Tuesday, December 18, 2007

imej

"Sebuah perusahaan yang imej-nya kurang baik di mata masyarakat, terkadang pada kenyataannya perusahaan itu memiliki manajemen yang baik di dalam. Sebaliknya, ada pula perusahaan yang imej-nya baik di masyarakat, tapi ternyata di dalamnya manajemennya amburadul."

Itulah kurang lebih yang pernah dikatakan oleh pakar manajemen Rhenald Kasali dalam sebuah diskusi di salah satu radio. Apa yang dia sampaikan bisa dikupas panjang lebar dengan menggunakan beragam pisau analisis atau disiplin ilmu yang boleh jadi saya tidak kuasai. Pandangan di atas saya kutip hanya untuk menggambarkan betapa imej (image, citra) merupakan hal yang penting. Tapi di sisi lain, imej bukanlah segala-galanya karena imej bisa direkayasa.

Dikisahkan bahwa pemimpin revolusi Islam Iran Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini pernah di-imej-kan oleh sebagian orang sebagai pemimpin yang kurang ramah. Setelah disampaikan kepada beliau tentang hal itu, Khomeini menjawab. "Ini adalah tipu daya setan. Sesungguhnya, jiwaku sendiri mengajakku bersikap lebih ramah terhadap mereka agar jumlah orang yang menyukaiku bertambah banyak. namun, agar ajakan ini menarik bagiku, setan berkata, 'Ini demi Allah dan Islam!' Karena itulah aku tidak bisa melakukannya."1

Demikianlah imej di mata Imam Khomeini sebagai seorang sufi. Secara sederhana, apa yang diungkapkan oleh Khomeini dalam kasus di atas adalah perang di batinnya soal niat beliau untuk bersikap ramah kepada orang lain. Akhirnya, beliau sendiri memilih dianggap tidak ramah kepada orang lain daripada menuruti bisikan setan saat itu yang mendorongnya untuk bersikap ramah agar disukai oleh banyak orang. Khomeini bukanlah manusia yang "tergila-gila" akan imej di mata manusia. Imej di hadapan Allah lah yang beliau senantiasa jaga.

Ada pula cerita tentang Bayazid (Abu Yazid al Busthami), salah seorang sufi terkenal, yang berani "mengorbankan" imejnya sebagai seorang guru sufi yang dihormati banyak orang. Pada suatu hari, ketika ia pulang dari Mekah, ia singgah di kota Rey di Iran. Penduduk kota yang sangat menaruh hormat padanya, keluar mengelu-elukannya sampai seluruh kota menjadi gempar.

Bayazid, yang sudah jenuh akan pendewaan serupa itu, menunggu hingga ia sampai di pinggir pasar. Di sana ia membeli sepotong roti, lalu mulai memakannya di muka umum. Padahal waktu itu bulan puasa. Akan tetapi Bayazid yakin, bahwa dalam perjalanan ia tidak terikat pada peraturan-peraturan agama. (Orang yang dalam safar tidak diwajibkan berpuasa)

Tetapi para pengikutnya tidak berpikir demikian. Maka mereka begitu dikecewakan oleh perbuatan itu, sehingga mereka semua segera meninggalkannya dan pulang. Bayazid dengan rasa puas berkata kepada salah seorang muridnya: "Lihat, begitu aku berbuat sesuatu yang berlawanan dengan harapan mereka, rasa hormat mereka terhadapku hilang lenyap."2

Demikianlah kebanyakan dari kita, begitu gemar mengkultuskan (mendewa-dewakan) manusia lainnya. Saat "sang pujaan" melakukan hal-hal yang kita harapkan, kita pun memujanya sedemikian rupa yang dapat membuat orang tersebut terjerumus ke dalam rasa bangga diri, sombong, dan takabur. Tapi, giliran orang tersebut melakukan sesuatu yang tidak kita harapkan atau tidak kita sukai, kita pun meninggalkannya atau bahkan menistainya. Naudzubillah.

Dalam salah satu munajatnya, Imam Ali bin Abi Thalib memanjatkan doa berikut:

"Ya Allah, ampunilah aku tentang apa yang
Engkau
ketahui pada diriku.
Ya Allah, kalau aku kembali melakukan
kesalahan,
maka kumohon kembali jugalah
kepadaku
dengan pengampunan.

Ya Allah, ampunilah isyarat-isyarat buruk
yang kulakukan,
kesalahan-kesalahan kata
yang kuucapkan,
keinginan nafsu yang
kupendam,
dan ketergelinciran lidah yang
terlontarkan."


Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada
apa yang diduga orang dan
ampunilah
dariku apa yang mereka tidak ketahui.
"3


-----------------------------
Referensi:
1. "Potret Sehari-hari Imam Khomeini", penerbit Pustaka IIman, Cetakan II, Januari 2007.
2. "Burung Berkicau", Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994.
3. "Yang Sarat & Yang Bijak", M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, September 2007.

2 comments:

Anonymous said...

Setuju…image bukanlah sesuatu hal yang terlalu penting untuk orang yang tidak mempunyai niat apapun dalam melakukan sesuatu. Tapi saya pikir gak ada salahnya kalau kita menjaga image yang sudah baik (tanpa merekayasanya tentu saja) agar tetap baik, dan memperbaiki image yang kurang baik menjadi lebih baik (tanpa merekayasanya juga dan tanpa tujuan yang buruk dalam arti yang bertujuan hanya agar orang menyukai kita karena image kita yang baik krn kita merekayasanya). Jadi menjaga image yang sudah baik agar tetap baik, saya rasa menjadi penting tapi menjadi tidak penting kalau ada tujuan yang buruk dibalik menjaga image yang sudah baik tersebut.

Amrie Hakim said...

saya setuju sama yang ukie tulis. saat ini, saya tidak bisa menulis komentar yang lebih baik dari yang ukie tulis:)

salam hangat