Saturday, May 27, 2006

Fenomena Blog dan Praktik Hukum di Internet

Anda tidak perlu pengacara untuk menggugat pihak lain. Situs ini akan membantu anda mencari keadilan lewat proses menggugat di Indonesia.”

Catatan di atas dapat anda temui pada weblog atau biasa disingkat blog milik Markus H. Dipo, mjccase.blogspot.com. Jangan keliru, Markus bukanlah seorang advokat. Dia “hanya” dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, selain sebagai konsultan bisnis dan manajemen. Blog yang diberi nama “Kursus Hukum dari Orang Awam untuk Orang Awam” berisikan tips dan petunjuk untuk menggugat pihak lain secara perdata tanpa perlu bantuan pengacara. Materi yang dimuat dalam blog itu sendiri adalah hasil riset maupun kasus hukum yang dialami yang bersangkutan. Apa itu blog dan sejauh mana blog dapat dimanfaatkan dalam praktik hukum oleh advokat sungguhan?

Secara sederhana blog dapat diartikan website pribadi yang memuat jurnal maupun catatan yang bersangkutan yang dimutakhirkan secara berkala mengenai beragam topik. Jumlah blog di Indonesia, menurut riset Priyadi, salah seorang blogger – sebutan bagi pembuat/pemilik blog – saat ini mencapai 30.000 buah. Salah satu blog perintis di Indonesia milik Enda Nasution, mengutip laporan Technocrati (mesin pencari blog) per April 2006, menyebutkan ada dua blog lahir setiap detik, setiap harinya. Jumlah blog bertambah dua kali lipat setiap enam bulan sekali.

Blog memang telah cukup lama menjadi sebuah fenomena, di samping hebohnya website pertemanan friendster. Para blogger datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, profesional, aktivis sosial, pedagang, sampai ibu rumah tangga. Khusus bagi para profesional di Amerika, khususnya advokat serta akademisi hukum, blog telah dipandang sebagai fenomena besar baru di bidang sosial, politik dan ekonomi. Demikian seperti diungkapkan Gary Becker, peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi dan profesor pada University of Chicago, sebagaimana dikutip Helen W. Gunnarsson dalam “Do We Blawg and How?” (Illinois Bar Journal, May 2006, Vol. 94).

Di Negeri Paman Sam, blog yang menyangkut bidang hukum populer dengan sebutan blawg sebagai kependekan dari law blog. Robert J. Ambrogi, advokat dan konsultan internet, memperkirakan ada sekitar 1.000 blawg di Amerika, dan blawg lainnya terus bermunculan setiap harinya. Demikian dilaporkan dalam “Lawyers leap into 'Blogosphere'” (Lawyers Weekly USA, 25 May 2005). Buat ukuran Amerika, jumlah itu memang belum dapat dikategorikan banyak mengingat jumlah advokat di negara itu yang mencapai ratusan ribu.

Berbeda dengan rekan sejawat di Amerika, advokat di Indonesia rupanya belum terlalu ngeh dengan fenomena blog. Blog yang khusus mengupas dunia hukum dan praktik keadvokatan masih sangat langka. Dengan jumlah blog di Indonesia yang mencapai 30.000 buah serta jumlah advokat yang sedikitnya ada 16.000, tentu kita bertanya-tanya mengapa sulit menemukan advokat yang menjadi blogger. Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakanginya; pertama, advokat Indonesia belum menyadari pentingnya blog bagi pekerjaan mereka. Kedua, mereka, advokat/kantor advokat merasa keberadaan website sudah mencukupi untuk menjangkau klien dan publik sebagai potensial klien.

Bagi advokat, blog rupanya tidak hanya dapat menjadi media untuk menuangkan catatan maupun pandangan pribadi terhadap isu tertentu, tapi juga sebagai sarana “berjualan” alias menjaring klien potensial. J. Craig Williams, advokat litigasi di Newport Beach, California, memperkirakan blog miliknya, mayitpleasethecourt.net, bisa menghasilkan satu klien baru per minggu bagi kantornya yang memiliki lima advokat. Williams menyebutkan, blog yang ia buat sejak 2003 itu mendapatkan 20.000 hits per hari. “Jika mereka akan menyewa jasa saya, mereka dapat membaca apa yang saya tulis dan tahu mengenai saya tanpa pernah mendatangi saya secara langsung,” kata Williams.

