Tuesday, August 14, 2007

nonton lagi: good will hunting

"I stand upon my desk to remind myself that we must constantly look at things in a different way." (Dead Poets Society).

Akhir pekan lalu, untuk kesekian kalinya, saya nonton lagi Good Will Hunting. Film itu masih saja membuat saya terkesan. Akting Robin Williams memukau, Matt Damon juga tak kalah memikat. Dialog-dialognya menyihir. Dalam kalimat pendek, film tentang orang-orang cerdas ini betul-betul mencerdaskan penikmatnya (baca: penontonnya). Saya rasa, boleh dibilang menyedihkan fakta bahwa tidak banyak film seperti ini dibuat dalam waktu-waktu terakhir ini (Good Will Hunting dirilis pertama kali 10 tahun lalu atau tepatnya pada 1997).

Saat ini, saya tergoda untuk menulis betapa selama beberapa tahun belakangan kita, para penikmat film, sangat kekurangan suguhan film yang bermutu. Godaan ini semakin menjadi-jadi saat kita melihat dengan jelas betapa orientasi pembuat film di Hollywood sepertinya melulu hanya mengejar untung sebanyak-banyaknya. Tapi, saya rasa saya bisa menerima kesepakatan umum bahwa film dibuat dan hadir di ruang tonton kita untuk menghibur. Kalimat yang sering saya dengar dalam konteks ini adalah, kita nonton film untuk mencari hiburan, melepas penat, dan bukan untuk diajak berpikir (lagi). Ah, ini juga hal yang relatif susah dan ga terlalu penting untuk diperdebatkan.

Saya sendiri termasuk orang yang tidak bisa membedakan atau membuat batasan antara "film hiburan" dan "film serius". Karena saya cukup sering menemukan "film hiburan" (mungkin sebagian menyebutnya 'popcorn movie') yang digarap dengan dan memiliki alur cerita yang serius (baca: berbobot), dan saya juga hampir tidak bisa menghitung banyaknya "film serius" (yang lain menyebutnya, film 'berat') yang sangat menghibur pada waktu yang sama. Good Will Hunting, menurut saya, ga terlalu cocok untuk dikategorikan sebagai popcorn movie, tapi dia sangat menghibur. Segala sesuatu yang mencerdaskan selalu menghibur, bukan?

Soal mencerdaskan, buat saya, film tidak kalah berpengaruhnya ketimbang buku. Film adalah buku saya, dan buku adalah film saya. Seperti halnya buku, film seringkali mengajarkan hal-hal yang baik. Betul bahwa saya "membaca" film sama seriusnya ketika saya membaca buku. Tapi, (fungsi) film tidak bisa ditukar dengan buku, dan begitu juga sebaliknya, (fungsi) buku tidak akan digantikan dengan film. Film dan buku, menurut saya, adalah saudara kembar yang punya keunikan masing-masing, dengan cara dan citarasa penyampaian yang berbeda. Karena itulah, boleh jadi, adaptasi buku ke film tidak akan pernah sama "lezatnya" seperti bukunya, dan begitu pula sebaliknya.

Dengan banyak menonton film (dan membaca buku tentunya) kita seperti orang yang berdiri di atas meja; kita (bisa dan dibiasakan) melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang berbeda. Film membuat setiap kita sadar bahwa kita hanyalah bagian kecil dari semesta raya. Tapi, pada saat yang sama, film meyakinkan diri kita semua bahwa tiap kita adalah spesial, unik, dan punya potensi untuk menjadi pahlawan. Tren film-film belakangan adalah memunculkan sosok/tokoh anti-hero; orang yang sebetulnya bisa dikategorikan "penjahat", tapi karena keadaan tertentu, sang penjahat menjadi pahlawan.

Dunia (dalam arti luas), dari kacamata film, seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang bukan sekadar hitam-putih. Dan, film menasihati kita - secara halus - agar membiasakan diri untuk menerima banyak hal yang tidak biasa menurut ukuran kita sendiri. Wallahu a'lam.

No comments: