi advokat yang diatur dalam UU No.18/2003 rasanya bisa diterima. Sebab, persyaratan itu adalah rangkaian barrier to entry yang seharusnya ditujukan untuk mencetak advokat-advokat handal. Premis ini diamini oleh pengurus Organisasi Advokat (baca: Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi), advokat-advokat senior, dan juga sebagian besar advokat yang telah mengantungi izin.

Tahapan untuk menjadi advokat*

Tangga menuju officium nobile:

i. Sarjana Hukum/Hukum Islam/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Perguruan Tinggi Hukum Militer dan telah berusia minimal 25 tahun [pasal 2 ayat (1) jo. pasal 3 ayat (1) huruf d];

ii. Mengikuti pendidikan khusus profesi advokat [pasal 2 ayat (1)];

iii. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat [pasal 3 ayat (1) huruf f];

iv. Magang sekurang-kurangnya dua (2) tahun terus menerus pada kantor Advokat [pasal 3 ayat (1) huruf g].

* Urut-urutan tidak mencerminkan tahapan yang sebenarnya yang akan ditetapkan oleh Organisasi Advokat dan semata didasarkan pasal-pasal dalam UU No.18/2003 tentang Advokat.


Untuk persyaratan ujian, tidak ada satu argumen pun yang bisa mematahkan kenyataan akademis maupun empiris pentingnya hal tersebut. Tapi untuk pendidikan khusus dan magang persoalannya menjadi lain. Dua hal tersebut tidak pernah berhenti diperdebatkan bahkan sejak saat pembahasan UU NO.18/2003 di DPR dua tahun silam. Baru sekaranglah, para calon advokat harus menuai badai yang berawal dari angin yang disemai oleh DPR.

Berbeda dengan para calon advokat yang kebingungan menyikapi syarat harus menempuh pendidikan khusus profesi, tidak demikian halnya dengan organisasi advokat. Sebagian besar secara tanggap menangkap ketentuan itu sebagai peluang bisnis. Menjamurnya bisnis pendidikan profesi advokat di berbagai daerah pun tak terbendung. Peradi sekalipun tak berdaya mengendalikan “anak-anak buahnya” di sana-sini yang membuka gerai pendidikan profesi.

Meningkatkan kualitas

Bagaimanapun, seperti disebutkan di atas, advokat-advokat senior yang ada di Peradi menyatakan setuju tanpa syarat soal pentingnya pendidikan khusus advokat. “Kita tidak bermaksud menghalang-halangi orang untuk jadi advokat tetapi tujuannya adalah meningkatkan kualitas daripada advokat itu sendiri,” tegas Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan beberapa waktu lalu.

Anmeddy Darwin, advokat di Jakarta, juga sependapat dengan Otto. Menurutnya, program pendidikan dan magang bukan menghambat calon advokat melainkan memang dibutuhkan untuk proses pendewasaan. Pasalnya, seorang advokat sebelum diangkat harus sudah dewasa dalam menangani perkara. Mereka yang belum pernah magang dan baru tamat fakultas hukum akan melihat dari segi teoritis saja tapi juga aplikasi di lapangan.

Apa yang dikatakan Otto dan Anmeddy sekilas masuk akal dan cukup beralasan. Dari pendapatnya kita bisa simpulkan bahwa mereka sepakat dengan pembuat undang-undang terkait dengan ketentuan soal pendidikan khusus profesi karena tujuannya untuk menciptakan advokat yang berkualitas. Namun, fakta berbicara lain.

Berdasarkan penelusuran hukumonline pada catatan pembahasan RUU Advokat di DPR, diketahui bahwa pendidikan khusus tidak murni dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sarjana hukum yang ingin menjadi advokat. Tapi, lebih ditujukan buat para lulusan Fakultas Syariah/Hukum Islam, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan Perguruan Tinggi Hukum Militer yang ingin terjun sebagai advokat. Ketentuan perlunya pendidikan khusus advokat tidak pernah dibahas secara intens oleh DPR dan pemerintah kecuali pada saat-saat terakhir menjelang RUU Advokat disahkan.

Hal tersebut diperkuat dengan keterangan mantan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Advokat di Komisi II DPR, Hamdan Zoelva. Ia mengatakan pada awalnya, dalam RUU yang diajukan oleh pemerintah tidak mencantumkan adanya kewajiban pendidikan bagi calon anggota advokat. Namun, papar Hamdan, setelah diterimanya rumusan sarjana syariah dan sarjana pendidikan tinggi hukum lainnya untuk menjadi Advokat, ada keinginan untuk mewajibakan mereka agar mengikuti pendidikan tambahan khusus tentang profesi Advokat selama 6 bulan.

“Akan tetapi, setelah melalui perdebatan maka disetujui adanya pendidikan tambahan bagi calon advokat sebelum diangkat menjadi Advokat terhadap seluruh calon advokat (tidak lagi dibatasi pada sarjana di luar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum), dengan pertimbangan bahwa kualitas sarjana yang tidak merata dan perlunya pelajaran tambahan tentang profesi Advokat dan Kode Etik Advokat yang harus dipelajari dan dipahami secara khusus oleh para calon advokat.” (Dikutip dari makalah Hamdan Zoelva, “Undang-Undang Advokat: Beberapa Catatan Perdebatan di DPR”, 22 Mei 2003).

Dari kenyataan sejarah itulah maka Hadi Herdiansyah, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berkesimpulan bahwa hadirnya ketentuan soal pendidikan khusus advokat tidak lebih dari sekadar konsesi politik di DPR. “Ketentuan soal pendidikan khusus advokat merupakan konsesi politik yang seharusnya tidak ada,” ujarnya.