Jurus ini pula yang dicoba ditiru Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, seorang advokat di Tangerang, Banten, dengan blognya, advokatku.blogspot.com. Selain mencurahkan ulasan kritisnya terhadap isu-isu hukum aktual, Wahyu juga memanfaatkan blognya untuk mendapatkan klien potensial. “Bagi pencari keadilan tapi belum berkeinginan menggunakan jasa advokat/Pengacara atau merasa mampu untuk menyelesaikannya tapi terkendala dengan pranata-pranata hukum yang ada. Kini anda tidak perlu lagi memendamkannya atau menggunakan cara penyelesaiannya menurut cara anda sendiri. Hubungi : NM. WAHYU KUNCORO, S.H. Advokat/Pengacara-Penasihat Hukum”, begitu tulis Wahyu dalam blognya.

Jika sudah ada website buat apalagi blog? Setidaknya ada dua kelebihan blog dibandingkan website; jauh lebih murah dan, secara teknis, pembuatannya relatif lebih mudah. Di Amerika sendiri blog terbukti media pemasaran yang efektif bagi advokat yang berpraktik solo serta kantor hukum skala kecil. Di sana, untuk membuat website memerlukan sekitar USD 10.000, sedang untuk membuat blog cuma merogoh USD 10 saja dari kocek. Bahkan, blog dapat dibuat tanpa biaya alias gratis lewat beberapa website seperti blogger.com, friendster.com, typepad.com, atau tripod.com.

Namun, pemasaran jasa hukum lewat blog juga ada kiat-kiatnya. Larry Bodine, konsultan pemasaran jasa hukum yang juga pengarang buku “Larry Bodine’s Professional Marketing Blog”, menyarankan kantor hukum memanfaatkan blog untuk memamerkan keahlian mereka. Menurut Bodine, sebuah blog harus fokus pada bidang hukum yang spesifik, seperti misalnya paten atau hukum keluarga. Selain itu, blog harus juga dimutakhirkan secara rutin dengan perkembangan hukum di bidang terkait. Ini satu lagi keuntungan blog dibandingkan website yang cenderung stagnan; blog dapat dimutakhirkan, bahkan beberapa kali dalam sehari.

Masih menurut Bodine, alasan penting lainnya mengapa harus memiliki blog adalah untuk meningkatkan visibilitas kantor hukum di internet. Pasalnya, Google dan mesin pencari lainnya mengukur relevansi situs dari seberapa sering situs itu dimutakhirkan serta berapa banyak situs lain yang menghubungkan (link) ke situs yang bersangkutan. “Alasan anda ingin memiliki blog adalah karena dia memperoleh lebih banyak traffic ketimbang website lantaran mesin pencari telah mempercepat algoritmanya untuk mencari daftar blog lebih dulu,” kata Bodine. Secara mendasar, blog adalah “mahluk” yang diburu mesin pencari; teks dan sesuatu yang baru serta menarik.

Secara alamiah, blogger kerap memandang diri mereka seolah-olah sebagai jurnalis. Mereka kerap kali melaporkan (baca: menuliskan) serta memberikan komentar beserta analisis mengenai isu-isu hukum yang sedang hangat. Seperti disebutkan di awal, blawg yang baik adalah yang isinya spesifik mengenai bidang hukum tertentu. Robert J. Ambrogi, pengarang buku “The Essential Guide to the Best (and Worst) Legal Sites on the Web," dalam kolomnya “Blawgs: More Than Just Fluff” (Law.com), membuat daftar 31 blawg yang dianggap berguna bagi praktik hukum. Karena tidak sedikit materi dalam blog yang berkualitas, maka banyak blog yang memiliki pengunjung setia atau bahkan menjadi pelanggan (subscriber) dari blog tersebut.

