Tuesday, November 27, 2007

menjadi pembenci atau penyayang?

Membenci itu melelahkan. Sedangkan, menyayangi itu menyenangkan. Alasan bagi kita untuk membenci seseorang, menurut saya, sama banyaknya (atau sedikitnya) dengan alasan untuk menyayangi dia. Kalau kita menganggap membenci itu mudah, maka menyayangi itu jauh lebih mudah.

Kita dapat selalu membenci seseorang meskipun dia selalu berbuat baik atau mengatakan hal-hal baik kepada kita. Untuk melakukan itu, yang kita butuhkan cuma satu; prasangka buruk (suudzan). Sebaliknya, kita juga bisa senantiasa menyayangi seseorang kendati dia sering berbuat buruk atau mengatakan hal-hal negatif tentang kita. Untuk mengerjakan ini juga mudah, cuma satu yang kita perlukan; prasangka baik (husnudzan).

Membenci dan berprasangka buruk itu bisa dilakukan siapa saja, dan yang paling senang melakukannya adalah orang-orang bodoh. Menyayangi dan membiasakan berprasangka baik juga bisa dilakukan siapa saja, dan yang paling menggemarinya adalah orang-orang yang berakal.

Pembenci itu ditemani setan dan dijauhi manusia. Sedangkan, penyayang itu disenangi manusia dan dimusuhi setan. Pembenci itu dibenci bahkan oleh temannya. Sedangkan, penyayang itu disayangi bahkan oleh musuhnya. Pembenci tidak lain adalah peniru akhlak setan. Sedangkan, penyayang itu menapaktilasi akhlak Nabi.

Salah satu hal yang wajib kita benci adalah kegagalan kita dalam menemukan maksud baik dari tindakan atau ucapan seseorang kepada kita. Sangat tepat apa yang pernah dikatakan oleh Imam Ja'far ash-Shadiq: "Kalau Anda mendengar satu ucapan dari seorang Muslim, maka upayakanlah memahaminya dalam arti sebaik mungkin. Kalau Anda tak menemukan makna itu, maka kecamlah diri Anda karena tak mampu menemukannya."*

Sedangkan, salah satu hal yang wajib kita cintai adalah kerja keras kita untuk menyayangi orang yang membenci kita, dan berprasangka baik kepada mereka yang berprasangka buruk kepada kita. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk mengikuti nasihat berikut: "Jangan pernah memahami kalimat buruk yang Engkau dengar benar-benar buruk selama masih ada peluang memahaminya baik."* Wallahu 'alam.

--------------------------------
* Referensi: M. Quraish Shihab, "Yang Sarat & Yang Bijak", Lentera Hati, September 2007.

Monday, November 26, 2007

saya vs. dokter gigi..

Gigi adalah salah satu bagian tubuh saya yang paling bermasalah. Setidaknya ada beberapa keluhan yang sudah lama saya rasakan di geligi saya terutama gigi bolong dan gusi berdarah. Beberapa gigi saya bolong di bagian atas dan bawah, di bagian kanan dan kiri pula. Nyeri dan berbagai ketidaknyamanan lainnya yang menyangkut gigi-gigi itu hampir menjadi bagian dari keseharian saya.

Berobat atau perawatan rutin ke dokter gigi tidak pernah jadi agenda saya sejak bertahun-tahun lamanya. Terakhir ke dokter gigi sekitar dua tahun lalu, itupun karena dipaksa sama istri. Setelahnya saya kapok karena sakit. Padahal, saya harus kembali ke dokter yang sama sekitar satu bulan setelah itu untuk mengganti tambalan sementara. Saya pikir, dikasih tambalan sementara aja sakitnya bukan main, apalagi tambalan benerannya.

