Tuesday, June 24, 2008

gila


aku gila
gila akan sesuatu yang pantas
digilai
kalaupun menurutmu dia tidak pantas
digilai
kegilaanku kepadanya
cukuplah sebagai buktinya

aku gila
kegilaan yang memaksa ku menceraikan
kewarasanku
atau paling tidak dia telah memaksa
kewarasanku
untuk berbagi dengan kegilaan
sebagai madu

aku gila
tapi jangan kasihani aku
pantaskah mengasihani orang yang
gila cinta?
kasihanilah diri anda sendiri
karena terlalu mencintai
kewarasan dan takut kegilaan
karena cinta!

aku gila
dan jangan mencariku atau
menyembuhkanku
bagaimana anda mencari orang
yang tersesat dalam
dirinya sendiri?
bagaimana anda menyembuhkan
sakit yang tak tersembuhkan
kecuali dengan
sakit itu sendiri?

aku gila
karena memiliki sesuatu yang
tak kubutuhkan
sementara ku membutuhkan
sesuatu yang
tak kumiliki!

aku gila
gila di atas gila
jangan cibir aku
karena belum pernah aku
sewaras ini!


amrie, kuningan, 24 juni 2008

Wednesday, June 18, 2008

yusuf


Kita semua seperti Zulaikha, budak penglihatan dan korban dari penampilan.


~ Jami

Kisah Yusuf adalah "kisah yang paling baik" yang pernah diwahyukan Allah kepada Muhammad Rasulullah (QS. Yusuf: 3). Kisah Yusuf memiliki spektrum luas dan sangat kaya dengan pelajaran. Saya beruntung jika dapat menceritakan kepingan paling kecil dari kisah Yusuf dan mampu mengambil pelajaran yang paling sederhana dari kepingan kisah itu.

Allah menciptakan Yusuf sebagai manusia paling rupawan dari jenis laki-laki. Saya tidak punya referensi yang menerangkan tentang keindahan rupa Yusuf selain dari buku "Yusuf & Zulaikha" karya Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami. Di dalam bukunya, Jami', sufi penyair Persia yang masyhur, melukiskan ketampanan Yusuf sebagai berikut:
"Bagaimana aku dapat menggambarkan daya tarik remaja ini, yang lebih indah bahkan dari malaikat dan bidadari surga? Ia adalah bulan di cakrawala keanggunan yang bercahaya di dalam dan di luar. Bulan? Bukan, matahari yang bersinar! Tetapi bahkan matahari pun hanyalah suatu bayangan udara dari kemegahan sumber abadi, yang suci, cahaya tak bercela di atas segala pembatasan tentang 'apa' dan 'bagaimana'."
Allah telah menakdirkan bahwa bayangan ketampanan dan keindahan rupa Yusuf masuk ke dalam mimpi Zulaikha, seseorang yang bahkan belum pernah melihat Yusuf. Sejak mendapat mimpi itu, Zulaikha telah jatuh cinta dan tergila-gila pada sosok rupawan tak bernama yang muncul dalam mimpinya.

Sang pecinta, Zulaikha, adalah putri kesayangan seorang raja yang makmur, berkuasa, dan termasyhur yang bernama Taimus. Sebelum bayangan Yusuf hadir ke dalam mimpinya, hari-hari Zulaikha penuh dengan suka-cita, siang maupun malam. Sebagaimana dilukiskan Jami':

"Tak pernah hatinya tertekan oleh kesedihan paling kecil sekalipun, tak pernah ada duri yang sampai menggores kakinya. Tak pernah ia jatuh cinta, tak pernah pula ia menjadi kekasih seseorang, ia tak peduli akan nafsu seperti itu."

Seperti Yusuf, kecantikan Zulaikha pun begitu masyhur. Kecantikan Zulaikha pun telah mengundang banyak raja maupun pangeran dari berbagai negeri untuk meminangnya. Tapi, sebanyak pria yang meminangnya, sebanyak itulah penolakan yang diberikan pihak Zulaikha. Tentang kecantikan Zulaikha, Jami' antara lain menulis:

"Zulaikha adalah bintang yang paling cantik pada cakrawalanya, permata yang paling gemerlap dalam kejayaannya. Menangkap kecantikannya saja dalam ucapan dan tulisan seakan mustahil, dan apalagi yang dapat saya katakan pada emas dan permatanya?"

