Wednesday, August 16, 2006

PERADI Menerima Puluhan Surat Pernyataan Opt Out

Selama beberapa hari terakhir, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menerima sejumlah salinan surat pemberitahuan tentang pernyataan keluar (opt out) dari gugatan perwakilan kelompok (class action) melawan PERADI. Surat-surat tersebut diterima lewat surat elektronik (e-mail), faksimili, kurir, ataupun yang diantar langsung oleh yang bersangkutan.

Sampai dengan hari ini, PERADI menerima sedikitnya 24 surat pernyataan keluar dari gugatan perwakilan kelompok baik yang register No.168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST dan register No.100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Seperti diketahui, kedua gugatan perwakilan kelompok tersebut diajukan oleh lima peserta Ujian Profesi Advokat (UPA) tanggal 4 Februari 2006 yang tidak lulus.

Sebagaimana diketahui, surat pernyataan keluar dari gugatan perwakilan kelompok seperti disebutkan di atas diajukan kepada Kepala Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat cq. Panitera Pengganti beralamat di Jl. Gajah Mada No. 17, Jakarta Pusat, serta kepada Para Penggugat cq. D.H. Lubis, SH dan Drs. MHM Simatupang, SH di Jl. Tomang Raya No. 2, Jakarta.

Sebagian anggota kelompok yang menyatakan keluar dari gugatan kemudian berinisiatif untuk mengirimkan salinan pernyataan tersebut kepada PERADI. Untuk diketahui, anggota kelompok gugatan register No. 168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST adalah para peserta UPA 4 Februari 2006 di 18 kota provinsi sebanyak 6.508 orang. Sedang, anggota kelompok gugatan register No.100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST adalah para peserta UPA 4 Februari 2006 yang tidak lulus.

Verifikasi dan pendataan ulang
Pada bagian lain, PERADI kembali mengingatkan akan batas waktu verifikasi dan pendataan ulang advokat akan berakhir pada Rabu, 16 Agustus 2006. Pengumuman proses verifikasi dan pendataan ulang advokat telah diumumkan PERADI di media cetak dan internet sejak 16 Juni 2006 silam.

Verifikasi advokat adalah untuk advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum yang pada saat berlakunya UU No.18/2003 tentang Advokat telah diangkat sebagai advokat berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum & HAM) atau pengacara praktik berdasarkan SK Pengadilan Tinggi, namun belum pernah mengikuti verifikasi dan belum memiliki Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (sekarang PERADI).

Sedangkan, pendataan ulang advokat diperuntukkan bagi seluruh advokat yang telah terdaftar dalam Buku Daftar Anggota PERADI dan atau telah memiliki KTPA yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (sekarang PERADI). Pendataan ulang advokat dilakukan guna pemutakhiran (updating) data Buku Daftar Anggota (pasal 29 ayat (2) UU Advokat), dan penerbitan KTPA baru (berlaku s.d. 31 Desember 2009) yang berlaku sebagai kartu izin praktik advokat.(AMR)

Sumber: PERADI

Thursday, August 10, 2006

Jadi inget saya kecil...

Dari blog http://hadinda.multiply.com :

Dasar Kutu Buku !!!

Dalam kereta dari Jakarta menuju Bogor, Indra bingung, resah dan gelisah !! bukan karena kecopetan atau habis kena palak (karena kalau kecopetan di kereta sudah biasa, ga’ bikin bingung lagi). Tapi karena Indra baru sadar, dari puluhan bahkan ratusan kali Indra naik turun bis, kereta, kapal laut, bahkan pesawat terbang dia baru menyadari dan baru kepikiran kalau hampir seluruh pengguna angkutan umum dalam setiap perjalanannya yang berjarak jauh dan macet tidak ada yang memanfaatkan waktunya dengan membaca!!! (aneh khan si Indra ini ??)

Di usiannya yang sudah 20 tahunan Indra kembali mengenang saat-saat SD, SMP, SMAnya, bagaimana dia dulu dijuluki si ”KUTUBUKU”. Sebuah predikat yang sebenarnya sangat tidak dia sukai, dan seakan-akan julukan ”KUTUBUKU” seperti HARAM hukumnya kalau dimakan dan Najis hukumnya kalau terkena bagi kawan-kawannya saat sekolah dahulu, tapi julukan tersebut menempel pada dirinya karena hobinya membaca buku.

