Setiap diri kita adalah pendidik. Kita adalah pendidik untuk anak kita, suami atau istri kita, teman, sahabat, dan rekan kerja kita, serta pendidik bagi diri kita sendiri. Untuk menjadi pendidik kita tidak perlu menjadi guru atau dosen dalam artian formal. Pendidikan tidak harus dilakukan di ruang kelas tapi juga di rumah, di kantor, di lapangan, di hipermarket, di minimarket, di mana saja.
Kita juga jangan sungkan kalau pendidik dalam arti luas itu adalah orang yang usianya lebih muda dari kita, seperti adik, adik kelas, atau bahkan anak kita. Atau dari orang-orang yang kita anggap sebagai bawahan kita. Pendidikan adalah proses transfer hikmah. Sekalipun keluar dari dubur ayam, kalau yang brojol itu telur ya ambil saja karena itu bermanfaat buat kita. Imam Ali juga pernah mengatakan, jangan melihat siapa yang berbicara, tapi simak apa yang dibicarakan.
Saya ingin menceritakan sebuah kisah kecil tentang pengalaman istri dan putri saya saat berbelanja di sebuah minimarket. Hari itu, kepada ibunya putri saya minta dibelikan permen karet. Padahal, putri saya tahu kalau permintaannya pasti tidak dikabulkan dan memang belum pernah kami membelikan dia permen karet. Sebetulnya, putri saya tertarik untuk beli permen itu semata-mata karena kemasannya yang bergambar karakter "Hello Kitty" dan berwarna pink, warna favorit dia kayaknya.
Ibunya kemudian menjelaskan kalau dia tidak boleh beli permen karet karena belum bisa memakannya. Putri saya kemudian menjawab, "kata mba Aam boleh." (Usia Aura, putri saya, saat ini sudah lewat dari 3 tahun, dan sudah lancar berdialog dengan kebanyakan orang). Oiya, Mba Aam itu pengasuh Aura di rumah. Menarik karena saat itu ibunya memilih untuk tidak memaksakan pendapatnya sendiri meskipun dia berhak melakukan itu sebagai ibu dan itupun demi kebaikan putri saya juga. Istri saya kemudian memutuskan untuk mengabulkan permintaan putrinya dengan mengatakan, "Begini aja, Mama beliin permen karetnya, nanti di rumah kita tanya mba Aam apa Aura boleh makan permen karet ya?" Aura mengiyakan usul mamanya.
Singkat cerita, begitu sampai di rumah, Aura dan ibunya menanyakan kepada mba Aam, yang dalam kasus ini berperan sebagai hakim, apakah dia boleh makan permen karet. Pengasuh putri saya kemudian dengan agak terkejut bercampur geli menjawab, "ngga boleeeehhhh.." Syukurnya putri saya menepati janjinya. Dia tidak naik banding atas "putusan" pengasuhnya itu. Protespun tidak. Mungkin dia memang dari awal tidak ingin makan permen karet itu karena cuma tertarik sama Hello Kitty-nya, dan sudah cukup senang membawa permen itu dari toko ke rumahnya.
Kisah kecil itu membawa sejuta hikmah buat saya. Istri saya telah menjadi pendidik buat saya dan putri saya. Putri saya juga telah menjadi pendidik bagi saya dan istri. Istri saya dalam kisah itu berusaha menjadi ibu yang demokratis, tidak mau memaksakan kehendak/pendapatnya meski dia tahu bahwa pendapatnya baik bagi putri saya. Istri saya juga berusaha menjadi insan yang egaliter dengan menghormati pendapat orang yang sebetulnya adalah "bawahannya".
Kemudian, meski usianya yang terhitung balita, putri saya pada waktu yang sama juga mengajarkan hikmah yang tidak kalah berharganya kepada kedua orangtuanya. Aura mengajarkan kepada kami bagaimana bersabar saat dia tidak mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Aura juga mengajarkan kepada kami tentang menepati janji. Dia dengan jiwa ksatria menerima putusan "sang hakim" meski itu berlawanan dengan keinginannya, dan menerima perjanjian yang sebelumnya dia buat dengan mamanya.
Mudah-mudahan kisah di atas bisa bermanfaat buat pembaca dan membuat kita semua semakin sadar akan peran kita sebagai pendidik, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja. Dan juga semakin membuat kita tidak ragu lagi untuk berpikiran terbuka, menjadi manusia yang lebih demokratis dan egaliter, dan senantiasa siap menerima pelajaran/hikmah dari siapapun, kapanpun, dan di manapun. Wallahu 'alam.
7 comments:
Bagus bangets...Semoga tidak ada lagi paradigma Kalau perempuan hanya cukup berpendidikan SD saja (ibarat utk derajat pendidikan paling rendah)bahkan sangat perlu sekarang perempuan harus berpendidikan tinggi, karena dia adalah madrasah pertama sebuah generasi. Majulah Wanita...ditanganmulah sebuah Peradaban mulia itu bisa terwujud..
terima kasih untuk apresiasinya, mbak nur. saya menganggap komentar nur sebagai pelengkap dari tulisan di atas. saya memang tidak melihat istri atau putri saya dalam kisah ini dalam kedudukan mereka sebagai wanita/perempuan, tapi sebagai manusia/insan pada umumnya. dalam konteks keilmuan/penguasaan akan ilmu saya tidak pernah membeda-bedakan laki-laki dengan perempuan. masing-masing punya potensi untuk menjadi pendidik yang jempolan. tapi, jangan dilupakan juga bahwa masing-masing punya peranan sesuai fitrahnya yang saling melengkapi, peran yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain.
sebuah kisah yg membawa hikmah dan bisa dijadikan contoh dalam mendidik anak. Salut buat de Aura dan ibunya :)
repot amat...kasih aja bungkus permennya mas...kan dia suka warna bungkus nya aja he he...
to eni, terimakasih untuk komentarnya. cuma saya agak malu juga kalau eni bilang kisahnya bisa dijadikan contoh dalam mendidik anak. ..
to anonymous, terima kasih untuk komentarnya. iya juga ya :)) tapi kalo aura dikasih bungkusnya aja kemungkinan besar dia nangis sejadi2nya. jadi, saya kira cara negosiasi yg ditempuh ibunya cukup canggihlah.. salam kenal.
bagus banget mas !!
oya, artikel ini tadi saya lihat di muat di suara merdeka. selamat ya mas !!
mas ardhie, terimakasih untuk apresiasinya. saya juga sudah mampir ke blog mas, dan ternyata tulisan-tulisan mas lebih bagus dari tulisan-tulisan saya :)
oiya, saya penasaran juga apa betul tulisan ini dimuat di suara merdeka? kalau tidak merepotkan, boleh kiranya mas ardhie berbagi informasi yang lebih lengkap ke saya soal ini, misalnya edisi yang mana. soalnya, siapa tahu itu bukan tulisan saya, cuma mirip-mirip aja :)
salam kenal.
Post a Comment