Tak perlu pendidikan

Hadi juga melihat maraknya pihak yang menyelenggarakan pendidikan khusus advokat lebih kepada sebuah perlombaan untuk mendulang laba. Ia berpendapat demikian karena tidak ada koordinasi serta kejelasan mengenai pelaksanaan penyelenggaraan program tersebut oleh sejumlah pihak. Hal itu, menurutnya, sebagai dampak dari ketiadaan sistem yang jelas serta kelambanan Peradi dalam membuat konsep sertifikasi.

Ditambah lagi, sistem di beberapa negara tidak mewajibkan pendidikan khusus profesi sebagai salah satu syarat sahnya menjadi advokat. Di Amerika Serikat, untuk menjadi advokat, seorang lulusan law school cukup mengikuti ujian advokat di negara bagian tempat ia akan berpraktik.

Melalui ujian yang laksanakan oleh organisasi advokat (bar exam) inilah calon advokat diseleksi secara ketat untuk memilah mana yang layak dan yang tidak. Karena itu, bar exam dianggap sebagai sebuah "pertaruhan masa depan" oleh para calon advokat. Persiapan mengikuti ujian pun biasanya dilakukan dengan sangat serius. (Lihat: Ujian Pengacara di Amerika Bisa Bikin Jantungan)

Sejatinya, di negara Paman Sam tidak diperlukan pendidikan khusus untuk menjadi seorang advokat. Jika calon pengacara merasa perlu mendapat pendidikan khusus agar dapat lulus ujian, maka ia bisa mengikuti bimbingan tes yang banyak diselenggarakan. Namun, perlu diingat bahwa Fakultas Hukum atau Law School di AS merupakan pendidikan graduate (S2).

Di Australia, persyaratan untuk menjadi solicitor berbeda dengan persyaratan untuk menjadi barrister atau advocate. Untuk menjadi solicitor, setelah lulus S1, mereka harus mengikuti pendidikan (Professional Legal Training) yang terdiri dari pendidikan teori selama 15 minggu dan bekerja di kantor hukum yang mereka tentukan sendiri selama 70 hari. Setelah itu, mereka akan mendapat sertifikat praktek dari Law Society.

Untuk menjadi barrister, seorang lulusan S1 harus menjalani program tutorial dengan seorang barrister tertentu yang memenuhi syarat selama 12 bulan. Setelah itu, mereka harus mengikuti bar exam, baru kemudian bisa berpraktek sebagai barrister. Dalam kenyataannya, sangat jarang lulusan S1 yang langsung menjadi barrister. Biasanya mereka menjadi solicitor dahulu, baru kemudian menjalani program tutorial dan mengikuti ujian untuk menjadi barrister.

Untuk urusan magang, di beberapa negara juga menerapkan sistem yang kurang lebih sama dengan di Indonesia. Menurut penelitian yang pernah dilakukan PSHK, Hadi mengatakan bahwa aturan di Belanda mewajibkan magang bagi para calon advokat. Demikian pula dengan Singapura, meski penerapannya tidak sama persis dengan yang diterapkan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan magang ini, dia kembali menyayangkan kelambanan Peradi dalam menyusun mekanisme magang bagi calon advokat.

Tidak ada kejelasan

Ketentuan magang juga bukan soal yang mudah untuk dirumuskan oleh Peradi. Bagaimana tidak, Peradi tidak hanya harus memikirkan aturan magang bagi mereka yang murni fresh graduate, tapi juga buat orang-orang yang selama ini sudah bekerja di lawfirm. Hadi melihat bahwa persoalan tersebut tidak boleh dianggap sepele dan tidak bisa diregulasi secara serampangan.

Di mata Hadi ada tiga hal besar yang harus dipertimbangkan secara matang terkait ketentuan magang bagi calon advokat. Pertama, kriteria dari kantor advokat tempat magang; kedua, materi yang akan diberikan kepada calon advokat selama magang; ketiga; daya tampung dari tiap-tiap kantor advokat yang dihubungkan dengan ketersediaan kantor-kantor advokat di berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk yang pertama, Hadi mengatakan bahwa Organisasi Advokat harus memilih kantor-kantor hukum berkualitas untuk dijadikan tempat magang. Sehingga, tujuan dari magang pun bisa dicapai yaitu menciptakan advokat berkualitas.

Untuk materi magang, tambahnya, calon advokat hendaknya mendapat pengalaman terlibat dalam kasus litigasi dan juga non-litigasi. Untuk yang terakhir, Organisasi Advokat harus betul-betul memikirkan bagaimana pelaksanaan magang di wilayah-wilayah yang memiliki sedikit kantor advokat.

Sayangnya, dua tahun telah berlalu tanpa ada kejelasan baik itu soal ujian advokat, pendidikan khusus, serta magang. “Organisasi Advokat telah gagal menjalankan tugasnya dalam dua tahun masa transisinya,” nilai Hadi. Ia sangat menyayangkan bahwa KKAI dahulu justru memprioritaskan kebijakan pemutihan advokat (daftar ulang advokat) yang notabene demi kepentingan mereka yang telah mengantongi izin, dibandingkan memperjuangkan nasib para calon advokat.

Jika pada waktu-waktu yang lalu masyarakat kerap melihat bagaimana para advokat bertarung satu sama lain demi memperebutkan kedudukan demi ego pribadi atau kelompok masing-masing. Sebuah pertarungan yang akhirnya memecah-belah advokat Indonesia. Kini, masyarakat barangkali sangat menantikan para advokat senior kembali “bertarung” bukan untuk berebut kedudukan melainkan demi memperjuangkan kepentingan para calon advokat di Indonesia.

Para calon advokat juga tidak harus tinggal diam berharap Peradi akan cukup tanggap terhadap aspirasi mereka. Cerita sukses judicial review yang diajukan dosen-dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terhadap UU Advokat di penghujung 2004 barangkali bisa dijadikan contoh. Satu pasal UU Advokat telah rontok di lantai Mahkamah Konstitusi. Bukan mustahil, jika suatu hari satu atau lebih pasal lainnya yang dianggap melanggar hak-hak calon advokat juga dicoba untuk diuji di hadapan para hakim konstitusi. Fiat iustica ruat coelum!