Padahal kalau dipikir-pikir, porsi baca bukunya Indra normal-normal saja, tanpa mengganggu aktifitas belajar dan bermasyarakatnya. Saat SD, ketika teman-temannya bermain galasin, benteng, kelereng dia ikutan main bahkan prestasinya diatas rata-rata. Hanya saja mungkin ketika teman-temannya sibuk ngerumpiin film kartun yang diputar di TV kemarin sore atau ngerumpiin permainan nintendo, indra lebih asik dengan bukunya. Bukan karena indra ga’ nonton film kartun atau ga’ main nintendo (indra juga punya nintendo di rumah lhooo....). Jadi kesimpulannya indra di cap sebagai KUTUBUKU karena di dalam tasnya selalu ada buku-buku semisal Trio Detektifnya Sherlock Holmes, lima sekawan, buku-buku dongeng Enid Bylton, majalah Bobo dan BUKU PINTAR!! (yang isinya ada gambar2 bendera, trus profil negara-negara, nama-nama presiden sampe gubernur di Indonesia juga ada). Semua itu sebenarnya Cuma hobi dan sebagai pemuas syahwat ingin tahunya saja. Suatu hari di kelas 4 SD ketika indra lagi asik baca Lupus Kecil di bangku paling depan sehabis jam istirahat dan teman-temannya buka “pasar kaget" di kelas (asli, ribut banget), tiba-tiba terdengar suara cempreng yang melengking, DIAAAAM....... Seluruh isi kelas mendadak sunyi senyap. Mata sipemilik suara barusan tertuju ke buku yang berada di tangan Indra. ”Apa ini ?!! tanya bu guru. Singkat cerita lupus Kecilnya Indra tersebut nginep di laci bu guru yang terkunci sampai dikembalikan lewat mamanya Indra pas bagi rapot. Alhasil sejak saat itu Indra langsung paranoid. Kalau dia bawa buku cerita ke sekolah kayak bawa narkoba, ngumpet-ngumpet, dan baru dibaca di bis pas pulang sekolah. Padahal di salah satu dinding di sudut sekolahan Indra tertulis : ”Perpustakaan gudang ilmu, buku jendela dunia” Aneh ya ???

Ketika duduk di bangku SMP dan SMA waktu indra banyak dihabiskan di depan komputer. Browsing internet berjam-jam, terus download artikel-artikel. Sesekali, semenit-dua menit menit dia chatting. Habis itu check email. Jarang ke perpustakaan sekolahnya, karena buku-buku di perpustakaan sekolah ga’ ada yang menarik minatnya, isinya semua buku pelajaran. Seringnya ke toko buku Gra*ed*a di daerah Matraman. Indra juga punya beberapa teman untuk diajak diskusi buku. Kalau teman-temannya sekelas ada acara jalan-jalan ke mall kadang dia ngikut, terus pas teman-temannya pada cuci mata, main ditempat permainan Ti*e Zon*, Indra milih asyik di toko buku. Lucunya ketika SMA guru Bahasa Indonesianya iseng ngasih tugas “mengarang bebas” waktunya 90 menit, sebagian besar teman-temannya menulis karangan dengan judul “BERLIBUR KE RUMAH NENEK DI DESA”

Sekarang Indra sudah kuliah, minat bacanya masih seperti dulu, dan tetap saja stempel ”kutu buku ” melekat pada dirinya. Stempel itu juga tetap dianggap aneh oleh teman-temanya, lingkungannya bahkan masyarakatnya. Budaya plagiat dalam menulis skripsi menjadi hal yang biasa pada bangsanya.Indra sadar, minat baca masyarakat bangsanya lemah, selemah bangsanya keluar dari berbagai macam krisis yang berkepanjangan. Semuanya hanya bermasalah pada paradigma, minat dan pengetahuan akan pentingnya membaca bagi masyarakat bangsanya. Padahal Tuhannya Indra (Allah SWT. Red), yang juga Tuhannya hampir 90% masyarakat bangsanya menyeru untuk membaca pada kata pertama firmannya. Kalau membaca saja sulit, gimana menulissss ? wallahu’alam bishawab.

Hadin A. Miftah
© 09-08-06

Wednesday, August 09, 2006

Hati-hati terhadap Pendidikan Advokat Tidak Resmi

Berhubung masih ditemukan pihak-pihak yang masih menyelenggarakan Pendidikan Profesi Advokat (PKPA) yang mengatasnamakan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), maka dengan ini kami rasakan perlu untuk mengumumkan kembali mengenai PENGHENTIAN SEMENTARA PENYELENGGARAAN PKPA terhitung sejak Februari 2006.

