Monday, May 28, 2007

jiwa dan hidupku

Beberapa hari lalu, istri saya menanyakan apakah saya sudah mengeposkan tulisan baru di blog ini. Entah bagaimana, dia tahu kalau sudah dua minggu terakhir ini saya tidak menulis di sini, padahal saat itu adalah hari kesekian dia tidak ke kantor yang berarti selama itulah istri saya tidak bisa akses internet. Tapi, yang paling membuat saya penasaran adalah motif dia bertanya soal itu. Soalnya, biasanya dia tidak pernah tanya soal itu. Mungkin karena saya yang selalu kasih tahu setiap ada tulisan baru sebelum dia sempat bertanya.

Di antara sekian banyak alasan yang mungkin melatarbelakangi pertanyaan istri saya itu, ada satu yang menurut dugaan saya paling mendekati kebenaran. Saat itu, atau mungkin sampai sekarang, saya menduga dia berharap saya menulis sesuatu mengenai kejadian yang kami, atau tepatnya istri saya alami minggu lalu. Alasan ini mungkin tidak akan dijelaskan istri saya, karena satu dan lain hal, kalaupun saya menanyakannya secara langsung.

Dugaan saya mungkin saja salah. Tapi, seandainya itu benar, inilah penjelasan saya. Saya tidak menulis apa yang kami alami karena, terus terang, saya butuh waktu untuk merenungi dan meresapi pelajaran yang Tuhan berikan kepada kami kali ini. Saya tidak tahu kapan kami dapat benar-benar memahami hikmah di balik apa yang kami alami. Tapi, sejauh ini saya menerimanya sebagai ujian bagi saya dan istri, dan keluarga kami. Ujian yang sedemikian rupa telah membukakan mata kami akan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga yang selama ini kami lalai mensyukurinya.

Ada hal-hal yang sulit untuk saya katakan langsung dengan lisan kepada istri. Salah satunya adalah ini:

Saya tidak berubah, insya Allah, setelah apa yang kamu alami. Kalau sebelumnya saya rela mencari jambu air, pisang emas, jeruk, dalam perjalanan pulang ke rumah dari tempat kerja, sekarang pun saya siap melakukannya lagi kalau kamu minta. Karena, buat saya, kamulah yang paling penting. Saya tidak ingin meminta yang lain kecuali yang dapat kamu berikan dan apa yang telah menjadi hak saya.

Syair ini tidak hanya mengingatkan saya pada ibu yang melahirkan saya, tapi juga ibu yang telah melahirkan anak saya:

Ummi, ibu jiwa dan hidupku
pemberi kebahagiaan dan harapan
sekarang, juga di masa depanku
Ummi, ummi…ibu…ibu…ibu

Namamu wahai ibu terpahat di hatiku
cintaku padamu membawaku ke jalan yang benar
dan doaku selalu
Semoga Allah senantiasa menjagamu
Ummi, ummi…ibu…ibu…ibu

(dikutip dari lagu “Ummi” oleh Haddad Alwi)

Friday, May 11, 2007

Mabuk dan terbakar!


Puisi Rumi selalu memabukkan,
mabuk yang melebihi anggur
paling keras sekalipun.
Aku tak berani membayangkan
akan semabuk apa diriku
saat menikmati puisinya dalam bahasa Persia!

Puisi Rumi selalu membakar kesadaranku,
terbakar dan menyala-nyala
dalam keasyikan.
Aku tak sanggup menalarkan
akan sehangus apa jiwaku
saat dipanggang 70.200 bait syairnya nan membara!
------------------------

Wudhuku Airmataku*

“Walau semua lampu dinyalakan dan makanan
di meja di hidangkan,
Selepas shalat malam dilaksanakan,
Sang Kekasih tak lepas tiada lekang dari ingatan,
ada rasa sedih, ada rasa risau, berkelindan
dengan ratapan

Shalatku demam garang itulah sebabnya
wudhuku airmataku,
Tatkala azan dikumandangkan terbakarlah
gerbang masjidku.

Alangkah aneh ini shalat orang kasmaran,
lalu katakan padaku,
apakah sah bersembahyang begini tanpa peduli ruang
dan waktu?

