Monday, February 19, 2007

tentang pemberian dan utang budi (2)

Pembaca tercinta,

Beberapa hari lalu, seorang teman menelpon dan mengatakan akan memberikan “bingkisan kecil” buat saya. Katanya, itu sebagai ucapan terima kasih karena dia sering merepotkan saya. Saya langsung menjelaskan kalau apa yang saya lakukan merupakan bagian dari pekerjaan saya, jadi tidak perlu dikasih apa-apa. Toh, saya sudah mendapat gaji dari kantor. Kemudian, beberapa hari kemudian, teman baik saya ini kirim SMS ke saya dan minta alamat pengiriman buat kirim “sesuatu” buat saya. Lagi-lagi, saya menolak baik-baik permintaan beliau ini dengan menulis kurang lebih, niat baik dia itu sudah melebihi bingkisan termahal sekalipun. Alhamdulillah, dia mengerti.

Sebetulnya, saya menolak bukan karena tidak suka hadiah, apalagi pemberinya teman sendiri. Hanya saja, saya merasa hadiah itu bukan hak saya. Itu saja. Saya juga yakin teman saya ini tidak punya maksud lain di balik pemberiannya kecuali ingin mengucapkan terima kasih. Selain bukan hak saya, ada satu hal lagi yang membuat saya perlu sedikit berhati-hati dalam menerima pemberian yang ada kaitannya, langsung atau tidak langsung, dengan pekerjaan saya. Bukannya pekerjaan saya demikian pentingnya atau posisi saya di kantor begitu tinggi hingga saya bisa mengambil keputusan yang menentukan nasib orang lain. Tapi, itu karena saya terlibat langsung dengan sebuah komunitas yang terkadang tidak segan memberikan “sesuatu” demi memuluskan urusannya.

Belum lama, saya buka-buka koleksi lama saya, “Jejak-jejak Ruhani” karangan Murtadha Muthahari, untuk memenuhi ketidakpuasan saya akan kesimpulan saya dalam masalah pemberian dan utang budi. Alhamdulillah, di buku itu saya menemukan salah satu ucapan Imam Ali bin Abi Thalib yang berkaitan dengan pemberian dan menjaga kehormatan diri. Khotbahnya lumayan panjang, itu saya yakin lantaran masalah pemberian memang bukan hal yang sederhana. Di satu sisi, kita harus menghargai niat baik orang lain yang hendak memberikan sesuatu kepada kita, sementara di sisi lain kita perlu menjaga kehormatan diri agar tidak menjadi “tawanan perbuatan baik” orang lain.

”Amirul Mukminin a.s. bersabda, ‘Jika engkau berbuat kebajikan kepada seseorang dan memenuhi orang itu dengan segala pemberian, maka orang itu – siapapun dia – akan menjadi tawanan perbuatan baikmu dan berada di bawah perintahmu, sementara engkau menjadi atasan baginya. Jika engkau merasa cukup dan tidak butuh kepada seseorang, maka siapapun orang itu, apapun pangkat dan kedudukan yang dimilikinya, engkau akan menjadi pribadi yang sama dan sederajat dengannya. Namun, jika engkau merasa butuh kepada seseorang, meminta pertolongan darinya, niscaya siapapun orang itu, engkau akan menjadi hambanya, tawanannya, dan pesuruhnya.’”. (Dinukil dari “Jejak-jejak Ruhani”, Murtadha Muthahari, Pustaka Hidayah, Mei 1996, hal. 53, dari “Ghurarul Hikam”, Cet. Univ. Teheran, Jilid II, hal. 54).

Masih dari buku yang sama:

"Sesuatu yang dapat menjadikan manusia sebagai tawanan ialah membutuhkan dan menerima pemberian dan kebaikan orang lain. Perbuatan itulah yang dapat merusak kehormatan dan kemuliaan seorang manusia. Sebaliknya, merasa cukup dan tidak butuh merupakan penjaga kehormatan dan kemuliaan seseorang. Dari sinilah setiap usaha dan segala sesuatu yang dapat menghilangkan ketergantungan kepada orang lain mempunyai kedudukan yang mulia. Hal ini karena tidak ada yang lebih suci daripada sesuatu yang dapat menjaga kehormatan dan harga diri seorang manusia".

Wasalam,

amrie

1 comment:

Anonymous said...

thanks, Amrie. tulisan yang bagus dan memberikan pencerahan yang sangat dalam maknanya. salam, TB. Nazmudin