(Amr/Nay)

Tuesday, April 25, 2006

Konsultan Hukum, Manusia Setengah Advokat

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 10/6/05

Polemik di tubuh anggota dan pengurus Peradi mengenai kartu tanda pengenal advokat (KTPA) masih belum usai. Pengurus AKHI atas desakan anggotanya sedang mendiskusikan soal kemungkinan dikeluarkannya kartu tanda pengenal atau identitas khusus bagi advokat yang tidak berlitigasi di pengadilan.

Sebagian besar pengurus Peradi menganggap masalah yang berkaitan dengan KTPA ini sudah tutup buku. Seluruhnya telah disepakati oleh wakil delapan organisasi advokat yang dahulu tergabungdalam wadah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

Namun, sebagian besar advokat yang bergabung di dalam AKHI dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) harus bersedia menerima perlakuan yang berbeda, sedikit atau banyak, dengan rekan-rekan mereka di enam organisasi lainnya. Pasalnya, anggota dari kedua organisasi tersebut yang sebelum lahirnya UU No.18/2003 tentang Advokat dikenal dengan konsultan hukum harus puas tidak mendapatkan KTPA dari KKAI. Sementara, advokat-advokat dari enam organisasi lain telah mengantongi KTPA.

Pengurus KKAI yang kini berganti baju menjadi Peradi menjelaskan, selain karena kesepakatan antara pengurus KKAI dulu, konsultan hukum juga dinilai tidak berhak untuk mendapatkan KTPA. Sebab, kata pengurus Peradi, KTPA dikeluarkan hanya bagi advokat litigasi yang dahulu disebut pengacara praktik atau advokat atau penasehat hukum, sebagai pengganti kartu tanda pengenal mereka yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan tinggi.

Yang menjadi persoalan, baik advokat “litigasi” dan “non-litigasi” sama-sama terdaftar di buku daftar umum advokat dari Peradi. Buku ini, sesuai perintah UU Advokat, juga disimpan di Mahkamah Agung dan kantor Menteri Hukum dan HAM. Jadi, kalau KTPA diibaratkan dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), tidak semua orang yang tercantum buku tanah dikeluarkan sertifikatnya.

Meski demikian, pengurus Peradi menolak jika pembedaan perlakuan dalam soal pemberian KTPA itu dianggap sebagai diskriminasi terhadap konsultan hukum. Itu, menurut Peradi, merupakan harga dari sebuah kompromi. Toh, UU Advokat juga dilahirkan dengan segudang kompromi politik antara sesama anggota DPR atau antara DPR dengan pemerintah. Begitu hemat pengurus Peradi.

Masalah KTPA tidak terlepas dari kebijakan pimpinan KKAI untuk melakukan registrasi ulang dan verifikasi terhadap seluruh advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum se-Indonesia mulai Juni 2003. Yang diverifikasi kala itu adalah bukti-bukti formal advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU No.18/2003 mulai berlaku.

KKAI mendasarkan kebijakannya kala itu pada Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UU No.18/2003. Selesainya proses yang memakan waktu nyaris setahun ditandai dengan dikeluarkannya SK No.01/KKAI-KEP/III/2004 tentang Advokat yang Telah Memenuhi Persyaratan Pendaftaran dan Verifikasi Advokat Indonesia tertanggal 30 Maret 2004.

Adapun hal penting yang tercantum di dalam surat tersebut adalah tentang penetapan nama-nama orang yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi advokat. Selengkapnya isi surat tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut:

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

1. Nama-nama tersebut dalam daftar terlampir telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi advokat, dan karena itu menyatakan masing-masing mereka sebagai Advokat berdasarkan Undang-undang nomor 18 tahun 2003 dengan wilayah kerja meliputi wilayah negara Republik Indonesia.

2. Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini akan dilakukan perubahan sebagaimana mestinya.


Di dalam SK KKAI No.01/KKAI-KEP/III/2004 tersebut sama sekali tidak disebutkan apapun tentang kartu tanda pengenal. Hal ini bisa dipahami karena: Pertama, sesuai UU Advokat, tujuan pendaftaran ulang dan verifikasi adalah demi menyusun buku daftar anggota. Kedua, tidak ada satu pun pasal di dalam UU Advokat yang menyebutkan tentang kartu tanda pengenal.

Perebutan lahan

Mantan anggota tim verifikasi KKAI Ahmad Fikri Assegaf mengemukakan bahwa telah disepakati mereka yang telah lolos verifikasi yang akan mendapatkan KTPA. Namun, Fikri yang tidak mengetahui bagaimana kesepakatan para pengurus KKAI selanjutnya, mendapatkan fakta bahwa para konsultan hukum anggota AKHI/HKHPM tidak memperoleh KTPA. Padahal, mereka termasuk diantara belasan ribu orang yang dinyatakan lolos verifikasi dan dianggap telah memenuhi syarat sebagai advokat.

Lalu, kenapa KKAI tidak mengeluarkan KTPA bagi para konsultan hukum yang waktu itu sudah sah sebagai advokat yang wilayah kerjanya meliputi wilayah negara RI tanpa kecuali? Seperti telah dipaparkan di bagian awal tulisan ini, KTPA ternyata barang eksklusif diperuntukkan bagi advokat litigasi.

Perlu ditekankan kembali bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan kolektif seluruh pimpinan delapan organisasi advokat yang bernaung di dalam KKAI waktu itu. Mereka adalah Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI. Jawaban itulah dalam beberapa kesempatan ditegaskan kembali oleh sejumlah pengurus Peradi diantaranya Sekjen Harry Ponto, dan salah satu Ketua Peradi Soemarjono.