Soal ke dokter gigi, istri saya sepertinya lebih hebat dari saya. Dia tidak kapok ke dokter gigi padahal sebelumnya pernah punya pengalaman yang nyaris bagai mimpi buruk saat salah satu giginya dicabut. Makanya, tidak jemu-jemu dia minta saya ke dokter gigi. Barangkali itu karena dia tidak tega saya merana terlalu lama. Contohnya, beberapa menit sebelum saya menulis di sini, dia tanya, "Pa, kapan mau ke dokter gigi?" Saya jawab, "nanti kalo dokter giginya cuti.."

Akhirnya, dia usul supaya saya menulis sesuatu di blog mengenai (masalah) gigi saya, "kali aja ada hikmahnya buat orang lain," begitu istri saya bilang. Terus terang, saya belum tahu hikmah apa yang bisa diambil dari masalah gigi dan gusi saya ini, kecuali kita perlu rajin-rajin merawat gigi dan secara rutin pergi ke dokter gigi. Satu lagi, jangan takut sama dokter gigi. Apalagi, kata istri saya, baru-baru ini ada semacam perubahan paradigma di kalangan profesi dokter gigi. "Sekarang orientasi semua dokter gigi adalah mempertahankan dan mengobati gigi (yang sakit), daripada mencabut," begitu kata istri saya lagi. Jangan tanya saya apa yang istri saya bilang itu bener atau nggak, karena saya juga nggak tahu.

Tapi, sepertinya saya memang harus memberanikan diri untuk menyambangi dokter gigi karena masalah gigi dan gusi saya makin parah sekarang. Belum lama ini misalnya gusi saya tiba-tiba mengeluarkan darah begitu saya selesai makan bakso. Mungkin serem buat yang lihat waktu itu, kayak Dracula. Bagaimanapun, saya ingin memberikan contoh ke anak saya kalau tidak ada yang perlu ditakutkan dari dokter gigi. Juga agar dia lebih rajin merawat giginya supaya tidak rusak dan sakit seperti gigi saya. Percayalah, tidak sepenuhnya benar kalau dikatakan sakit gigi itu lebih ringan daripada sakit hati..

Thursday, November 22, 2007

memburu buku, melunasi janji..

Sabtu pekan lalu adalah benar-benar hari yang sangat padat bagi saya dan keluarga. Ada beberapa agenda yang telah kami rancang jauh-jauh hari seperti menghadiri resepsi pernikahan salah satu sahabat di daerah Halim, memenuhi janji kepada putri kami ke Bounce Town di Parkir Timur Senayan, dan, kalau sempat, mampir ke Indonesia Book Fair 2007 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan.

Tanpa perlu saya uraikan pengalaman terkena macet hampir di sepanjang perjalanan kami dari Tangerang menuju Halim, kami tiba di tujuan sekitar pukul 12.30. Waktu tempuh dari rumah ke lokasi resepsi hari itu sekitar 1,5 jam. Kami masih punya waktu 30 menit lagi sebelum acaranya selesai. Kami baru meninggalkan gedung tempat resepsi setelah MC mengumumkan kalau acara hari itu sudah selesai. Kami pergi tanpa pamit lagi kepada sohibul hajat karena memburu waktu.

Mari kita lewatkan lagi cerita kami yang lagi-lagi terkena macet dari Halim menuju Senayan, dan langsung ke suasana komplek Senayan. Hari itu, situasi di komplek Senayan tidak jauh beda dari kondisi jalan-jalan di Jakarta pada umumnya; macet total. Penyebabnya, karena selain ada arena Bounce Town dan IBF 2007, hari itu juga ada event Indocomtech yang juga digelar di sana. Syukur alhamdulillah, berkat kejelian istri, perjuangan mencari parkir tidak terlalu melelahkan. Seorang teman yang bertemu di JCC bilang, dia harus berjuang satu jam untuk dapat parkir.

