“Utang budi dibawa mati, utang rokok musti bayar”. (Benyamin S.)
Dalam sebuah diskusi santai, seorang teman menceritakan betapa dia mengagumi filosofi “pemberian” dan “utang budi” yang ditulis Khalil Gibran dalam “Sang Nabi”. Dalam buku itu Gibran menulis, “Jangan memberati diri dengan rasa utang budi, sebab kau akan membebani dirimu dan dia yang memberi… Terlampau menyadari utangmu, adalah meragukan kedermawanan dia”. (Sang Nabi, Khalil Gibran, Pustaka Jaya). Teman saya ini begitu mengagumi Gibran dan Sang Nabi-nya sampai-sampai dia berucap, “Sang Nabi adalah kitab suci saya”.
Berhari-hari saya memikirkan kata-kata Gibran itu dan akhirnya membeli Sang Nabi dan buku Gibran lainnya, “Sayap-sayap Patah” yang menurut banyak orang, sangat bagus. Meski saya bukan pengagum Gibran dan karya-karyanya, tapi untuk yang satu ini saya sangat terkesan. Sang Nabi membuat saya mempertanyakan filosofi saya sendiri mengenai pemberian. Meski tidak sampai membebani diri dengan utang budi, saya merasa perlu membalas pemberian atau kebaikan seseorang dengan pemberian atau kebaikan lainnya. Kalau bisa, pemberian atau kebaikan saya harus melebihi pemberian atau kebaikan dia pada saya sebelumnya. Bukankah Tuhan juga mengganjar setiap kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda?
Dari yang saya pahami, Gibran tidak “melarang” seseorang merasa berutang budi akan pemberian orang lain, tapi yang dia larang adalah jika terlalu memberati diri dengan utang budi atau terlampau menyadari utang (pemberian) tersebut. Karena, bagaimanapun, pemberian bukanlah pinjaman atau utang yang harus dikembalikan atau dibayar. Di sinilah, menurut saya, bagian penting dari ungkapan Gibran. Sejak kecil kita akrab dengan pepatah/ungkapan “ada budi ada balas” atau “utang budi dibawa mati” seperti pernah muncul di salah satu lagu almarhum Benyamin S. seperti saya kutip di atas. Pepatah/ungkapan itu begitu populer sampai-sampai menjadi “ayat suci” bagi banyak orang.
Saya mungkin sampai saat ini berkesimpulan menjadi penerima itu sulit. Kadang menjadi penerima itu memang tidak terhindarkan, dan seperti yang ditulis Gibran juga, “.. engkau semuanya tergolong penerima!”. Selama kita menjadi penerima, kita akan terbebani, sedikit atau banyak, dengan pemberian yang kita terima, besar atau kecil. Semakin besar pemberian seseorang, semakin terbebani lah kita. Karena itu, menurut saya, menjadi pemberi itu lebih mudah. Seperti dikata Gibran, pemberian itu satu nafas dengan kedermawanan atau ketulusan. Tidak tulus, bukan pemberian namanya. Mengharap balas atau pengembalian dalam memberi, itu namanya menghutangkan atau meminjamkan. Tulus dalam memberi itu kata Al Ghazali sama dengan saat seseorang membuang, maaf, ludah. Seperti halnya seorang tidak pernah mengingat-ingat berapa kali dia meludah dalam sehari, ia juga haram menyebut-nyebut perbuatan-perbuatan memberi.
Sungguh, sebaik-baik Pemberi adalah Tuhan, dan seburuk-buruk pemberi adalah yang mengharap balasan dari selain Tuhan. Dan sebaik-baik pemberian adalah yang mendorong penerimanya berusaha menjadi pemberi, dan seburuk-buruk pemberian adalah yang membuat penerimanya menjadi peminta-minta. Wallahu ‘alam.
Salam,
Amrie
No comments:
Post a Comment