Apa yang mereka tidak diungkapkan secara eksplisit adalah suasana yang melatarbelakangi kesepakatan tersebut. Bahwa tidak diberikannya KTPA secara merata kepada seluruh advokat yang telah lolos verifikasi bertujuan agar kartu itu tidak dipakai oleh advokat yang dahulunya adalah konsultan hukum untuk beracara di pengadilan. “Waktu itu, saya melihat bahwa hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membatasi agar konsultan hukum tetap tidak bisa beracara di pengadilan,” Fikri membeberkan.

Ditambah lagi, ada kekhawatiran pada salah satu pihak. Kalangan advokat litigasi agaknya tidak lapang dada menerima kenyataan para konsultan hukum yang tidak pernah memiliki SKPT kemudian diberikan KTPA yang bisa digunakan untuk beracara di muka hakim. Ini berarti menambah ketat persaingan di lahan litigasi. Padahal, lantaran proses pemutihan KKAI juga, pengacara syariah yang dahulu hanya dapat beracara di pengadilan agama kini mulai bisa mencari nafkah pula di pengadilan umum.

Sebelumnya, tidak pernah dibicarakan soal penerbitan kartu khusus bagi konsultan hukum. Wacana itu baru muncul belakangan ini setelah para anggota AKHI/HKHPM mengeluh mengenai ketiadaan KTPA yang menghambat mereka dalam menjalankan profesi sebagai advokat.

Tapi, dugaan bahwa tidak diberikannya KTPA kepada anggota AKHI/HKHPM yang tidak mengantungi SKPT bertujuan untuk mencegah mereka masuk ke ladangnya advokat litigasi itu langsung dibantah oleh Harry. “Apa yang mau dicegah kalau memang orang tidak punya otorisasi untuk berlitigasi atau tidak punya kompetensi untuk berlitigasi?” ucapnya.

Harry ada benarnya. Tapi seharusnya isu otorisasi dan kompetensi itu juga diterapkan kepada pengacara praktik yang dulunya cuma bermodal SKPT (bukan punya SK Menteri Kehakiman sebagai advokat) dan pengacara syariah yang hanya berpraktik di pengadilan agama. Apalagi, sudah diputuskan sendiri oleh KKAI bahwa siapapun yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi memiliki wilayah kerja di seluruh Indonesia.

Tidak ada diskriminasi

Dari perspektif lain, patut pula dipertanyakan kegigihan utusan AKHI dan HKHPM saat bernegosiasi soal KTPA. Sebab semestinya, posisi tawar kedua organisasi ini tidak kalah kuat dibandingkan enam organisasi lainnya. Problem atau pun implikasi yang mungkin terbit lantaran ketiadaan KTPA bagi para anggota kedua organisasi itu rupanya tidak dikalkulasi secara serius.

Para konsultan hukum senior yang menjadi pengurus AKHI hanya berpikir bahwa selama mereka tetap diperkenankan oleh kalangan litigasi untuk dapat bekerja seperti biasanya, itu sudah lebih dari cukup.

Usut punya usut, ternyata garis politik seperti itu dikarenakan pemahaman pengurus AKHI maupun HKHPM terhadap UU Advokat. “Undang-undang (Advokat, red) itu masih mengakui adanya dua (dikotomi) litigasi dan non litigasi. Law maker masih membedakan karena saya masuk ke sana. Kemudian tidak dipertajam perbedaan itu supaya lebih ada harmonisasi lah,” ungkap sekjen AKHI Hoesein Wiriadinata.

Singkatnya, menurut pemahaman Hoesein, tidak ada yang berubah antara sebelum dan sesudah UU No.18/2003 diundangkan. Baginya, tetap ada dikotomi profesi hukum di Indonesia yaitu advokat litigasi dan non-litigasi. Hoesein memang tidak menyebutkan pasal dalam UU No.18/2003 yang mana yang ia pakai untuk menyandarkan pendapatnya itu.

Mantan Ketua Panitia Kerja RUU Advokat Komisi II DPR Hamdan Zoelva membantah semua pendapat Hoesein seperti di atas. “Advokat yang dimaksudkan di Undang-undang itu adalah seluruhnya, apakah dia litigasi maupun non litigasi,” tegasnya. Singkatnya, menurut Hamdan, di dalam UU Advokat tidak ada lagi diskriminasi mengenai advokat litigasi dan non litigasi.

Di mata Hamdan, diskriminasi terhadap advokat non litigasi yang berlangsung saat ini adalah semata-mata urusan perebutan lahan rezeki. Pemberian KTPA bagi anggota AKHI dan HKHPM sama saja memberikan cangkul buat para konsultan hukum untuk dapat menggarap di lahannya rekan-rekan advokat litigasi.

Memang, Hoesein dan beberapa konsultan hukum senior lainnya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak tertarik untuk mencari uang di jalur litigasi. Tapi, apakah mereka berbicara untuk seluruh konsultan hukum yang menjadi anggota AKHI atau HKHPM?Belum tentu. Buktinya, tidak sedikit advokat AKHI yang kini mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia demi mendapat “izin berlitigasi”.

Belakangan, pengurus AKHI mengirimkan surat kepada seluruh anggotanya yang isinya menerangkan bahwa mereka adalah “advokat non litigasi” yang terdaftar di Peradi. Tapi, salah seorang advokat AKHI berpandangan bahwa surat keterangan itu hanya menyelesaikan masalah administrasi dan bukan masalah intinya. “Kalau orang ingin ke pengadilan boleh nggak? Orang-orang yang transisi ini ke depannya bagaimana, apakah ikut pendidikan yang bareng calon advokat atau ada semacam penyamaan di dalam Peradi sendiri?” ujar Abdul Haris M. Roem dari kantor Lubis Ganie Surowidjojo.