Singkat cerita, putri saya hanya ditemani ibu dan pengasuhnya bermain di Bounce Town. Tadinya, saya berniat ikut, tapi karena tiket masuknya luar biasa mahal untuk kantong saya, saya lebih memilih ke IBF sendirian. Ini berkah luar biasa sebetulnya. Saya tidak tega kalau harus mengelilingi stan-demi-stan di IBF bersama istri dan putri saya. Kalau itu yang terjadi, semuanya bisa rugi, istri dan putri saya kecapean, dan saya tidak puas memilih buku-buku. Akhirnya, dengan pinjaman lunak dari istri, saya pun berangkat ke JCC.

Ingin rasanya saya menceritakan secara detil suasana IBF hari itu, tapi saya pikir itu tidak ada gunanya kecuali hanya membuat tulisan ini semakin panjang dan membosankan. Hal yang menarik untuk saya tulis di sini adalah kronologis bagaimana saya menghabiskan rupiah-demi-rupiah uang pinjaman dari istri di beberapa stan penerbit buku di IBF yang digantikan dengan semakin berat dan banyaknya buku dalam kantong belanja yang saya jinjing.

Total ada 12 buku yang saya beli. Dua-belas buku bisa disebut banyak, tapi juga bisa disebut sedikit. Banyak karena tidak sampai satu atau dua tahun sekali saya belanja buku sebanyak itu. Dan sepertinya, jumlah itu memecahkan rekor saya sejauh ini dalam berbelanja buku. Tapi, 12 buku itu bisa berarti sedikit karena hari itu saya telah menahan diri untuk tidak membeli beberapa buku yang lain karena keterbatasan anggaran.

Berikut ini adalah daftar buku yang saya bawa pulang dari IBF 2007. Daftar ini sedapat mungkin saya susun berdasarkan urutan kronologisnya. Buku yang ada di urutan paling atas dari daftar adalah buku yang pertama kali saya beli begitu saya menginjakkan kaki di arena IBF:
1. Yang Ringan & Yang Jenaka (M. Quraish Shihab, Lentera Hati).

2. Visualisasi Kepribadian Muhammad SAW (Irsyad Baitus Salam).

3. Visualisasi Fisik Muhammad SAW (Irsyad Baitus Salam).

4. Kisah Binatang dalam Al Quran: Srigala Nabi Yusuf (Iqra Media)

5. Kisah Binatang dalam Al Quran: Paus Nabi Yunus (Iqra Media)

6. Kisah Binatang dalam Al Quran: Hud-hud Nabi Sulaiman (Iqra Media)

7. Kisah Binatang dalam Al Quran: Gajah Abrahah (Iqra Media)

8. Yusuf & Zulaikha (Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami, Penerbit Lentera)

9. Silsilah Ummahatul Mukminin (Irsyad Baitus Salam).

10. Curhat Suami untuk Istri (Irsyad Baitus Salam).

11. Kisah-kisah Teladan untuk Keluarga (Dr. Mulyatno, Gema Insani Pers)

12. Sirah Nabawiyah (Pustaka Al Kautsar)

Dan di bawah ini adalah daftar buku yang sempat saya lirik, pegang, dan tertarik untuk memilikinya, tapi tidak jadi:

1. Antologi Islam (Al Huda). Buku ini direkomendasikan oleh salah satu sahabat saya yang bermazhab ahlul bait. Diskonnya lumayan, tapi tetap masih “lumayan” untuk anggaran saya. Lagipula, setelah melihat isinya, saya kurang tertarik untuk memilikinya.

2. Pintu Ilmu: 1001 Filsafat Hidup Pecinta Ilmu dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Saya sudah punya buku ini. Saya juga sudah pernah membeli lagi dan menghadiahkan buku ini kepada salah seorang sahabat. Kemarin saya niat untuk beli lagi sebagai stok hadiah untuk sahabat yang lain. Tapi kemudian anggaran tidak menyetujui niat saya itu.

3. Taman Rekreasi Orang-orang yang Jatuh Cinta dan Dimabuk Rindu (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah). Ini buku bagus dan sudah lama saya incar. Apalagi harganya juga tergolong sangat ringan. Tapi, saat itu uang saya tidak mencukupi karena masih ada buku yang prioritasnya lebih tinggi yang saya niatkan untuk beli.