Bahkan, institusi setingkat Mahkamah Agung Amerika (US Supreme Court) tercatat pernah mengutip isi blog “Sentencing Law and Policy” pada putusannya dalam perkara U.S. v. Booker pada Januari 2005. Pemilik “Sentencing Law and Policy” memang bukan sebarang orang. Douglas Berman, si empunya blog, adalah profesor hukum di Ohio State University, pakar serta penulis buku teks tentang hukum pemidanaan. Blog milik Berman mencetak rata-rata 3.000 hits per hari dan sempat mencapai 20.000 hits sehari saat putusan perkara Booker dibacakan. Blog tersebut juga dikutip oleh enam pengadilan berbeda karena analisis kasusnya yang substantif.

Melihat betapa besar pengaruh yang mampu dihantarkan media bernama blog, maka bagi advokat ada sejumlah rambu yang perlu diperhatikan. Sedikitnya ada tiga isu praktis dan etis berkaitan advokat-blogger: mengizinkan atau tidak pembaca untuk menuliskan komentar, memasang disclaimer, dan apakah blog dapat dikategorikan sebagai iklan. Konsultan manajemen praktik hukum dari Washington DC, Reid Trautz, menyarankan agar advokat menggunakan “pendekatan paling aman” saat membuat blog.

Karena itulah, penting bagi advokat untuk membuat disclaimer yang umumnya tercantum dalam website kantor hukum bahwa tidak ada hubungan advokat-klien dan bahwa situs tersebut hanya untuk kepentingan informasi belaka (informational purposes only). Karena alasan itu, beberapa blawg tidak mengizinkan pembaca memberikan komentar. Hal lainnya menyangkut, dapatkah blog digolongkan sebagai iklan? Undang-undang RI No.18/2003 tentang Advokat memang melarang advokat untuk beriklan. Namun, jika isi blog tak ubahnya sebuah website maupun direktori kantor hukum yang telah banyak bertebaran, dan tidak mengandung janji-janji yang sedemikian rupa dapat merugikan salah satu pihak, maka blog tidak bisa dikatakan melanggar UU Advokat.

Hal lain yang penting dalam aktivitas blogging adalah kontinuitas atau keberlanjutan. Advokat-blogger harus memiliki komitmen untuk menulis di blog sedikitnya tiga atau empat kali dalam sepekan. Sementara, blogger lain berpendapat, komitmen untuk mem-posting tulisan seminggu sekali saja sudah cukup. Hal yang pertama adalah membuat blog menjadi mapan. Butuh waktu lama bagi mesin pencari untuk menemukan blog anda atau blogger lain untuk merantai blog anda. Banyak blog yang memulai dengan baik, namun kemudian berakhir mengenaskan. "Blogging is easy, but isn't good unless you have a plan and commit to it. It's a writer's medium," cetus Dennis Kennedy, penulis, advokat asal St. Louis, serta pemilik blog denniskennedy.com.

Kennedy mengatakan, pada satu sisi internet tidak ada kaitannya dengan praktik hukum, tapi pada sisi lain internet adalah segala-galanya bagi praktik hukum. Internet membuka jangkauan komunikasi seorang advokat dengan memungkinkannya mengedukasi banyak orang serta berhubungan dengan klien, advokat lain, dan masyarakat umum, melampaui praktik hukum tradisional. Melalui kedigdayaan internet, kata Kennedy, advokat-blogger mengembangkan komunitas yaitu dengan membuat praktik hukum menjadi lebih efektif dan menyenangkan.

(c) Amrie Hakim

Thursday, May 25, 2006

Tuntutan Ditolak, FP-HUA Minta Dukungan Advokat Senior

[16/3/06]

Bang Buyung mengatakan belum dapat memutuskan apakah akan mendukung atau tidak karena hingga saat ini ia belum mengetahui apa yang diinginkan FP-HUA dari dirinya.