DPN PERADI menyatakan tidak pernah memberikan persetujuan dalam bentuk apapun terhadap penyelenggaraan PKPA yang dilakukan setelah Februari 2006. Dengan demikian, PERADI tidak bertanggung jawab atas penyelenggaraan PKPA sebagaimana dimaksud. Karena itu, segala akibat hukum yang timbul dari penyelenggaraan PKPA sebagaimana dimaksud di atas semata-mata menjadi tanggung jawab penyelenggara PKPA yang bersangkutan.

Setiap penyelenggaraan PKPA yang dilakukan tanpa persetujuan dari PERADI dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai pendidikan khusus profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Karena itu, PKPA sebagaimana dimaksud di atas tidak akan diakui oleh PERADI sebagai PKPA yang merupakan salah satu syarat untuk menjadi advokat.

Berkaitan dengan itu, Ketua Komisi Pendidikan Khusus Profesi Advokat Indonesia (KP2AI), Fauzie Yusuf Hasibuan menyatakan, pelaksanaan PKPA mendatang akan diumumkan melalui surat resmi oleh PERADI.(AMR)

Tuesday, August 08, 2006

Terbuka, Peluang untuk Keluar dari Gugatan Class Action

Gugatan perwakilan kelompok terhadap Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) masih bergulir. Pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok (class action) yang diajukan oleh M. Cholil Saleh dan empat penggugat lainnya telah dilakukan melalui beberapa kantor pengadilan, di antaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pemberitahuan tersebut ditujukan kepada para peserta ujian profesi advokat tanggal 4 Februari 2006. Dalam pemberitahuan itu antara lain disebutkan bahwa apabila ada anggota kelompok yang tidak ingin bergabung dan terikat dengan gugatan perwakilan kelompok itu, maka yang bersangkutan dapat membuat pernyataan keluar secara tertulis.

Pernyataan keluar dari keanggotaan kelompok disampaikan kepada Kepala Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat cq. Panitera Pengganti beralamat di Jl. Gajah Mada No. 17, Jakarta Pusat, dan juga kepada Para Penggugat cq. Kuasa Hukum Sebelas Bakti Associates beralamat di Jl. Tomang Raya No. 2, Jakarta Pusat.

Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan anggota kelompok tidak memberikan pernyataan keluar secara tertulis, maka yang bersangkutan terikat serta tunduk pada putusan majelis hakim dalam perkara ini. Adapun jangka waktu yang dimaksud adalah 30 hari sejak gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah oleh majelis hakim yaitu 20 Juli 2006.

Kuasa hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dalam perkara gugatan perwakilan kelompok, Daniel Panjaitan menyatakan bahwa pihaknya telah mengetahui pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok yang dilakukan di beberapa kantor pengadilan di Jakarta. Meski demikian, Daniel mengatakan, dia belum melihat pemberitahuan yang sama melalui media massa nasional.

Sekadar tahu, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok mengatur bahwa cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.

Daniel mengatakan pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok melalui media massa nasional penting karena para peserta ujian advokat tersebar di 18 kota di Indonesia. Hal demikian, menurut Daniel, telah disetujui oleh majelis hakim pada persidangan 20 Juli silam.

Pada sisi lain, dalam pemberitahuan tersebut juga dikatakan, apabila ada anggota kelompok yang berkeinginan untuk bergabung dan mengikatkan diri sebagai penggugat, maka yang bersangkutan tidak perlu membuat pernyataan tertulis apapun. Pihak yang tidak menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok akan terikat pada putusan majelis hakim.

Sekadar mengingatkan, gugatan perwakilan kelompok diajukan oleh lima orang peserta ujian advokat pada 5 Juni silam. Gugatan tersebut diajukan dengan mengatasnamakan diri sendiri dan seluruh peserta ujian yang berjumlah 6.508 orang. Kelima penggugat itu adalah M. Cholil Saleh, Muhtarom Lardy Syam, M. Tigor P. Simatupang, Tohap Jepry, dan Gunawan Wibisono. Kelimanya adalah peserta yang dinyatakan tidak lulus ujian advokat Februari silam.(AMR)

Friday, August 04, 2006

Advokat Ditantang Tandatangani Deklarasi Anti-Suap

Dari pemberitaan di media massa diketahui banyak advokat yang tidak profesional dan tidak menjalan tugas profesi sesuai dengan kode etik. Bahkan, Sudah ada putusan pengadilan terhadap advokat yang terbukti melakukan suap. Karena itu, keberanian advokat untuk menandatangani Deklarasi Anti-Suap dinilai sebagai sesuatu hal yang penting.

Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Harry Ponto, dalam sambutannya pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) di Jakarta, Kamis (3/8) malam. Acara itu dihadiri pula oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Mariana Sutadi, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tumpak H. Panggabean.

Harry lebih jauh mengungkapkan, sejak 2003 hingga Juli 2006 terdapat sekitar 115 pengaduan pelanggaran kode etik oleh advokat. Harry menilai hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka makin tinggi. “Jadi, kita (advokat, red) mungkin harus makin prudent (hati-hati, red) dalam menjalankan tugas profesi,” tegas Harry.

Melawan advokat tidak profesional
Menanggapi tema Rakernas yaitu “IPHI Sebagai Motor Penggerak Melawan Penegak Hukum yang Tidak Profesional”, Harry menyatakan, penegak hukum yang dimaksud tidak hanya polisi, jaksa dan hakim, tetapi juga advokat itu sendiri. Ia berharap, Rakernas akan membahas program-program kerja yang meningkatkan profesionalitas advokat.

Terkait hal itu, Harry melanjutkan, sebagai Organisasi Advokat menurut Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat, tugas PERADI adalah meningkatkan kualitas profesi advokat. Untuk melaksanakan hal itu, PERADI yang baru dibentuk 1,5 tahun silam masih berkutat pada penguatan organisasi dan pelaksanaan bidang sertifikasi advokat yang meliputi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), ujian, dan magang.

“Khusus untuk ujian profesi advokat, jika sebelumnya ditengarai berlaku praktik suap jika mau lulus, maka ujian pertama yang diselenggarakan PERADI pada februari silam bebas suap dan KKN. Ini langkah awal untuk meningkatkan kualitas profesi advokat,” papar Harry. Ia juga mengatakan bahwa saat ini PERADI sedang memperkuat Dewan Kehormatan sebagai organ penegakan kode etik advokat.

Karena itu, Harry berharap Rakernas IPHI dapat menghasilkan program-program yang mengarah pada peningkatan profesi advokat seperti pendidikan hukum berkelanjutan (continuous legal education). Di samping itu, konsisten dengan tema rakernas, Harry mempertanyakan keberanian IPHI untuk menandatangani Deklarasi Anti-Suap.

Mewujudkan supremasi hukum
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Tumpak H. Panggabean menyatakan, meski dalam praktiknya kepentingan KPK dan advokat berbeda, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni mewujudkan supremasi hukum. Selain itu, Tumpak juga menegaskan bahwa KPK bukanlah lembaga super dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurutnya, keistimewaan KPK hanyalah karena memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus.

Sementara itu, Wakil Ketua MA Mariana Sutadi mengatakan bahwa advokat adalah mitra kerja hakim di mana saja dan kapan saja. Di sisi lain, Mariana menyoroti fenomena banyaknya advokat yang kalah berperkara sering melaporkan hakim kepada Presiden RI, serta lembaga-lembaga lain, termasuk Komisi Yudisial dan KPK. Umumnya, kata Mariana, para advokat itu menuduh hakim yang memeriksa perkaranya melakukan kolusi.

Mariana juga menekankan pentingnya Organisasi Advokat sebagai lembaga pengawas advokat dalam menjalankan tugasnya. Mariana menandaskan, korps hakim juga berkepentingan dengan keberadaan Organisasi Advokat beserta Komisi Pengawas di dalamnya demi menjaga kemandirian peradilan. “Kemandirian peradilan adalah sesuatu yang tidak mungkin dijaga sendiri oleh hakim,” cetusnya.

Tuesday, August 01, 2006

Pak Dan yang saya kenal

Dunia hukum Indonesia berduka. Profesor Emeritus Daniel S. Lev, Indonesianis dari University of Washingto, Seattle, AS, wafat pada Sabtu (29/7) siang waktu setempat atau Ahad (30/7) dini hari waktu Indonesia. Pak Dan meninggal pada usia 72 tahun akibat kanker paru yang dideritanya. Ayah dari seorang istri dan ayah dari dua orang anak itu adalah seorang guru, mentor dan, menurut The Seattle Times, mantan petinju.