4. The Kite Runner (Khaled Hosseini). Novel ini sudah ada di rak buku saya. Saya ingin beli karena; 1) sebagai stok untuk saya hadiahkan ke orang lain, 2) buku yang dipajang di stan Mizan itu diterbitkan kembali dengan edisi/cetakan terbaru. Sampulnya diganti dengan poster filmnya yang akan dirilis Desember 2007 nanti.

5. Ar Rasul (Said Hawwa). Kalau uang saya cukup, mungkin buku sejarah hidup Rasulullah ini saat ini sudah bertengger di rak buku saya, bersama dengan buku-buku dengan tema sejenis yang sudah menghiasi koleksi saya. Tapi, dengan berat hati, saya lebih memilih buku Sirah Nabawiyyah, yang sepertinya lebih bagus walaupun sedikit lebih mahal.

Kurang lebih 2,5 jam kemudian, saya dihubungi istri yang telah siap meninggalkan Bounce Town. Setelah saya bertemu dengan mereka, saya melihat putri saya sudah berganti pakaian dan rambutnya basah kuyup. Tapi, wajah putri saya begitu berbinar-binar yang, kalau saya boleh tafsirkan, merupakan tanda kalau dia benar-benar puas bermain. Dia langsung mengorek-ngorek isi kantong belanja yang ada di tangan saya. Saya kemudian membantu dia dengan mengambilkan empat buku seri Kisah Binatang dalam Al Quran dan memberikan buku-buku itu kepada dia.

Dalam perjalanan pulang, saya usul kepada istri untuk mampir ke bazaar buku Gramedia di salah satu mal tidak jauh dari rumah. Tujuannya adalah untuk membeli buku yang dititipkan beberapa teman di kantor. Setelah istri setuju, kami pun mampir ke tempat tersebut. Lagi-lagi, saya kembali ke mobil dengan menenteng tujuh buku yang lumayan tebal dalam kantong belanja. Alhamdulillah, satu-demi-satu janji bisa saya lunasi dalam satu hari, begitu saya pikir.

Tapi, sekitar pukul 21.30, telepon kami berdering, ternyata yang menghubungi adalah sahabat kami yang pengantin baru, yang siang sebelumnya kami hadiri resepsinya. “Mrie, tadi lo ke mana? Tadi gue cariin lo buat foto bareng,” begitu dia bilang. Aduh, saya merasa bersalah bukan main. Saya pun minta maaf dan menjelaskan kalau saya pulang tanpa pamit karena putri saya merengek minta pulang. Betul, saya berbohong dan tidak mengatakan kalau kami buru-buru pulang karena untuk mengejar waktu ke tempat lain. Semoga Allah memaafkan saya karena berbohong, dan semoga teman saya ridha dengan permintaan maaf saya.

Di akhir pembicaraan, saya mengucapkan selamat kepada dia yang akan berbulan madu ke Bali esok harinya. Dengan maksud menghibur diri, dalam hati saya berjanji akan meminjamkan salah satu buku baru saya, Curhat Suami untuk Istri, kepada si pengantin baru, insya Allah.

Monday, November 12, 2007

curhat, bagaimana dan kepada siapa?

Belum lama ini, seseorang yang sangat dekat dengan saya mengatakan kalau ia merasa tidak dihargai karena saya tidak pernah curhat dengan dia. Sebetulnya, saya tidak terlalu setuju dengan apa yang dia keluhkan. Tapi, dia tidak sepenuhnya keliru. Saya memang tidak sering curhat, tapi sesekali saya melakukan itu.