Tentang hal ini, Peradi tampaknya tidak pernah terpikir untuk mengatur pendidikan khusus bagi calon advokat yang sudah advokat atau, setidak-tidaknya, setengah advokat. “Kalau advokat non litigasi sekarang mau litigasi, ya dibicarakan bagaimana prosedurnya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa mereka harus mengikuti pendidikan khusus advokat karena belum pernah diputuskan. Bahkan, dibicarakan saja belum,” kata Harry.

Bagi sebagian petinggi Peradi solusi termudah terhadap persoalan ini adalah dengan menerbitkan KTPA spesial bagi advokat non litigasi seperti yang diinginkan pengurus AKHI. Pengurus AKHI juga telah menegaskan bahwa bagi anggotanya yang ingin litigasi maka mereka harus mengikuti pendidikan khusus advokat dan lulus ujian Peradi. Hal ini menarik karena pengurus AKHI sudah membuat aturan yang bahkan pengurus Peradi pun belum memutuskannya.

Monday, April 24, 2006

Biarkan Dosen ‘Menari’: Nasib Profesi Advokat Pasca 13/12

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 21/12/04

‘Awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit’

Senin 13/12/2004, tiga orang hakim Mahkamah Konstitusi mengutip pepatah Melayu di atas sebagai penutup pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan yang menyatakan tidak berlakunya pasal 31 UU No.18/2003 tentang Advokat. Ketiga hakim itu–-Laica Marzuki, Ahmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan--juga menyitir pepatah lain: “buruk rupa cermin dibelah”.
Tidak jelas benar kepada siapa pepatah-pepatah itu ditujukan. Namun yang pasti, Tongat, sebagai pemohon pengujian pasal 31 UU No.18/2003 toh tetap tersenyum puas ketika enam hakim konstitusi lainnya mengabulkan permohonannya. Tongat adalah dosen sekaligus Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang.

Pasal 31 UU No.18/2003: Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal UUD 1945 yang dilanggar:

Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.


Dissenting opinion tiga hakim konstitusi antara lain menyatakan pasal 31 UU No.18/2003 memang dibuat guna melindungi profesi advokat. Sepintas, ketiga hakim konstitusi mengakui, pasal tersebut seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat.

“Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP,” demikian pendapat dari tiga hakim konstitusi.

Ketiga hakim konstitusi juga menyebut pemohon “tendensius” dan “berburuk sangka” karena mendalilkan bahwa munculnya ketentuan pasal 31 UU No.18/2003 dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki advokat. Pasalnya, tudingan yang demikian terbukti tidak terekam di dalam hasil pembahasan RUU Advokat di DPR.

Putusan Mahkamah Konstitusi pasal 31 UU No.18/2003 seakan menjadi gong dimulainya “pertarungan” antara advokat dengan dosen (praktisi LKPH/LBH kampus). Kesan demikian dapat dilihat dari komentar advokat senior yang juga Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang, “Kalau dosen ya dosenlah jangan nyampurin (profesi advokat).”

Advokat liar

Diamputasinya pasal 31 UU No.18/2003 jelas bukan kabar baik bagi pihak yang pernah membidani lahirnya undang-undang tersebut. Hamdan Zoelva, mantan Ketua Panitia Kerja Komisi II DPR tentang RUU Advokat, meyakini putusan Mahkamah Konstitusi akan membawa kerugian bagi masyarakat, tak hanya advokat. “Putusan ini bisa menimbulkan banyak advokat liar,” katanya.

Hamdan menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut keberlakuan pasal 31 UU No.18/2003 salah alamat. Sebab, pasal tersebut bukan dirancang untuk membidik para pekerja LBH/LKBH di fakultas-fakultas hukum yang kebanyakan memberikan bantuan hukum pro bono. Menurutnya, kegiatan bantuan hukum yang dilakukan LBH/LKBH sengaja tidak diatur dalam UU No.18/2003 karena akan diatur dalam Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.

Sejauh ini, hukumonline memang belum mengetahui keberadaan RUU tentang Bantuan Hukum yang disebutkan Hamdan, baik yang disusun oleh DPR ataupun pemerintah. Namun, pemerintah (Departemen Hukum dan HAM, red) saat ini memang sedang menggodok peraturan soal bantuan hukum. Tapi bentuknya bukanlah undang-undang, melainkan peraturan pemerintah.

Tapi, okelah, toh Hamdan mengatakan pula bahwa ide untuk mengecualikan pengaturan soal LBH dari UU No.18/2003 saat pembahasan di DPR datang dari sesepuh dunia advokat sendiri, yaitu Adnan Buyung Nasution. Hamdan yang juga advokat menegaskan, pasal 31 UU No.18/2003 memang hadir untuk melindungi masyarakat dari advokat ilegal--orang yang sebenarnya bukan advokat namun mengaku-ngaku sebagai advokat.

Berbicara soal perlindungan bagi masyarakat dan profesi advokat, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan pasal 31 harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan.

Kendati Mahkamah Konstitusi tak merinci pasal mana di dalam KUHP yang dapat “menggantikan” fungsi perlindungan yang sebelumnya diakomodasi pasal 31 UU No.18/2003, hal demikian toh diamini oleh kalangan advokat. Humphrey Djemat, advokat dari kantor hukum Gani Djemat berpendapat pasal tentang tindak pidana penipuan dalam KUHP “mungkin” bisa dipakai untuk menjerat advokat gadungan.

Ketua DPC AAI DKI Jakarta ini mengatakan bahwa pasal penipuan dapat diterapkan untuk pengacara gadungan karena orang tersebut telah menipu masyarakat dengan menyatakan dirinya sebagai advokat. “(Padahal) sarjana hukum pun nggak. Ekstrimnya begitu, itu sudah suatu bentuk penipuan,” tukasnya. Masuk ke dalam kategori ekstrim ini yaitu mereka yang disebut pokrol bambu.