‘Perjuangan untuk menjadi advokat tak akan pernah usai’. Mungkin itu semangat yang terpatri di hati para calon advokat yang tidak lulus ujian yang tergabung dalam Forum Penolakan Hasil Ujian Advokat (FP-HUA).

Setelah menempuh jalan diplomasi dan aksi unjuk rasa atau bahkan unjuk otot, yang tidak membawa hasil yang menggembiarakan, FP-HUA berencana meminta dukungan dari seorang advokat senior, tidak tanggung-tanggung, advokat senior tersebut adalah Adnan Buyung Nasution, yang akrab dipanggil Bang Buyung.

“Kalau perlu kami akan minta Abang Buyung untuk menjadi kuasa hukum kita,” tukas salah satu anggota FP-HUA di sela-sela dialog dengan jajaran pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kemarin (15/3) yang berujung menjadi rusuh.

Salah seorang anggota lainnya bahkan mengklaim kalau Bang Buyung telah menyatakan bersedia untuk menjadi kuasa hukum FP-HUA apabila memang polemik tentang hasil ujian advokat ini dibawa ke meja hijau. Seperti diketahui, FP-HUA dalam tuntutannya, selain meminta pemutihan, juga mengancam akan memperkarakan PERADI ke meja hijau dengan dasar adanya kecurangan dalam pelaksanaan ujian.

Hubungan Bang Buyung dengan PERADI ‘kebetulan’ memang tidak begitu harmonis. Beberapa waktu lalu, Bang Buyung melayangkan surat resmi ke PERADI menggugat keberadaan organisasi advokat yang mewadahi 8 (delapan) organisasi advokat ini. Bang Buyung menuding pembentukan kepengurusan PERADI tidak melalui mekanisme yang demokratis serta tidak menjunjung tinggi nilai-nilai negara hukum.

Bantah

Ketika dikonfirmasi via telepon oleh hukumonline, Bang Buyung mengakui memang beberapa hari belakangan ini ia sempat dihubungi oleh sejumlah orang dari beberapa organisasi advokat meminta bertemu terkait hasil ujian advokat. Sejauh ini, karena kesibukannya Bang Buyung belum sempat bertemu dengan satu pun dari mereka.

Bang Buyung juga membantah kalau ia telah menyatakan bersedia untuk mendukung FP-HUA ataupun menjadi kuasa hukum mereka. Bang Buyung mengatakan belum dapat memutuskan apakah akan mendukung atau tidak karena hingga saat ini ia belum mengetahui apa yang diinginkan FP-HUA dari dirinya.

“Abang merasa perlu untuk segera menerima mereka, Apalagi ditambah informasi adanya kerusuhan ini,” ujar advokat senior yang juga membidani terbentuknya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini.

Mengomentari kericuhan yang terjadi, Bang Buyung mengatakan kejadian seperti ini sebenarnya sudah ia prediksi jauh-jauh hari. Menurutnya, kericuhan ini menggambarkan kelemahan PERADI karena sebagai sebuah organisasi, PERADI hingga saat ini belum mempunyai anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART).

“Dia (PERADI, red.) tidak punya aturan main, tidak punya anggaran dasar, aturan rumah tangga. Jadi gimana mau mendisiplinkan anggotanya,” kata Bang Buyung.

Menurut Bang Buyung, apabila ada aturan main maka polemik seperti yang dialami oleh PERADI saat ini seharusnya tidak langsung ditangani oleh pengurus pusat. Secara struktural, aspirasi FP-HUA yang kebanyakan berasal dari daerah di luar Jakarta ini seharusnya ditangani oleh mekanisme di daerah terlebih dahulu sebelum pengurus pusat turun tangan.

Tidak kompak

Selain menyoroti tentang tidak adanya aturan main, Bang Buyung juga menilai kepengurusan PERADI tidak kompak. Menurutnya, hal ini terjadi karena tidak adanya leadership (kepemimpinan, red.) yang kokoh dari pemimpin PERADI yang pemilihannya memang dianggap tidak demokratis.