Tidak sedikit dari orang-orang di sekeliling kita yang menyukai curhat. Mereka curhat kepada istri atau suami, teman kantor, sahabat, teman chatting, kepada orang tua, kepada adik atau kakak, kepada kakek atau nenek, dan mungkin kepada anak-anaknya. Apa yang dicurhatkan pun berupa-rupa isinya. Tapi, kebanyakan isi curhat itu adalah masalah yang tergolong rahasia. Orang yang menceritakan itu biasanya tidak ingin apa yang dia curhat-kan, diketahui oleh banyak orang.

Mereka yang biasa curhat boleh jadi telah mengetahui manfaat dari aktifitas tersebut. Karena, kalau curhat itu tidak ada manfaatnya, tidak mungkin banyak orang melakukan itu. Manfaat curhat misalnya, seseorang tidak hanya merasa lebih ringan dalam menghadapi masalahnya karena ada seseorang untuk berbagi, tapi ia juga dapat menemukan jalan keluar dari masalahnya itu.

Nabi Muhammad pun curhat kepada sang istri, Khadijah, misalnya pada saat beliau pertama kali menerima wahyu dari Allah di Gua Hira. Turunnya wahyu pertama sangat memengaruhi fisik dan juga psikis Nabi. Diriwayatkan bahwa tubuh Nabi gemetar dan menggigil, sehingga saat beliau pulang ke rumah pun ia dalam keadaan goncang dan meminta agar Khadjah menyelimutinya. Kepada Khadijah, Rasulullah berkata, "Aku merasa amat takut melihat sesuatu yang belum pernah kulihat dan tak pernah kubayangkan." Khadijah kemudian berkata, "bergembiralah, Allah tak akan menghinakan engkau."

Lebih jauh, Khadijah berusaha menghibur dan menenangkan hati beliau dengan memuji sifat-sifat dan akhlak mulia yang dimiliki Rasulullah. Antara lain Khadijah mengatakan, "engkau tidak usah cemas karena engkau orang baik, engkau selalu berkata dengan ketulusan, orang yang sedang kesusahan selalu engkau tolong, bila datang tamu engkau selalu menghormatinya, engkau selalu berpihak kepada kebenaran, bila seseorang ditimpa bencana engkau selalu menolongnya."

Dalam kisah di atas, saya melihat bahwa Rasulullah tidak hanya curhat kepada Khadijah sebagai istrinya, tapi juga sebagai seseorang yang beliau percayai dengan sepenuh hati dan jiwanya. Jadi, sebaiknya kitapun curhat, menumpahkan isi hati kita, yang sebagian di antaranya mungkin rahasia, hanya kepada orang yang benar-benar kita percayai. Sedikit mungkin orang yang tahu rahasia kita, insya Allah, itu lebih baik.

Pada hari-hari tertentu, saya memilih untuk tidak curhat bukan karena saya tidak memercayai seseorang, tapi karena masalah yang saya hadapi saat itu hanya menyangkut diri saya sendiri. Satu lagi, saya kadang menolak curhat karena takut membicarakan orang lain. Kalau sedang menceritakan suatu persoalan, saya sering ditanya" siapa yang begini?" atau "siapa yang begitu?", saya cuma jawab, "ada laah.."

Dahulu, saat curhat dengan Rasulullah menceritakan masalah peribadi mereka, para sahabat seringkali menyamarkan subjek/pelakunya. Dalam hal-hal tertentu, mereka cuma menyebut si anu atau si fulan tanpa menyebut identitas asli orang yang sedang diceritakan. Padahal, tidak jarang "si anu" atau "si fulan" yang sedang dibicarakan dengan Rasulullah sebenarnya adalah orang itu sendiri.

Saya pikir, curhat bukan hal yang buruk sejauh itu tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Menurut saya, sebelum memutuskan curhat kepada siapapun, tanyakanlah setidaknya dua hal ini kepada diri sendiri: Apakah masalah ini harus saya ceritakan kepada orang lain atau dapat saya pecahkan sendiri? Kalau memang saya perlu mendapat masukan dari orang lain terhadap masalah saya, siapakah yang paling bisa saya percayai?

