Terlalu lama tidak menulis ternyata memang bisa menumpulkan kreatifitas dan sensitifitas. Setidaknya inilah yang saya alami. Ini semakin membuktikan bahwa saya memang bukan natural born writer (meminjam judul salah satu filmnya Tarantino, "Natural Born Killer"). Untuk menulis, saya harus memutar otak, memeras akal, dan memburu ide sampai ngos-ngosan. Betapa tidak tahu malunya saya pernah menganggap diri sebagai penulis.
Untuk menuliskan (alasan) kenapa saya tidak bisa menulis pun saya kelelahan setengah mati. Beberapa kali saya harus menarik jari-jemari saya dari keyboard dan saya pindahkan ke kepala demi mencari kata yang saya anggap indah dan bisa mengundang decak kagum siapapun yang membaca, termasuk diri saya sendiri. Hari ini saya mempertanyakan niat saya untuk menulis. Saya mengiterogasi apa motif saya untuk mencoba menjadi penulis sejak awal.
Saya ragu tujuan saya menulis adalah semata-mata untuk berbagi ilmu. Saya sangsi hati saya bebas dari riya' saat menuangkan buah pikir saya ke dalam tulisan. Saya tidak yakin hati saya bersih dari jumawa di balik kerendah-hatian (bahasa) saya. Saya merasa selalu ada yang saya sembunyikan di balik keterusterangan saya. Saya tidak ingat lagi berapa kali saya berdusta dalam kejujuran saya.
Saya selalu sibuk memberikan penilaian tentang orang yang menyakiti saya, tapi paling malas untuk mengingat-ingat berapa kali dan berapa banyak orang yang telah saya sakiti hatinya. Saya paling jeli dalam melihat kekurangan dan cacat orang lain, dan saya seolah-olah menjadi buta akan kelemahan dan dosa-dosa saya sendiri.
Saya khawatir saya sangat mengharapkan dan menikmati pujian orang lain. Di lisan dan tulisan saya bilang menyukai kritik, tapi di dalam hati jangan-jangan memendam dendam kepada si pengritik. Mungkin saya memang belum pernah benar-benar menulis. Sejauh ini saya baru dalam tahap mencoba-coba menulis. Wallahu a'lam.
Thursday, August 30, 2007
Tuesday, August 14, 2007
nonton lagi: good will hunting
"I stand upon my desk to remind myself that we must constantly look at things in a different way." (Dead Poets Society).
Akhir pekan lalu, untuk kesekian kalinya, saya nonton lagi Good Will Hunting. Film itu masih saja membuat saya terkesan. Akting Robin Williams memukau, Matt Damon juga tak kalah memikat. Dialog-dialognya menyihir. Dalam kalimat pendek, film tentang orang-orang cerdas ini betul-betul mencerdaskan penikmatnya (baca: penontonnya). Saya rasa, boleh dibilang menyedihkan fakta bahwa tidak banyak film seperti ini dibuat dalam waktu-waktu terakhir ini (Good Will Hunting dirilis pertama kali 10 tahun lalu atau tepatnya pada 1997).
Saat ini, saya tergoda untuk menulis betapa selama beberapa tahun belakangan kita, para penikmat film, sangat kekurangan suguhan film yang bermutu. Godaan ini semakin menjadi-jadi saat kita melihat dengan jelas betapa orientasi pembuat film di Hollywood sepertinya melulu hanya mengejar untung sebanyak-banyaknya. Tapi, saya rasa saya bisa menerima kesepakatan umum bahwa film dibuat dan hadir di ruang tonton kita untuk menghibur. Kalimat yang sering saya dengar dalam konteks ini adalah, kita nonton film untuk mencari hiburan, melepas penat, dan bukan untuk diajak berpikir (lagi). Ah, ini juga hal yang relatif susah dan ga terlalu penting untuk diperdebatkan.
Saya sendiri termasuk orang yang tidak bisa membedakan atau membuat batasan antara "film hiburan" dan "film serius". Karena saya cukup sering menemukan "film hiburan" (mungkin sebagian menyebutnya 'popcorn movie') yang digarap dengan dan memiliki alur cerita yang serius (baca: berbobot), dan saya juga hampir tidak bisa menghitung banyaknya "film serius" (yang lain menyebutnya, film 'berat') yang sangat menghibur pada waktu yang sama. Good Will Hunting, menurut saya, ga terlalu cocok untuk dikategorikan sebagai popcorn movie, tapi dia sangat menghibur. Segala sesuatu yang mencerdaskan selalu menghibur, bukan?