Sebaliknya, Dr. Rudi Satriyo Mukantarjo, pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tidak sependapat dengan Humphrey. “Tindak pidana pemberian bantuan hukum nggak ada persoalan dengan penipuan,” tandasnya.

Kepercayaan

Lebih jauh Rudy menjelaskan bahwa dalam penipuan yang diatur dalam pasal 378 KUHP, ada unsur yang diserahkan yaitu benda/barang, yang dalam penafsirannya termasuk juga uang. Dalam kasus tindak pidana pemberian bantuan hukum (yang dilakukan bukan oleh advokat yang mengantungi izin), menurut Rudi, yang diserahkan oleh klien bukanlah benda/barang, melainkan “kepercayaan untuk mengurus perkara”.

“Saya tidak berani memperluas pengertian barang/benda dengan kepercayaan untuk menangani perkara. Kecuali, kalau kemudian sudah ada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (bahwa) termasuk di dalam hal ini adalah barang/benda adalah pekerjaan untuk melakukan sesuatu. Itu baru bisa dinamakan sebagai persoalan penipuan,” terang Rudi.

Terlepas dari itu, Humphrey tetap yakin bahwa minus sanksi pidana bagi advokat liar, kewenangan Organisasi Advokat tidak akan terpengaruh. Dalam arti, Organisasi Advokat tetap mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan advokat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal di dalam UU No.18/2003.

Kata “advokat”, menurut Humphrey, identik dengan keanggotaan seseorang pada Organisasi Advokat. Praktis, meski seseorang telah mengantungi izin praktek dari pengadilan tinggi (SKPT) ataupun Menteri Kehakiman (SK Menkeh) tapi belum terdaftar sebagai anggota Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), maka yang bersangkutan belum bisa disebut sebagai Advokat. Begitu argumentasi Humphrey.

Pandangan demikianlah yang menurut Humprey tidak akan terpengaruh dengan “vonis mati” terhadap pasal 31 UU No.18/2003. “Sekarang kira-kira ada seribu orang dari Jakarta yang mendaftarkan di KKAI. Ini pendaftar-pendaftar baru, 3/4 –nya dari AAI Jakarta. Artinya, semakin orang melihat begitu pentingnya masuk Organisasi Advokat untuk mendapat pengakuan sebagai advokat,” jelasnya.

Pendapat bahwa Organisasi Advokat tidak akan terpengaruh oleh hapusnya sanksi pidana di dalam UU No.18/2003 disanggah oleh Hadi Herdiansyah, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Mandulnya pasal 31 UU No.18/2003, menurut Hadi, akan membuat keanggotaan di Organisasi Advokat yang semula bersifat wajib (mandatory membership) menjadi sukarela (voluntary membership).

“Mereka akan menjadi anggota Organisasi Advokat ketika mereka merasa ada manfaat yang akan didapat dari keanggotaaan tersebut. Berbeda dengan sebelum dicabutnya pasal 31 dimana setiap orang yang ingin berpraktek menjadi advokat, litigasi maupun non litigasi, wajib memiliki izin praktek yang dikeluarkan oleh Organisasi Advokat karena kalau tidak mereka akan dikenakan sanksi pidana yang diatur pasal 31,” papar Hadi.

Dilema

Lalu, bagaimana pendapat calon advokat sendiri mengenai masalah ini? Johannes Sahetapy, konsultan hukum pada kantor hukum Soewito Suhardiman Eddymurthi Kardono, mengatakan ia akan tetap berusaha mendapatkan izin advokat kendati ancaman pidana kini tinggal sejarah. Baginya, sepak terjang konsultan hukum dalam perkembangannya tidak dapat dipisahkan dengan litigasi.

Hal senada juga dituturkan oleh Tri Janita, associate pada kantor hukum Maiyasyak Rahardjo and Partners. Di matanya, kartu advokat merupakan suatu kelengkapan profesionalitas dalam profesi ini. Tri yang lebih banyak bekerja di bidang non litigasi, mengaku belum pernah mendampingi klien secara langsung di pengadilan. Sejauh ini dia hanya mendampingi klien dalam tahap penyidikan.

Pandangan yang boleh disebut “netral” tentang lumpuhnya pasal 31 UU No.18/2003 datang dari Dorma H. Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI). Di satu sisi, ia menganggap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 menguntungkan bagi para aktivis pembela HAM/pengacara publik di tanah air. Tapi di sisi lain, ia juga cemas bahwa kekosongan sanksi pidana di dalam UU No.18/2003 akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya niat buruk.

“Dilematisnya disitu, makanya seharusnya menurut kami dari APHI secepatnya dilakukan legislative review terhadap pasal 31 ini. Jangan juga pasal 31 ini menjadi satu hal yang terkatung-katung, kita harus segera membuat perbaikan pasal terhadap pasal 31 sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan tidak ada juga pihak-pihak yang mengambil kesempatan dari (ketiadaan) pasal 31 ini,” ujar Dorma yang juga pernah mengajukan judicial review UU No.18/2003.

Legislative review, atau lebih luas lagi, amandemen terhadap UU No.18/2003 tak dapat dipungkiri menjadi wacana yang semakin relevan pasca dinyatakan tidak berlakunya pasal 31 oleh Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi, Rudi berpendapat bahwa saat ini tidak ada satupun ketentuan hukum di dalam KUHP yang dapat dipakai untuk menjerat advokat ilegal.

Meski menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi, namun Rudi tetap beranggapan perlu ada suatu aturan mengenai pihak mana saja yang dapat mendapatkan bantuan hukum pro bono dari LBH/LKBH kampus. Pendeknya, ia menginginkan agar hanya mereka yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi sajalah yang berhak mendapatkan layanan hukum cuma-cuma dari LBH/LKPH.