Wednesday, November 07, 2007

chatting-updated

Seorang sahabat belakangan ini kabarnya lagi bingung gara-gara hal yang semula dia anggap sepele. Agaknya tidak terlintas di benak dia sebelumnya bahwa pesan yang dia teruskan (forward) secara massal melalui Yahoo! Messenger (YM) akan ditanggapi secara "mengejutkan" oleh salah satu penerimanya. Pesan sahabat saya ini kelihatannya disalahpahami oleh si penerima. Ini sepertinya terjadi karena si penerima mengira hanya dialah yang menerima pesan itu dari sahabat saya.

Saya juga pernah punya pengalaman yang tidak nyaman saat chatting menggunakan YM. Pernah suatu hari saya dengan maksud bercanda mengirimkan audible (salah satu fitur di YM) berupa ikan buntel (blowfish) yang mengeluarkan suara dan teks "Hey sexy" kepada salah satu sahabat dekat saya. Secara halus dia menegur saya dan bilang (menulis) kalau dia tidak suka dengan audible yang saya kirim karena, menurut dia, itu bernuansa pelecehan. Sayapun langsung minta maaf, sekalipun kepala saya masih diliputi kebingungan.

Saya pikir hampir semua yang lumayan aktif chatting baik melalui YM atau provider lain misalnya Mirc atau Google pernah punya pengalaman yang kurang lebih sama. Mulai dari yang hanya sebatas menyebalkan, sampai yang membuat kita murka atau malah sedih bukan main. Terlebih lagi saya yang baru satu atau dua tahun belakangan lumayan aktif menggunakan YM, masih sering tergagap-gagap dengan media komunikasi yang satu ini. Jadi, kalau pernah ada yang saya buat kesal waktu ber-chatting ria di YM, saya minta maaf.

Pasti sudah banyak tips di internet atau majalah-majalah tentang bagaimana etika chatting yang bisa kita cari. Saya sendiri kayaknya belum pernah menemukan atau membacanya karena memang kebetulan belum pernah mencari artikel tentang itu. Tapi, kelihatannya tips-tips bagaimana ber-chatting yang santun makin saya perlukan supaya saya, sebisa mungkin, tidak menjadi teman chatting yang menyebalkan dan dapat memahami lebih baik lawan chatting saya, serta berbagai keterbatasan saat berkomunikasi melalui fasilitas instant messenger (IM).

Sambil mencari tips itu, bolehlah kiranya saya menyumbangkan sedikit tips berdasarkan pengalaman saya. Tips dari saya mungkin lebih bersifat hal-hal yang perlu dihindari, ketimbang hal-hal yang patut dilakukan, saat chatting lewat IM. Ini sebagian besar, kalau tidak semuanya, saya ambil berdasarkan pengalaman saya beberapa kali membuat kesal lawan (lawan di sini tentu saja maksudnya partner bukan musuh) chatting, karena itu tips ini pasti sangat tidak komplit.

1. Jangan menggunakan emoticon atau audible yang "aneh-aneh" yang bisa mengundang salah tafsir partner chatting. Apalagi menggunakan audible seperti yang pernah saya gunakan (ikan buntel "Hey sexy") sebagai sapaan di awal dialog. Sekalipun partner chatting anda adalah sahabat akrab anda, selama dia lain jenis, sebaiknya tidak menggunakan emoticon/audible yang punya nuansa melecehkan atau kurang pantas demi menghormati dia.

2. Jangan kesal atau marah saat partner chatting kita tidak menjawab pesan kita dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Saya sering kesal kalau pesan saya lama sekali tidak dijawab sama lawan chatting saya. Padahal, saya tahu betul kalau lawan chatting saya saat itu sedang repot mengerjakan pekerjaannya atau mungkin sedang meninggalkan komputernya secara tiba-tiba karena dipanggil oleh atasan atau rekan kerjanya untuk meeting atau diskusi.