Dia menambahkan ketidaksolidan ini pada akhirnya berujung pada masih tingginya gengsi masing-masing pengurus PERADI yang membawa bendera organisasi advokat yang berbeda. Lebih lanjut, peran advokat dalam pembangunan hukum di Indonesia pun menjadi tidak signifikan.

“Banyak masalah bangsa dan negara harusnya advokat berperan, apalagi dalam situasi sekarang dimana kita masih gencar-gencarnya memberantas korupsi di tanah air ini. Sementara, advokat melalui Peradi ini tidak bersuara sama sekali,” tambahnya.

Ketidaksolidan yang dimaksud Bang Buyung, berdasarkan pengamatan hukumonline, memang terlihat dalam kepengurusan PERADI. Hal ini setidaknya tergambar saat insiden kericuhan kemarin terjadi. Ketika itu, disaat sejumlah pengurus PERADI memutuskan untuk tidak memenuhi tuntutan FP-HUA, Wakil Ketua Umum PERADI Indra Sahnun Lubis justru menemani para anggota FP-HUA.

Ketika ditanyakan mengenai hal ini, Indra membantah kalau sikapnya yang mendekati FP-HUA merupakan cerminan dari tidak kompaknya PERADI. Dia berdalih yang dilakukannya hanyalah bertujuan mendinginkan suasana yang saat itu memang panas.

“Tidak ada perpecahan dalam PERADI, yang ada hanyalah perbedaan pendapat biasa dalam organisasi,” jelasnya.

(Rzk)

Monday, May 22, 2006

Peradi dan Krisis Kewibawaan Organisasi Advokat

Hermanto Barus, pengacara Ajun Komisaris Polisi Suparman, belum lama ini diberitakan akan melaporkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Langkah itu dia ambil karena menilai KPK telah melecehkan profesi advokat. Sebelum itu, KPK menolak saat Hermanto meminta surat pemecatan kliennya sebagai penyidik KPK. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Peradi, Indra Sahnun Lubis, menganggap tindakan KPK tersebut tidak menghormati advokat sebagai penegak hukum (hukumonline.com, 7/4).

Menjaga citra dan kewibawaan advokat adalah salah satu fungsi dari sebuah organisasi advokat (bar association). Fungsi ini terkait erat dengan peran organisasi advokat untuk menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik. Fungsi-fungsi organisasi advokat di atas sepatutnya juga dikedepankan selain fungsinya sebagai tempat berlindungnya para advokat dari intervensi pihak lain. Fungsi internal sebuah organisasi advokat seperti diuraikan sebelumnya juga dapat diturunkan kepada fungsi sertifikasi advokat serta pengawasan dan pendisiplinan. Demikian sebagian standar umum mengenai definisi, peran, dan fungsi organisasi advokat yang dirumuskan International Bar Association (IBA) pada 1991 (IBA Standards for the Independence of the Legal Profession).

Sejarah mencatat bahwa pada dekade 1970-an Indonesia pernah mempunyai Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) sebagai sebuah organisasi advokat yang berwibawa dan menjadi kebanggaan hingga sekarang. Para advokat yang tergabung dalam Peradin, seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, Zainal Abidin, Soemarno P. Wirjanto dan lainnya tidak hanya dikenang sebagai advokat dalam arti sempit, di pengadilan, tetapi juga sebagai pejuang reformasi, negara hukum, dan hak asasi manusia. Dan, bagian penting yang jarang diingat dari Peradin adalah bahwa meski anggotanya tergolong kecil, organisasi Peradin relatif rapi. Ada daftar anggota, anggotanya membayar iuran. Pada akhir 1960-an sampai 1980 mulai ada jurnalnya, Majalah Hukum dan Keadilan (Daniel S. Lev dalam “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2002).