Jalan nasib yang berliku akhirnya mempertemukan Yusuf dengan Zulaikha. Cinta Zulaikha kepada Yusuf sudah tidak bisa lagi dia bendung. Zulaikha akhirnya menyatakan cintanya kepada Yusuf yang saat itu telah menjadi anak angkat Wazir Agung Mesir, suami Zulaikha:

"'Wahai cahaya mataku, wahai suluh yang lembut, yang berkat sinar cahayanya aku tidak memerlukan bulan! Aku tahu tak mempunyai arti di matamu. Di antara semua pelayanmu, akulah budak yang paling rendah, tetapi mengapa engkau tak dapat menaruh belas kasihan kepada seorang perempuan udak yang malang, dan menghibur dalam kesedihannya? 'Tunjukkan kepadaku suatu kebaikan, izinkan aku memuaskan hasratku pada bibirmu. Biarlah hatimu mencair, sekalipun hanya sejenak, dan berikan kembali kepadaku kedamaian pikiranku. Berikanlah sejenak waktu untuk menemaniku, dan saksikanlah keluasan maksud baik yang aku rasakan bagimu."

Zulaikha yang hati telah terbakar cinta menggunakan berjuta cara dan rayuan untuk mendapatkan Yusuf. Tapi, sejuta cara yang digunakan Zulaikha, sejuta penolakan pula yang Yusuf berikan kepadanya:

"Dengarkanlah aku. Engkau yang hati dan jiwanya terbungkuk karena beratnya cintamu kepadaku, apabila pengakuan cintamu sepenuhnya benar seperti cahaya fajar, maka seharusnyalah mengikut bahwa satu-satunya keinginanmu adalah menyesuaikan diri dengan hasratku. Sekarang, yang aku minta kepadamu adalah melayanimu, dan apabila engkau menolak permintaanku ini, maka bukanlah itu cara seseorang mencintai. Hati yang rindu cinta tidak mencari apa-apa kecuali untuk memuaskan si tercinta, kepuasan pribadi sepenuhnya akan dikorbankan ke dalam hasrat untuk menyenangkan (si tercinta)."

Puncaknya adalah ketika Zulaikha memerangkap Yusuf di dalam istana yang dia buatkan untuknya. Pada kesempatan itulah, Yusuf hampir jatuh ke dalam cumbu-rayu Zulaikha, namun Allah menyelematkan beliau alaihissalam. Karena, seperti dikisahkan dalam Al-Quran, Yusuf pun "berkehendak" kepada Zulaikha. Saat Yusuf berusaha berpaling dan berusaha melarikan diri, Zulaikha menarik bagian belakang jubah Yusuf hingga robek. Karena sang Wazir Agung lebih memercayai dusta Zulaikha meskipun semua bukti memberatkan sang istri, hukuman pun ditimpakan kepada Yusuf yang sebenarnya adalah korban kejahatan Zulaikha.

Roda zaman kemudian berputar. Keistimewaan Yusuf yang dapat menafsirkan mimpi diketahui oleh raja. Yusuf dibebaskan dari penjara dan setelah berhasil menafsirkan mimpi raja, ia diangkat sebagai Wazir Agung Mesir yang baru. Jauh sebelumnya, di dalam salah satu mimpinya, Zulaikha pernah melihat bayangan Yusuf sebagai Wazir Agung. Mimpi itulah yang membuat Zulaikha datang ke Mesir dan kemudian melamar Wazir Agung yang ternyata bukanlah laki-laki yang dia lihat dalam mimpi. Sementara itu, Wazir Agung yang lama meninggal dunia karena kesedihan tak terkira lantaran kehilangan kekayaan dan jabatan. Nasib Zulaikha hanya sedikit lebih baik dari sang suami. Ia kehilangan segala kekayaannya, tapi tidak ada nestapa lain yang menghancurkan dia kecuali nestapa cinta karena Yusuf yang semakin menghancurkan ruh dan raganya. Jami melukiskan kebangkitan Yusuf, dan keterpurukan Zulaikha dengan sangat indah:

"Karena demikianlah jalan langit dalam kediaman kekecewaan ini: perlahan dalam cinta, cepat dalam kebencian, mengangkat seseorang setinggi matahari yang memuncak, membaringkan yang lainnya terkapar bagai bayangan."