Aneh benar rasanya ini yang dua rakaat,
apa lagi ini rakaat keempat.

Terlebih lagi anehnya, kubaca sebuah surah tanpa lidah!
Betapa mungkin kuketuk gerbang Tuhan
tanpa jantung, tiada pula tangan?

Karena telah Dikau ambil jantung dan tangan hamba,
Ya Tuhan hamba, lindungi, lindungi hamba!
Demi Tuhan, tidak tahu aku ketika bershalat itu
apakah memang ada seseorang tegak memimpin jamaah
atau bahwa ruku ini selesai dan shalat pun usai.”

*Alih puisi Rumi oleh Taufik Ismail dalam kata pengantar dalam Revolusi Sang Matahari: Kelana Cinta Jalaluddin Rumi (Nigel Watts) dari Life and Work of Rumi (Afzal Iqbal).

Wednesday, May 09, 2007

kualitas insan ada dalam pilihan

Aku telah menetapkan hati untuk menghancurkan diriku, untuk dibinasakan oleh cintamu” (Fanaa)

Mungkin belum banyak yang tahu kalau saya ini penggemar film-film India. Dari beberapa film Bollywood yang pernah saya lihat, ada satu yang cukup berkesan buat saya. Judulnya Fanaa (binasa, musnah, hancur). Jalan ceritanya tidak terlalu istimewa, tapi di dalamnya terkandung syair-syair yang sangat indah. Satu lagi, film ini juga sarat akan pesan-pesan moral dan filsafat yang cukup dalam.

Di awal film itu, ada satu nasihat bijak yang diberikan Ali Beg kepada Zooni, putrinya yang tunanetra. Sang ayah mengatakan, “memilih antara yang benar dan salah itu mudah, tapi yang menentukan hidup seseorang adalah memilih antara yang lebih utama dari dua kebaikan atau yang lebih tidak merugikan dari dua keburukan” (to choose between right or wrong is simple, but what defines one's life is the decision between the greater of two goods or the lesser of two evils).

Dalam hidup, kita pasti akan menghadapi keadaan yang demikian. Bahkan, akan hadir suatu kondisi di mana hanya ada dua pilihan buruk di depan mata kita yang menentukan (jalan) hidup kita. Di sanalah, pada pilihan yang kita buatlah, akan ditentukan kualitas dari diri kita sebagai manusia. Dalam kondisi yang demikian, memilih di antara dua keburukan, perjuangan kita terletak pada usaha kita untuk mencari mana di antara keduanya yang paling sedikit membawa kerusakan atau kerugian.

Kabaikan dan keburukan kadang tercampur baur. Terkait itu, ada satu ungkapan yang sering saya kutip atau sebut: sesuatu itu tidak selalu seperti kelihatannya. Karena itu, di dalam Islam, Nabi Muhammad mengajarkan doa yang sangat dahsyat: Allahumma arinal haqqa haqqan warzuq nattiba’ah wa arinal batila batilan warzuqnajtinabah (Ya Allah, tampakkan kepada kami yang baik itu baik, dan anugerahi kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tampakkan kepada kami yang salah itu salah, dan anugerahi kami kekuatan untuk menjauhinya).

Kembali ke Fanaa. Film itu juga berisi pesan tentang pengorbanan seseorang demi sesuatu, seseorang yang kita cintai. Dalam bahasa India, Fanaa berarti binasa dalam cinta. Zooni dipaksa untuk memilih dua pilihan sulit, dia harus mengorbankan dua hal yang paling dia cintai, kekasihnya yang dia cintai atau negaranya. Dia tidak bisa tidak memilih karena hidupnya -- bahkan hidup orang banyak -- bergantung pada pilihan yang dia ambil.

Akhirnya, Zooni memilih negaranya di atas orang yang dia sangat cintai. Pilihannya menyebabkan sang kekasih binasa. Bagaimanapun, kebinasaan adalah fitrah setiap insan. Fanaa menyelipkan pesan bahwa sebaik-baik kebinasaan adalah kebinasaan dalam cinta. Wallahu a’lam.

Salam,

amrie