Sejarah juga mencatat bahwa perjalanan organisasi advokat di Indonesia pasca-Peradin penuh dengan pertentangan antarsesama (organisasi) advokat maupun campur tangan pemerintah. Sampai saat Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan, terdapat sedikitnya delapan organisasi advokat. Delapan organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, SPI, HAPI, dan APSI diberi tugas oleh UU Advokat untuk membentuk Organisasi Advokat selambat-lambatnya dalam dua tahun sejak undang-undang itu disahkan. Organisasi Advokat yang dimaksudkan UU Advokat bersifat wajib (compulsory bar).

Hanya berselang dua hari dari hari jadi UU Advokat yang kedua, tepatnya pada 7 April 2005, dideklarasikanlah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jakarta. Sebetulnya, Peradi sudah terbentuk dan diperkenalkan kepada pers sekitar Oktober 2004 lengkap dengan susunan pengurusnya. Pengurus Peradi sendiri ditetapkan melalui musyawarah para pimpinan delapan organisasi advokat yang mendapat mandat dari UU Advokat.

Tiga fungsi utama organisasi advokat

Mengingat usia Peradi yang telah lebih dari satu tahun, boleh kiranya kita sedikit menengok berbagai kebijakan yang telah dihasilkan para pengurusnya. Menurut PSHK, dengan mengacu pada 11 fungsi organisasi advokat sesuai standar IBA, ada tiga fungsi utama organisasi advokat. Pertama, fungsi dalam hubungan dengan anggotanya (para advokat). Kedua, fungsi dalam hubungannya dengan masyarakat umum dan masyarakat pengguna jasa. Ketiga, fungsi dalam hubungannya dengan negara dan elemen serta sistem peradilan.

Untuk fungsi yang pertama yang terkait dengan fungsi internal organisasi, Peradi sejauh ini telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di antaranya mengeluarkan Buku Daftar Advokat. Kehadiran Buku Daftar Advokat yang memuat basis data sekitar 15.000 advokat se-Indonesia merupakan pencapaian yang signifikan. Pasalnya, selama ini belum pernah ada daftar yang demikian lengkap mengenai advokat di Indonesia. Pada 7 April 2005, pimpinan Peradi secara simbolik menyerahkan Buku Daftar Advokat tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung untuk selanjutnya disebarkan ke tiap pengadilan.

Masih dalam kerangka menjalankan fungsi internalnya, Peradi sudah mulai melakukan rekrutmen calon advokat dengan mengadakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) serta Ujian Profesi Advokat (UPA). Sukses penyelenggaraan UPA juga menjadi poin positif bagi Peradi. Lepas dari dugaan adanya kecurangan dalam prosesnya, Peradi telah berhasil membuktikan bahwa advokat sendiri mampu menyelenggarakan UPA dan tanpa bantuan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya seperti penyelenggaraan ujian pengacara praktek pada 2002.

Sedangkan, di bidang pengawasan, Peradi juga telah mengambil sejumlah aksi di antaranya pembentukan beberapa tim pencari fakta terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat. Salah satu tindakan tegas yang sudah diambil Peradi adalah pemecatan seorang advokat yang terbukti menggunakan ijazah palsu. Selain itu, sebelumnya Peradi telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara (DKS) yang berkedudukan di Jakarta.

Kemudian, untuk fungsi yang kedua yang dapat disebut sebagai fungsi eksternal organisasi advokat, sejauh ini belum ada langkah nyata dari Peradi. Meski dalam sejumlah kesempatan Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan, kerap mengungkapkan bahwa Peradi akan memprioritaskan pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin, namun hal itu masih belum diwujudkan. Saat kasus Raju meledak, misalnya, bisa saja Peradi ikut ambil bagian sebagai kuasa hukumnya. Pasalnya, saat itu hampir semua pihak berbicara, mulai dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komnas Perlindungan Anak, kejaksaan, tapi tidak ada suara dari kalangan advokat.