Jalan langit pula yang akhirnya mempertemukan kembali Yusuf dengan Zulaikha. Yusuf tidak lagi mengenali sosok Zulaikha yang tua-renta dan nyaris buta dan hidup sebagai gelandangan. Kegagalannya mendapatkan cinta Yusuf telah merenggut kecantikan dan kemudaan Zulaikha. Keterpisahan dengan Yusuf telah menghancurkan jiwa Zulaikha. Hilangnya cahaya wajah Yusuf membuat kedua mata Zulaikha tenggelam dalam air mata darah. Harta Zulaikha telah terkuras bagi siapa saja yang menyanyikan pujian bagi Yusuf. Atas izin Allah, Yusuf mengembalikan kemudaan dan kecantikan Zulaikha. Dengan izin dari Allah pula, Yusuf kemudian dipersatukan dengan Zulaikha. Belakangan, Yusuf baru mengetahui bahwa Zulaikha masih suci dan tidak pernah disentuh oleh Wazir Agung yang lama yang pernah menjadi suaminya. Ketika mendengar penjelasan mengenai bagaimana Zulaikha menjaga kesuciannya untuk dirinya, Yusuf berkata:

"'Katakan kepadaku, wahai engkau yang bahkan lebih cantik dari bidadari, tidakkah engkau berpikir ini lebih baik daripada yang engkau kehendaki?'

"'Ya!' Jawab Zulaikha. 'Maafkan aku, kepedihan cinta itulah yang menurunkan aku kepada keadaan itu. Hatiku dahulu berada dalam belenggu nafsu yang tanpa batas. Jiwaku disiksa oleh sakit yang tak ada obatnya. Rupamu begitu elok sehingga setiap saat melemparkan perasaan ke dalam gejolak yang bahkan lebih besar. Hal itu lebih besar daripada yang dapat aku tanggung. Maka aku memohon kepdamu untuk menarik ampun atas kejahatanku. Bagaimana mungkin si tercinta menghina si pencinta demi kata-kata yang timbul dari cinta yang mutlak?'"

==================
Referensi:
Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami, "Yusuf & Zulaikha", penerjemah, M. Hasyim Assagaf, Penerbit Lentera, Edisi Revisi, Cet. 1, 2002.

Tuesday, June 10, 2008

abtar

Dulu waktu kami baru menikah dan belum punya momongan, banyak yang menanyakan ke istri, "Udah isi belum?" Pertanyaannya memang sederhana, tapi kalau ditanyakan terus-menerus selama berbulan-bulan oleh bermacam-macam orang, ternyata bisa bikin pusing juga.

Kemudian Allah menganugerahi kami seorang putri. Keluarga besar kami bersyukur. Apalagi kedua orangtua saya yang punya tiga orang anak dan semuanya laki-laki. Beberapa tahun kemudian, saya dan istri pun kembali menerima pertanyaan yang umum dialamatkan pasangan yang baru punya anak satu, "kapan nih tambah satu lagi?" Pertanyaan ini tidak terlalu berat, jadi kami bisa menjawab dengan santai, "nanti lah tunggu yang pertama agak besar".

Kemudian Allah memberkahi kami kembali dengan seorang putri. Keluarga besar kami semakin bersyukur. Memang ada yang berharap anak kedua kami akan berjenis kelamin laki-laki, tapi saya dan istri tidak pernah berharap seperti itu. Doa dan harapan saya dan istri sejak awal kehamilan anak kedua (dan juga anak pertama dulu) adalah supaya anak kami akan terlahir sehat, apapun jenis kelaminnya.

Tapi, rupa-rupanya keluarga yang punya anak yang semuanya perempuan bukan dianggap sebuah prestasi. Bahkan, seorang tetangga yang juga punya dua orang putri seoleh-olah tidak bangga dengan itu. "Itu (punya dua anak perempuan) sih bukan alhamdulillah, pak Amrie," begitu katanya kurang lebih. Saya kaget juga waktu dengar itu, tapi kemudian saya pikir dia hanya bersikap merendah.