3. Jangan lupa untuk meninggalkan pesan kepada partner chatting saat kita meninggalkan komputer. Supaya menjaga perasaan dari partner kita, sebaiknya kita meninggalkan pesan ke dia sebelum meninggalkan komputer. Hal ini penting karena siapa tahu dia sangat menantikan jawaban kita atas pesan dia sebelumnya. Karena itu, jika tidak sempat meninggalkan pesan lewat IM, setidaknya anda mengirimkan sms ke orang tersebut.

4. Jangan membuka jendela dialog dengan banyak orang dalam waktu yang sama. Dari sisi pekerjaan, tentu saja kegiatan chatting yang demikian akan mengganggu aktifitas pekerjaan kita dan mengurangi produktifitas kita. Pasalnya, waktu kita akan habis hanya untuk melayani banyak orang yang sedang berdialog dengan kita di IM. Di sisi lain, chatting dengan banyak orang di waktu yang sama membuat kita tidak konsentrasi dengan partner chatting sehingga jawaban yang diberikan asal bunyi saja. Belum lagi kalau kita kirim pesan ke orang yang salah. Bisa berabe.

5. Jangan gunakan kata atau kalimat yang kasar atau kurang sopan. Ada keterbatasan dalam berkomunikasi menggunakan YM. Kata atau kalimat yang sering atau biasa kita gunakan dalam percakapan verbal face-to-face tidak selalu cocok kita gunakan di IM. Tapi, seperti berbicara juga, kita perlu berhati-hati dalam menulis/mengeluarkan kata-kata. Jangan katakan semua yang engkau ketahui, tapi ketahuilah semua yang engkau katakan, begitu nasihat para nabi. Pikirkan ulang apa yang kita ketik di jendela IM sebelum kita menekan "Enter".

6. Jangan sebarang meneruskan pesan ke orang lain, apalagi orang banyak. Akhir-akhir ini saya sering menerima pesan-pesan terusan dari teman yang lain. Pesan terusan yang saya dapet isinya macam-macam, mulai dari yang biasa-biasa saja sampai yang sifatnya hidup-mati. Misalnya, ada seseorang yang lagi butuh darah golongan tertentu untuk suatu tindakan medis. Nah, kayaknya kita juga musti hati-hati saat akan meneruskan pesan tertentu ke banyak oorang sekalipun pesan itu menurut kita bermanfaat atau penting. Mungkin yang kita prioritaskan adalah teman-teman terdekat kita untuk meminimalisir kemungkinan pesan kita disalahpahami.

Semoga saja sebodoh-bodohnya tips dari saya masih bisa berguna buat pembaca yang sering chatting via IM atau bila belum mungkin suatu hari nanti akan bersentuhan dengan media yang satu ini. Chatting harus kita jadikan alat untuk menambah teman dan mempererat persahabatan, dan bukan untuk membuat musuh apalagi memutuskan tali persahabatan. Wallahu 'alam.

Friday, November 02, 2007

pakaian

Lumayan sering saya ditanya istri kenapa begitu suka sekali memakai kemeja putih yang, menurut dia, sudah lusuh untuk pergi ke kantor. Sambil berkelakar saya menjawab, "kalau pakai kemeja putih ini saya merasa seperti Presiden Iran Ahmadinejad." Jawaban itu seringkali efektif untuk menghibur dia yang kesal karena saya yang masih tambeng.

Sebetulnya, tidak terlalu berlebihan kalau dia sering protes soal favoritisme saya terhadap kemeja putih lusuh itu. Belakangan, dia belikan saya beberapa kemeja baru dengan harapan agar saya meninggalkan kemeja-kemeja lusuh itu. Sebagai bagian dari ekspresi cinta kepada istri, pakaian baru itu saya pakai, dengan tetap diselang-seling dengan kemeja putih favorit saya pada hari-hari lainnya.