Seperti halnya fungsi yang kedua di atas, fungsi yang ketiga yakni dalam hubungan dengan negara dan elemen serta sistem peradilan, Peradi juga belum menunjukkan kiprahnya. Walaupun sebenarnya terdapat momentum yang bisa dimanfaatkan Peradi untuk menjalankan fungsi ini yaitu saat mencuatnya perselisihan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Alangkah baiknya jika Peradi mengambil peran sebagai mediator atau fasilitator kedua lembaga negara tersebut sehingga sengketa itu tidak sampai berlanjut ke Mahkamah Konstitusi seperti sekarang. Semua pihak sepakat bahwa perseteruan antara kedua lembaga negara itu hanya akan membawa keuntungan bagi jejaring mafia peradilan.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa selama satu tahun eksistensinya, Peradi masih berjuang untuk menjalankan fungsi internalnya. Sedangkan, dua fungsi utama yang harus pula ditunaikan oleh Peradi sebagai organisasi advokat, masih belum tersentuh. Dengan kata lain, selama satu tahun keberadaannya Peradi memprioritaskan program-program internal organisasi, khususnya rekrutmen advokat yang menyita hampir seluruh sumber daya Peradi. Hal demikian mungkin dapat dipahami mengingat usianya yang masih balita sehingga Peradi masih kesulitan dalam menjalankan program-program yang telah dibuat atau mengejar prioritas lain yang sudah disusun sebelumnya.

Penegakan kode etik sebagai barometer

Sudah tentu masih banyak yang harus dilakukan Peradi memasuki tahun kedua ini. Penulis berpendapat, Peradi harus memulainya dengan melakukan penajaman prioritas. Hal utama harus diutamakan. Apalagi, mengingat peradi hingga saat ini masih menyimpan problem internal yang serius, di antaranya masalah penegasan bentuk organisasi (wadah tunggal atau federasi) serta pembentukan anggaran dasar. Seperti dapat disimak melalui sejumlah pemberitaan di hukumonline.com, masalah-masalah tersebut kerap menjadi sasaran tembak pihak-pihak di luar Peradi.

Ketidaktegasan bentuk organisasi Peradi membuat para pengurusnya tidak mudah untuk merintis pembentukan pengurus cabang Peradi di daerah. Kendati mengklaim dirinya sebagai wadah tunggal, masih eksisnya delapan organisasi advokat mengesankan bentuk federasi lah yang sebenarnya muncul. Apalagi, pola keanggotaan di Peradi sendiri mirip model federasi: seorang advokat tidak dapat langsung menjadi anggota Peradi, kecuali melalui satu dari delapan organisasi yang ada (organisasi asal). Pimpinan Peradi agaknya sedang menanti proses peleburan secara alamiah kedelapan organisasi advokat dalam 3-4 tahun ke depan. Masalah berkaitan dengan bentuk organisasi itu jualah yang agaknya menjadi salah satu batu sandungan dalam menyusun anggaran dasar Peradi yang hingga kini, setahu penulis, belum rampung.

Masalah di atas tentu akan berimbas kepada masalah lain yang lain yang tidak kalah serius yakni pembentukan cabang Peradi di daerah berikut organ-organnya, terutama dewan kehormatan sebagai pengawal kode etik. Lebih-lebih, penegakan kode etik adalah barometer utama untuk sebuah organisasi advokat yang berwibawa, baik di mata advokat, rekan penegak hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Kita sama-sama membaca sejumlah advokat yang duduk di kursi pesakitan karena menjadi pelaku utama kasus-kasus penyuapan terhadap aparat hukum. “Tanpa adanya asosiasi advokat yang berwibawa seperti dalam dekade 1970-an, sebenarnya masyarakatlah yang dirugikan,” demikian tulis Frans Hendra Winarta dalam “Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan” (Pustaka Sinar Harapan, 1995).

Berkaitan dengan hal itu, belum lama ini, kita membaca bahwa DPP AAI melakukan pemekaran kepengurusan cabang di Jakarta. Langkah tersebut perlu dikritisi oleh Peradi mengingat setelah berdirinya Peradi, organisasi advokat lain tidak memiliki wewenang apapun. Meski, boleh jadi pemekaran kepengurusan cabang AAI DKI tersebut tidak lepas dari rencana pembentukan Peradi cabang Jakarta. AAI DKI yang selama ini hanya memiliki satu kepengurusan (DPW AAI DKI Jakarta), kemudian dipecah menjadi lima wilayah, seperti halnya Ikadin. Hal di atas hanya sekelumit persoalan yang berakar pada bentuk organisasi Peradi. Dengan begitu, masalah inkorporasi Peradi sebaiknya diletakkan pada urutan pertama dalam daftar prioritas Peradi mendatang.