Secara lebih gamblang, Rudi yang juga praktisi di Lembaga Konsultasi dan bantuan Hukum (LKBH) FHUI mengatakan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal 31 UU No.18/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak ada lagi halangan bagi LBH/LKBH kampus untuk berkompetisi dengan kantor-kantor hukum (law firm) komersial. Menurutnya, kegiatan demikian kini dimungkinkan karena status UI sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

“Untuk model UI yang sudah BHMN dan mempunyai kualitas memberikan bantuan hukum yang profesional, ya kita bersaing sajalah dengan kantor-kantor pengacara yang ada. Nggak boleh ada suatu pembatasan. Karena bicara soal UI dan beberapa perguruan tinggi negeri yang sudah dalam posisi sebagai BHMN mempunyai kewenangan untuk mencari profit demi keberlangsungan pendidikan yang lebih baik,” tegas Rudi.

Menarik pula untuk dicermati bahwa khusus untuk dosen PTN, UU No.18/2003 memuat pembatasan yang tidak disentuh oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf c. Pasal ini melarang mereka yang berstatus pegawai negeri sipil atau pejabat negara untuk dapat diangkat sebagai advokat. Di lain pihak, pasal ini tentu saja bukanlah momok buat Tongat serta dosen-dosen PTS lain di Indonesia.

Terlepas dari yang disampaikan Rudi, dalam dissenting opinion-nya tiga hakim konstitusi menyatakan bahwa setiap profesi seharusnya dituntut untuk bekerja profesional di bidangnya masing-masing. Advokat hendaknya bekerja profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan tidak berdwifungsi. Demikian antara lain bunyi dissenting opinion tiga hakim konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 31 UU No.18/2003 tentu bukanlah akhir dari episode “tarian” dosen vis a vis advokat, tapi merupakan awal. Dan yang penting bukanlah bagaimana cerita itu akan berakhir, namun bagaimana ia akan bergulir. Satu lagi pekerjaan rumah menunggu untuk dituntaskan oleh Organisasi Advokat.

(Amr/CR)

Lawyer Asing Loncat ke Kantor Lain, Siapa Takut?

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 22/2/05.

Kewajiban bagi advokat asing yang ingin pindah kantor untuk memperoleh surat keterangan tidak keberatan dari kantor sebelumnya mengundang pro dan kontra.

Ruang gerak advokat asing semakin dipersempit pasca dikeluarkannya Kepmen Hukum dan HAM Tahun 2004 tentang Persyaratan dan Tatacara Mempekerjakan Advokat Asing (Kepmen 2004). Pasal 8 Kepmen 2004 berbunyi, “Advokat asing yang sudah bekerja di Kantor Advokat Indonesia, dapat dipindah kerja ke Kantor Advokat Indonesia yang lain dengan melampirkan surat keterangan tidak keberatan dari Kantor Advokat Indonesia tempat Advokat Asing bekerja sebelumnya”. Untuk diketahui, pada Kepmen-kepmen yang mengatur advokat asing sebelumnya, ketentuan itu tidak pernah ada. Pepatah lama berkata, tidak ada asap kalau tidak api.

Sudah bukan menjadi rahasia umum di kalangan lawyer, setiap kebijakan berkaitan dengan advokat asing kerap dipicu oleh konflik dan kepentingan dari advokat atau kantor advokat yang punya pengaruh. Oleh sebab itu, wajar jika persyaratan baru yang membatasi hak advokat asing untuk berpindah kantor pun mengundang tanda tanya besar. Advokat/kantor hukum mana yang belakangan ini berseteru dengan advokat asing?

Wajar jika pertanyaan semacam itu muncul. Maklum, advokat/kantor hukum Indonesia punya kisah panjang soal perseteruan dengan advokat asing. Beberapa kasus yang pernah menggoncangkan dunia keadvokatan adalah kasus Hotman Paris Hutapea saat masih bekerja pada Makarim & Taira (MT) “vs” Michael Hooton dari Morgan Lewis & Bockius (MLB) kantor hukum yang berbasis di Amerika Serikat pada 1998.

Kasus lain yang lebih baru yaitu konflik antara Hoesein Wiriadinata dari Wiriadinata & Widyawan “vs” David Dawborn dari kantor hukum Herbert Smith (HS) pada 2001. Konflik-konflik di atas dipicu oleh perpindahan si advokat asing ke kantor hukum lain. Waktu itu, Hotman keberatan Hooton pindah ke MLB, dan Hoesein tidak terima Dawborn pindah ke HS yang kemudian berafiliasi dengan kantor Hiswara Bunjamin & Tandjung (HBT).

Salah satu yang membuat Hoesein meradang kala itu, Dawborn tak sekadar cabut dari WW tapi juga memboyong beberapa advokat senior di kantor itu ke HBT. Hoesein yang waktu itu masih menjadi Ketua Umum Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) kemudian mengajukan rancangan perubahan Kepmen Kehakiman tentang Konsultan Hukum Asing Tahun 1997 (Kepmen 1997). Namun, ia membantah bahwa konflik itu sebagai satu-satunya alasan diajukannya revisi Kepmen 1997.

AKHI terlibat?

Kali ini, pembentukan Kepmen 2004 juga tidak lepas dari keterlibatan para pengurus AKHI. Hal demikian dinyatakan sendiri oleh Hoesein bahwa ia dan caretaker Ketua Umum AKHI Fred B.G. Tumbuan dilibatkan oleh pihak Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) ketika perumusan perubahan Kepmen 1997. Lalu, apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemunculan pasal 8 adalah ide dari AKHI?

Spekulasi demikian lantas dibantah oleh Fred. “Tidak, itu bukan usulan dari AKHI,” kata Fred saat ditemui hukumonline pada peluncuran Jurnal Hukum & Pasar Modal di Jakarta (18/2). Fred mengakui bahwa selama ini telah terjadi konflik antara advokat dan kantor hukum lokal dengan advokat asing. Namun ketentuan dalam pasal 8 Kepmen 2004 lebih untuk menciptakan tertib hukum dan tertib bermasyarakat.