Jujur saja, alasan saya menggemari kemeja putih itu karena saya merasa kemeja itu "jatuhnya" pas di badan saya yang lumayan kerempeng ini. Sedangkan, kemeja-kemeja lainnya cenderung sedikit besar untuk badan saya. Dan juga karena saya menyukai pakaian "bekas" orang lain. Nah, sebagian besar kemeja putih itu adalah milik istri. Sampai sekarangpun, beberapa pakaian yang pernah dipakai ayah saya juga masih sering saya pakai.

Selain alasan di atas, di mata saya, kemeja putih lusuh itu mewakili kesederhanaan dan, insya Allah, bisa menjauhi saya dari sifat sombong. Saya juga sering mengombinasikan atasan putih itu dengan celana panjang hitam sehingga saya tidak ada bedanya dengan karyawan-karyawan yang masih dalam tahap percobaan (trainee) atau seperti petugas katering di pesta pernikahan.

Presiden Ahmadinejad dalam setiap kesempatan selalu terlihat menggunakan pakaian yang jauh dari penampilan presiden pada umumnya. Setelan sehari-harinya adalah kemeja tanpa dasi, jas yang sangat biasa, celana panjang lusuh, dan sepatu butut. Sama seperti mahasiswa Iran kebanyakan. Namun, penampilannya yang demikian rupa sama sekali tidak mengurangi wibawanya sebagai presiden sebuah negara besar.

Dalam sejarah, Imam Ali bin Abi Thalib terkenal sebagai pemimpin yang sangat sederhana dalam segala hal, termasuk berpakaian. Pakaian yang dia kenakan sehari-hari jauh lebih rendah kualitasnya daripada pelayannya. Imam Ali juga sering menggunakan pakaian yang penuh tambalan. Salah seorang sahabatnya pernah menanyakan kenapa ada tambalan di bajunya, beliau menjawab, "pakaian seperti ini membuatmu berhati lembut, meluluhkan rasa sombong dari pikiranmu dan orang-orang muslim miskin dapat membelinya dengan mudah."

Tidak jarang terlintas di kepala saya untuk memakai pakaian yang bagus agar saya terlihat serba "lebih" di antara orang kebanyakan. Pada kesempatan lain, saya sering tergoda untuk memilih pakaian yang kira-kira dapat membuat orang menghormati saya. Kadang tidak sedikit dari kita yang memilih pakaian "mewah" demi mengelabui orang lain dari melihat kekurangan-kekurangan dan ketidakmampuan-ketidakmampuan kita.

Tapi, dalam kesederhanaan itu, saya sering nyaris tergelincir ke dalam jurang kesombongan juga. Betul bahwa saya mungkin terhindar dari sifat riya' (pamer), tapi sifat ujub (bangga diri) senantiasa mengancam saya. Bangga bahwa mungkin saya adalah satu dari sedikit orang yang bisa berpakaian sederhana. Bangga bahwa dengan bersikap sederhana, saya akan disenangi oleh banyak orang. Saya mohon perlindungan Allah dari bencana sifat bangga diri.

Kadang bukan cuma dengan berpakaian bagus atau mewah seseorang bisa terjerumus kepada sifat sombong. Seseorang bisa menjadi sombong meskipun dia tidak memakai selembar benangpun di badannya atau memakai sedikit pakaian saja untuk menutupi tubuhnya.

Begitupula sebaliknya, tidak selalu pakaian mewah membuat pemakainya menjadi tinggi hati. Karena Nabi Muhammad sendiri sesekali tidak menolak memakai pakaian tenunan dari Yaman sebagai pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian.

Imam Ali mengatakan bahwa yang penting adalah si pemakai pakaian, dan bukan pakaiannya itu sendiri. Karena keindahan lahiriah bukanlah keindahan yang hakiki. Wallahu 'alam.


Referensi:
-----------
1. Syed M. Askari Jafari, Gold Profile of Imam Ali, Pustaka IIman, 2007.
2. Ali Shofi, Kisah-kisah Imam Ali bin Abi Thalib as, Penerbit Lentera, 2003.