Setelah itu, Peradi perlu pula menuntaskan program sertifikasi (calon) advokat. Menentukan pola magang bisa jadi memiliki lebih sulit dibandingkan ketika merumuskan tahapan-tahapan sebelumnya yakni PKPA dan UPA. Misalnya saja, harus ada kualifikasi standar tentang kantor hukum yang layak menerima magang calon advokat, berapa banyak calon advokat yang dapat ditampung dalam satu kantor, atau soal apakah calon advokat dibayar (menerima upah) ataukah malah wajib membayar selama masa magang. Untuk di Jakarta saja, di mana kantor hukum berjejalan, ternyata tidak mudah untuk menjalankan program magang. Mandeknya program fasilitasi magang yang pernah dijajal AAI DKI Jakarta pada 2005 silam kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga oleh Peradi. Belum lagi, Peradi harus dapat menyiasati pola magang di wilayah-wilayah yang memiliki hanya segelintir kantor hukum.

Masih terkait masalah rekrutmen calon advokat, setelah penyelenggaraan UPA, Peradi, dalam hal ini Komite Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI), perlu melakukan evaluasi terhadap seluruh penyelenggara PKPA. Evaluasi terhadap penyelenggaraan PKPA penting dilakukan antara lain untuk mengetahui kualitas penyelenggara yang ditunjukkan dari seberapa banyak alumnus mereka yang lolos UPA. Semakin banyak lulusan yang berhasil dalam UPA, maka semakin baik pula kualitas penyelenggaraan PKPA yang bersangkutan. Sebaliknya, jika tingkat kelulusannya kecil, maka berarti PKPA yang bersangkutan bermutu rendah dan karena itu Peradi perlu meninjau ulang kerja sama dengan penyelenggaranya.

Kemudian, terkait dengan pelaksanaan fungsi eksternal Peradi, program yang perlu diprioritaskan adalah pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu. Untuk melaksanakan hal tersebut, Peradi perlu membuat aturan seputar kewajiban bagi anggotanya untuk menyisihkan waktunya dalam satu tahun untuk bekerja secara pro bono. Tiap advokat/kantor advokat harus membuat laporan seputar pelaksanaan kewajiban memberikan bantuan hukum pro bono secara berkala kepada Peradi. Aturan tersebut sudah tentu harus diperkuat dengan sanksi bagi advokat/kantor advokat yang tidak melaksanakannya. Untuk itu, tentu perlu ada organ khusus di Peradi yang akan mengurusi program bantuan hukum pro bono.

Penulis berpendapat, masalah-masalah yang diuraikan di atas yang perlu mendapat prioritas utama oleh Peradi dalam setahun ke depan. Tentu saja masih banyak hal lain yang mesti dilakukan, seperti perlu lebih diberdayakannya website Peradi sebagai wadah komunikasi antar-anggota, para calon advokat, mahasiswa hukum, serta publik secara luas.

Terakhir, penulis termasuk mereka yang memiliki harapan dan kepercayaan bahwa Peradi mampu mengembalikan kewibawaan dan kemuliaan advokat yang telah lama luntur. Namun, tugas berat itu tidak akan tercapai jika Peradi hanya digunakan oleh orang-orang di dalamnya sebagai kendaraan untuk mencapai gol-gol pribadi. Kita tidak ingin Peradi mengulang sejarah kelam ketika selama puluhan tahun organisasi advokat tak mampu berbuat apa-apa kecuali bertikai satu sama lain. Jangan harapkan penegak hukum lain menghormati advokat, jika para advokat saja tidak menjaga keluhuran wibawa profesi mereka sendiri.

(c) Amrie Hakim