Soal mencerdaskan, buat saya, film tidak kalah berpengaruhnya ketimbang buku. Film adalah buku saya, dan buku adalah film saya. Seperti halnya buku, film seringkali mengajarkan hal-hal yang baik. Betul bahwa saya "membaca" film sama seriusnya ketika saya membaca buku. Tapi, (fungsi) film tidak bisa ditukar dengan buku, dan begitu juga sebaliknya, (fungsi) buku tidak akan digantikan dengan film. Film dan buku, menurut saya, adalah saudara kembar yang punya keunikan masing-masing, dengan cara dan citarasa penyampaian yang berbeda. Karena itulah, boleh jadi, adaptasi buku ke film tidak akan pernah sama "lezatnya" seperti bukunya, dan begitu pula sebaliknya.
Dengan banyak menonton film (dan membaca buku tentunya) kita seperti orang yang berdiri di atas meja; kita (bisa dan dibiasakan) melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang berbeda. Film membuat setiap kita sadar bahwa kita hanyalah bagian kecil dari semesta raya. Tapi, pada saat yang sama, film meyakinkan diri kita semua bahwa tiap kita adalah spesial, unik, dan punya potensi untuk menjadi pahlawan. Tren film-film belakangan adalah memunculkan sosok/tokoh anti-hero; orang yang sebetulnya bisa dikategorikan "penjahat", tapi karena keadaan tertentu, sang penjahat menjadi pahlawan.
Dunia (dalam arti luas), dari kacamata film, seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang bukan sekadar hitam-putih. Dan, film menasihati kita - secara halus - agar membiasakan diri untuk menerima banyak hal yang tidak biasa menurut ukuran kita sendiri. Wallahu a'lam.
Akhir pekan lalu, untuk kesekian kalinya, saya nonton lagi Good Will Hunting. Film itu masih saja membuat saya terkesan. Akting Robin Williams memukau, Matt Damon juga tak kalah memikat. Dialog-dialognya menyihir. Dalam kalimat pendek, film tentang orang-orang cerdas ini betul-betul mencerdaskan penikmatnya (baca: penontonnya). Saya rasa, boleh dibilang menyedihkan fakta bahwa tidak banyak film seperti ini dibuat dalam waktu-waktu terakhir ini (Good Will Hunting dirilis pertama kali 10 tahun lalu atau tepatnya pada 1997).
Saat ini, saya tergoda untuk menulis betapa selama beberapa tahun belakangan kita, para penikmat film, sangat kekurangan suguhan film yang bermutu. Godaan ini semakin menjadi-jadi saat kita melihat dengan jelas betapa orientasi pembuat film di Hollywood sepertinya melulu hanya mengejar untung sebanyak-banyaknya. Tapi, saya rasa saya bisa menerima kesepakatan umum bahwa film dibuat dan hadir di ruang tonton kita untuk menghibur. Kalimat yang sering saya dengar dalam konteks ini adalah, kita nonton film untuk mencari hiburan, melepas penat, dan bukan untuk diajak berpikir (lagi). Ah, ini juga hal yang relatif susah dan ga terlalu penting untuk diperdebatkan.
Saya sendiri termasuk orang yang tidak bisa membedakan atau membuat batasan antara "film hiburan" dan "film serius". Karena saya cukup sering menemukan "film hiburan" (mungkin sebagian menyebutnya 'popcorn movie') yang digarap dengan dan memiliki alur cerita yang serius (baca: berbobot), dan saya juga hampir tidak bisa menghitung banyaknya "film serius" (yang lain menyebutnya, film 'berat') yang sangat menghibur pada waktu yang sama. Good Will Hunting, menurut saya, ga terlalu cocok untuk dikategorikan sebagai popcorn movie, tapi dia sangat menghibur. Segala sesuatu yang mencerdaskan selalu menghibur, bukan?
Soal mencerdaskan, buat saya, film tidak kalah berpengaruhnya ketimbang buku. Film adalah buku saya, dan buku adalah film saya. Seperti halnya buku, film seringkali mengajarkan hal-hal yang baik. Betul bahwa saya "membaca" film sama seriusnya ketika saya membaca buku. Tapi, (fungsi) film tidak bisa ditukar dengan buku, dan begitu juga sebaliknya, (fungsi) buku tidak akan digantikan dengan film. Film dan buku, menurut saya, adalah saudara kembar yang punya keunikan masing-masing, dengan cara dan citarasa penyampaian yang berbeda. Karena itulah, boleh jadi, adaptasi buku ke film tidak akan pernah sama "lezatnya" seperti bukunya, dan begitu pula sebaliknya.