Di mata Fred, persyaratan itu tidak berlebihan mengingat advokat asing dapat bekerja di Indonesia atas dasar sponsor dari advokat atau kantor hukum yang mempekerjakannya.

“Kalau tidak ada sponsor, tidak ada izin kerja. Tanpa izin kerja, tidak ada izin tinggal. Lalu, kalau sudah (punya izin kerja, red) dia seenak perutnya pindah ke kantor lain, di mana sopan santunnya?” tandas Fred.

Akan tetapi, kesan bahwa persyaratan tersebut cenderung bertujuan mempersulit mobilitas para advokat asing bagaimanapun sulit untuk dihapus. Kesan itulah yang dirasakan oleh Ira A. Eddymurthy partner kantor hukum Soewito Suhardiman Eddymurthy Kardono (SSEK). Ia juga menilai bahwa Kepmen 2004 terlalu mendetail ketika mengatur soal persyaratan bagi advokat asing yang ingin pindah kantor.

Lebih dari itu, Ira memprediksikan advokat asing akan kesulitan untuk menerapkan persyaratan tersebut. Ditambahkannya, ada kecenderungan kantor hukum akan mempersulit jika ada advokat asing yang bekerja untuk kantornya menyatakan niat untuk pindah ke kantor lain.

Tarik-menarik klien

Ira juga tidak menutup mata jika munculnya pasal 8 Kepmen 2004 ada kaitannya dengan kekhawatiran advokat asing membawa klien dari kantor hukum lama ke kantor yang baru. Namun, ditegaskannya fenomena itu tidak hanya dilakukan oleh advokat asing tapi juga oleh advokat lokal. “It shouldn’t make any different dengan advokat Indonesia,” ujarnya kepada hukumonline (21/2).

Sebagai partner di kantor hukum lokal yang paling banyak mempekerjakan advokat asing, Ira mengaku tidak khawatir kalau suatu saat satu atau lebih advokat asingnya keluar dengan membawa serta klien dari SSEK. “Kalau konsultan hukum Indonesia itu kuat menangani klien tertentu, ya mestinya tidak perlu takut dengan kepindahan advokat asing yang bersangkutan ke tempat lain,” tukas Ira. Sebaliknya, Ira mengaku belum pernah merekrut advokat asing yang pindah dari kantor hukum (Indonesia) lain.

Hal senada disampaikan Andrew Sriro, salah seorang advokat asing yang malang melintang bekerja di Jakarta. Ia mengatakan bahwa membawa klien dari satu kantor ke kantor lain bukanlah soal yang sepele. Pasalnya, hubungan antara advokat dengan klien sangatlah personal dan dilandaskan pada kepercayaan satu sama lain. Oleh sebab itu, katanya, jika seorang advokat berhasil membawa klien keluar dari kantor hukum tertentu itu karena si advokat dipercaya oleh kliennya.

Masih menurut Sriro, seharusnya kantor hukum berintrospeksi begitu mengetahui kliennya direbut oleh advokat asing ataupun ataupun lokal. “Kalau sistem di kantor tidak bisa tarik tinggal pengacara yang baik mereka harus introspeksi, ‘mengapa saya kehilangan aset SDM itu?’ Kalau semuanya adil, baik, dan wajar, siapa mau pindah?” tandasnya. Ia menuturkan, seringkali kantor hukum terlalu mengeksploitasi advokatnya tanpa memberikan penghargaan yang wajar sehingga akhirnya si advokat pindah ke tempat yang lebih baik.

Kendati begitu, Sriro menegaskan bahwa kepindahannya dari kantor hukum Lubis Santosa & Maulana (LSM) ke kantor Dyah Ersita & Rekan (DER) bukan karena ada konflik dengan kantornya yang lama. Apalagi, kata Sriro, kepindahannya dari LSM ke DER jauh sebelum adanya peraturan sebagaimana diatur dalam Kepmen 2004.

Hak asasi

Bagaimanapun, Sriro menilai bahwa Kepmen 2004 melanggar hak asasi advokat asing untuk bekerja di kantor manapun yang ia inginkan. Ia juga berpendapat bahwa Kepmen 2004 akan berpotensi memperpanjang eksploitasi terhadap advokat asing oleh kantor hukum Indonesia. “People have to be free to go where they want. Bagaimana bisa kerja di perusahaan lain kalau bosnya tidak mau kasih izin. Itu kayak slavery, tapi saya harus minta (izin) bagaimana?” katanya.

Lepas dari apa yang dikatakan Sriro, diyakini “bursa transfer” advokat asing tidaklah seramai yang terjadi pada advokat lokal. Tentang hal itu, Ira melihat bahwa fenomena advokat asing yang pindah dari satu kantor ke kantor lain atas inisiatif sendiri sangat jarang terjadi. Sebaliknya, masih kata Ira, advokat asing cenderung mengikuti partner lokal yang selama ini dekat dengan dia. “Lately itu terjadi karena memang banyak perpecahan dari advokat Indonesianya sendiri,” ucapnya.

Lalu, apa yang membuat advokat lokal kadang berani “pasang badan” demi advokat asing? Ira mengatakan bahwa salah satu pertimbangan kantor hukum Indonesia menyewa advokat asing adalah sebagai salah satu strategi pemasaran kantor bersangkutan. Kata dia, advokat asing punya pasarnya sendiri.

Hal itu diamini oleh, Rahayuningsih Hoed, partner pada kantor Makarim Taira. Kata Rahayu, lawyer asing lebih banyak menangani klien dari luar negeri, meski tak sedikit pula klien lokal yang lebih mempercayakan kasusnya pada advokat asing. Jadi, bukan mustahil jika suatu hari “surat keterangan tidak keberatan” akan mahal harganya…