Namun, sosok Pak Dan yang saya kenal sangat jauh dari sosok petinju yang umumnya keras. Saya terkesan dengan pribadi Pak Dan yang ramah dan penyabar. Saat masih bekerja buat Hukumonline.com, Saya beruntung mendapat kehormatan mewawancarai Pak Dan head to head pada 2003 silam. Salah satu wawancara terbaik yang pernah saya kerjakan dalam karir sebagai jurnalis.

Waktu itu, saya mewawancarai Pak Dan usai memberikan kuliah umum dalam sebuah seminar (3 April 2003). Keletihan jelas terlihat di wajah Pak Dan, tapi itu tidak menghalangi beliau untuk melayani saya yang saat itu, mungkin, agak memaksa. Sambil menyantap makanan kecil serta kopi yang disediakan penyelenggara seminar, Pak Dan dengan sabar menjawab satu-per-satu pertanyaan saya. Ya, saya menyita maktu makan siang Pak Dan. Biar begitu, Pak Dan tak segan memberikan beberapa jawaban yang panjang lebar tentang profesi advokat dan organisasi advokat. Semuanya dilakukan Pak Dan dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Pak Dan dikenal sebagai Indonesianis yang konsisten dan jernih dalam ulasannya mengenai dinamika hukum dan politik Indonesia sejak 1970-an. Tak hanya lewat kuliah di kampus, Pak Dan banyak terlibat secara aktif dalam upaya perbaikan hukum dan kebijakan di Indonesia. Pada 1999, Pak Dan menjadi salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama sejumlah advokat dan aktivis hukum di Indonesia.

Perhatian dan keprihatinan Pak Dan akan masa depan profesi hukum, khususnya, advokat Indonesia, tak perlu lagi dipertanyakan. Sebagai salah seorang yang telah mengamati dunia profesi hukum Indonesia sejak tahun 50-an, Dan tampaknya mengerti benar bahwa organisasi advokat yang kuat mustahil terwujud jika tidak berwujud wadah tunggal seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Jadi, bukan federasi. Namun, satu hal yang sungguh ia sayangkan, para pimpinan organisasi advokat belum ikhlas untuk disatukan. Saat itu, meski UU No.18/2003 tentang Advokat telah disahkan, namun organisasi advokat belum terbentuk.

Pak Dan menegaskan, tuntutan kalangan untuk dapat disederajatkan dengan penegak hukum lain -- polisi, jaksa dan hakim -- bukan diperoleh dari undang-undang. "Banyak advokat mengira bahwa kalau mereka diakui pemerintah dengan undang-undang berarti bahwa sekarang mereka akan diterima oleh hakim dan jaksa sebagai orang-orang yang sama rasa, sama rata di dalam sistem hukum. Ini omong kosong," ucap Pak Dan waktu itu. Menurutnya, pengakuan hanya dapat diperoleh dari keberpihakan profesi advokat kepada kepentingan masyarakat melawan hakim, jaksa, polisi dan, tidak terkecuali, advokat yang korup.

Pak Dan juga berpandangan agar advokat menjadi profesi yang kuat dan berwibawa, maka perlu dibentuk organisasi advokat yang tunggal. Organisasi advokat yang berbentuk federasi tidak dipandang sebagai opsi olehnya. "Federasi di situ berarti sama sekali bukan organisasi lagi. Itu betul-betul begitu gampang diadu domba. Pemerintah tidak menginginkan suatu organisasi advokat yang kuat, mereka itu hanya mengacaukan. Hakim (juga) benci ide itu," cetusnya.

Harapan Pak Dan akan munculnya organisasi advokat yang kuat dan berwibawa terus diperjuangkan untuk diwujudkan. Semoga keprihatinan Pak Dan juga menjadi keprihatinan advokat Indonesia.

Asfinawati, Direktur LBH Jakarta 2006-2009

Dari hukumonline.com:

"Akhirnya Asfinawati terpilih sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta periode 2006-2009. Dalam pemilihan yang memperebutkan 15 suara staf dan karyawan LBH Jakarta, Jumat (28/7), dara kelahiran Bitung ini beroleh 10 suara, meyisihkan Taufik Basari (1 suara) dan Erna Ratnaningsih (4 suara). "

Selamat buat Asfin, semoga Allah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada Anda dalam mengemban amanat sebagai pimpinan LBH Jakarta untuk tiga tahun ke depan. Sukses selalu.