Sepertinya (komentar) tetangga saya itu mewakili persepsi umum di masyarakat bahwa anak laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Kemudian, ada juga satu-dua orang yang menafsirkan karunia anak perempuan sebagai "hukuman" buat ayahnya. Mereka yang menganut tahayul ini biasanya mengatakan, "Lo sih suka begini-begitu sama perempuan, jadi lo dikasih anak perempuan."

Persepsi-persepsi masyarakat umum seperti di atas memang tidak muncul begitu saja. Pasti ada penyebabnya, ada sejarahnya, dan itu tidak terlepas dari budaya serta tingkat pendidikan masyarakat yang bersangkutan. Persepsi bahwa anak laki-laki lebih unggul adalah warisan budaya kerajaan di mana anak laki-laki adalah putra mahkota penerus dinasti. Kalau seorang raja hanya punya anak perempuan dan tidak punya anak laki-laki, maka dianggap terputuslah garis keturunannya dan mahkota dialihkan kepada pihak lain, bukan kepada sang putri.

Itu sedikit banyak mengingatkan saya pada ejekan kaum musyrikin Mekkah kepada Rasulullah yang tidak memiliki anak laki-laki. Seperti diketahui, kaum musyrikin sangat membenci Nabi karena dakwah yang beliau sampaikan. Mereka juga melakukan berbagai cara untuk menghentikan atau mengganggu dakwah Nabi, mulai dari ejekan hingga kekerasan. Salah satu ejekan dari kaum musyrik kepada Nabi adalah "abtar" atau terputus karena mereka menganggap keturunan Nabi terputus karena beliau tidak memiliki anak laki-laki. Peristiwa itu menjadi sebab turunnya surat Al-Kautsar (nikmat yang melimpah ruah). Dalam salah satu ayat surat tersebut Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, "innasyani'aka huwal abtar", "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (Muhammad) dialah yang terputus (keturunannya)."

Anak perempuan juga bukan hukuman bagi dosa atau kesalahan yang mungkin dilakukan orang-tuanya, entah itu ayah atau ibunya. Dalam agama saya, seseorang hanya menanggung dosa atau kesalahan yang dia perbuat. Artinya, tidak ada istilah dosa yang diturunkan kepada anak atau cucunya. Setiap bayi terlahir suci dan dia adalah amanah sekaligus anugerah bagi kedua orang tuanya, laki-laki maupun perempuan.

Tapi, mungkin saja saya salah. Mungkin saya terlalu merisaukan hal yang sepele. Karena, boleh jadi kalau kedua anak saya berjenis kelamin laki-laki, orang-orang malah akan mengatakan, "tinggal anak ceweknya nih." Jadi, mungkin sebagian orang berpandangan, keluarga itu lebih komplit kalau ada anak laki-laki dan perempuan.

Di atas itu semua, yang menurut saya lebih penting adalah, kita tidak perlu terlalu merisaukan omongan yang kurang bermanfaat. Jangan sampai omongan yang bermutu rendah dari satu-dua orang membuat kita melupakan nikmat melimpah ruah yang Allah berikan kepada kita dan keluarga. Wallahu 'alam.

Wednesday, June 04, 2008

si buyung

Yesterday, love was such an easy game to play
~ The Beatles, 'Yesterday'

"Saya akan mundur saja, Mas," kata si Buyung tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya saya, setengah kaget.
"Kayaknya dia semakin mengambil jarak. Lagipula, dugaan saya sebelumnya sepertinya makin benar. Dia sedang dekat dengan orang lain. Dari 'kasta' yang lebih tinggi," ucap Buyung sambil tersenyum.

"Ya, sudah. Mungkin lebih baik begitu," kata saya. Melihat dia sepertinya masih berharap ada lanjutan dari kalimat saya sebelumnya, saya kemudian melanjutkan, "maksud saya, baiknya sampeyan mundur dengan pertimbangan mungkin itu akan membuat dia lebih bahagia. Tapi, jangan mundur cuma gara-gara ada saingan, sekalipun dari 'kasta' yang lebih tinggi."

"Tapi, apa Mas masih mau bantu saya?" Ah, si Buyung menagih janji saya sebelumnya.
"Itu dia, dik Buyung. Dalam perjalanan ke sini, saya sempat berpikir kalau saya mungkin tidak bisa membantu. Dulu saya menawarkan bantuan cuma bermodal semangat, niat baik. Saya sadar, saya tidak punya kemampuan untuk membantu. Kalau cuma punya niat tapi tidak punya kemampuan, itu malah tidak akan membantu," saya berkelit dengan susah payah.

"Mas pasti bisa bantu saya," Buyung meyakinkan saya.
Saya berpikir sebentar. Bagaimanapun saya merasa bersalah karena sudah mengucap janji. "Saya cuma bisa menulis, dik Buyung," kata saya akhirnya.
"Jadi, Mas akan buat tulisan soal masalah yang saya hadapi?" Pertanyaan Buyung, buat saya, lebih terdengar sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
"Saya usahakan," sambut saya, masih agak ragu.

Malam itu, si Buyung dan saya kemudian menghabiskan sisa makanan dan minuman yang tersisa di meja, sebelum akhirnya kami pergi meninggalkan warung.

***

Abu Dzar adalah salah satu sahabat yang ikut ekspedisi ke Tabuk bersama Rasulullah Saw dan para pasukannya. Perjalanan ke Tabuk (400 mil di utara Madinah) kala itu teramat berat di tengah panas padang pasir yang membara. Di tengah jalan, tiga orang, satu demi satu, tercecer di belakang, dan setiap kali ada yang tercecer, Nabi diberi tahu, dan setiap kali itu Nabi berucap: "Jika ia orang baik, Allah akan mengembalikannya; jika ia orang tidak baik, lebih baik ia pergi (tidak menyusul)."

Unta Abu Dzar yang kurus dan lemah terbelakang, dan dia pun tertinggal di belakang. "Ya Rasulullah, Abu Dzar juga tercecer!" ujar salah seorang sahabat. Nabi pun mengulangi kalimat yang sama: "Jika ia orang baik, Allah akan mengembalikannya; jika ia orang tidak baik, lebih baik ia pergi."

Pasukan itu terus maju, dan Abu Dzar makin tercecer tetapi tak ada yang dapat dilakukannya; binatang tunggangannya itu tetap tak berdaya. Apa pun yang ia lakukan, untanya tak juga bergerak, dan kini ia telah tertinggal beberapa mil di belakang. Ia membebaskan untanya, lalu memikul sendiri muatannya. Dalam suhu terik itu ia meneruskan perjalanan di gurun panas. Ia serasa akan mati kehausan. Ia menemukan tempat berteduh pada batu-batu yang terlindung panas oleh bukit. Di antara batu-batu itu ada sedikit air bekas hujan yang menggenang, tapi ia berniat tidak akan meminumnya mendahului sahabatnya, Rasulullah Saw. ia mengisi air itu ke dalam kantong kulit (kirbat), memikulnya, dan bergegas menyusul kaum muslim yang telah jauh di depan.

Di kejauhan, pasukan muslim melihat suatu sosok. "Ya Rasulullah! Kami melihat suatu sosok menuju ke arah kita!"

Beliau Saw berucap semoga sosok itu adalah Abu Dzar. Sosok itu makin dekat, dan memang itu Abu Dzar, tetapi tenaga yang terkuras dan dahaga serasa mau mencopot kakinya. Nabi Saw khawatir ia akan roboh. Nabi Saw menyuruh agar Abu Dzar secepatnya diberi minum, tapi Abu Dzar berkata dengan suara serak bahwa ia mempunyai air. Nabi Saw berkata: "Engkau mempunyai air, tetapi engkau hampir mati kehausan!"

"Memang ya Rasulullah! Ketika saya mencicipi air ini, saya menolak meminumnya sebelum sahabatku, Rasulullah," ucap Abu Dzar.*


=============
*Dinukil dari Murtadha Muthahhari, "Karakter Agung Ali bin Abi Thalib", dari "Bihar al-Anwar".