Dengan banyak menonton film (dan membaca buku tentunya) kita seperti orang yang berdiri di atas meja; kita (bisa dan dibiasakan) melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang berbeda. Film membuat setiap kita sadar bahwa kita hanyalah bagian kecil dari semesta raya. Tapi, pada saat yang sama, film meyakinkan diri kita semua bahwa tiap kita adalah spesial, unik, dan punya potensi untuk menjadi pahlawan. Tren film-film belakangan adalah memunculkan sosok/tokoh anti-hero; orang yang sebetulnya bisa dikategorikan "penjahat", tapi karena keadaan tertentu, sang penjahat menjadi pahlawan.
Dunia (dalam arti luas), dari kacamata film, seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang bukan sekadar hitam-putih. Dan, film menasihati kita - secara halus - agar membiasakan diri untuk menerima banyak hal yang tidak biasa menurut ukuran kita sendiri. Wallahu a'lam.
Thursday, August 09, 2007
ampe tua
"Gw sng qt2 msh bs kmpl. Itu aja yg gw suka. kdg gw bth tmn crta, brbgi suka or sng n kdg ht gw ska mrs sepi rie. Mdh2an ampe tua qt bs kmpl n ktmuan ye!"
Akhir Juni lalu salah satu sahabat baik saya berulang tahun yang ke-30. Dia adalah salah satu teman sejak kuliah dulu yang sampe sekarang masih sering ketemu. Sebagai sesama orang betawi, dia juga adalah sahabat yang sangat dekat dengan saya karena becandaan kami satu "bahasa". Karena itu juga saya sangat akrab dengan orang tua sahabat saya itu, begitu juga sebaliknya. Sebetulnya, saya sudah menganggap dia sebagai saudara saya sendiri.
Meski sudah lewat lebih dari satu bulan sejak dia berbaik hati mentraktir saya dan beberapa sahabat lain makan-makan, tapi baru minggu lalu saya punya kesempatan kasih dia kado. Saya tahu mungkin tradisi memberikan kado saat ultah hanya lazim di kalangan anak-anak dan abege. Tapi, sebagian orang masih menjalankan dengan setia tradisi memberi kado pada teman atau sahabatnya yang berultah. Saya mencoba mengikuti tradisi yang baik ini.
Kado yang saya pilih adalah buku terjemahan The Beatles: After The Break Up. Saya pilih itu karena dia penggemar berat The Beatles. Saya baru bisa kasih itu ke dia minggu lalu saat kami dan beberapa sahabat lain ketemuan di salah satu restoran di kawasan Kuningan. Agenda kami waktu itu sebetulnya ingin temu-kangen dengan seorang teman dari Balikpapan yang sedang datang ke Jakarta. Sayangnya, teman kami ini malah ga datang. Padahal, sahabat saya itu sudah semangat membantu si tamu untuk bisa bertemu dengan teman-teman kuliahnya dulu.
Tapi, betapapun begitu, kami yang sudah datang malam itu sama sekali tidak kehilangan keceriaan dan kebahagiaan. Suatu hal yang boleh jadi tidak akan kami peroleh jika teman yang "bolos" itu jadi datang. Syukurlah. Demikian serunya sampai-sampai kami baru bubar begitu pegawai resto secara halus mengusir kami dengan prosedur standar: semua bangku di kiri dan kanan kami dibalik di atas meja, dan sebagian lampu sudah dimatikan. Akhirnya, mau ga mau, kami harus pergi. But, yes, we had a blast.
Menjelang tengah malam baru saya sampe rumah. Saya cek HP, ada SMS dari sahabat saya itu yang bilang kalau dia sangat suka dengan kado dari saya. Saya balas SMS dia dengan menulis kurang lebih bahwa kado dari saya betapapun bagus atau mahal tidak akan bisa membayar persahabatan tulus yang dia kasih ke saya selama ini. SMS saya itu kemudian dia balas lagi yang sebagian isinya saya kutip ulang di bagian awal tulisan ini.
SMS dia itu bikin saya terharu. Mungkin saya telah membuat istri saya cemburu karena punya sahabat sebaik dia. Saya, seperti juga dia, menghargai dengan harga yang sangat tinggi sebuah persahabatan. Harapan dia agar kami dapat terus menjalin kemesraan sebagai sahabat hingga kami lanjut usia adalah juga harapan saya. Semoga Allah tidak menjadikan persahabatan kami yang tulus dan bersahaja seperti nasib The Beatles yang melegenda tapi akhirnya tercerai-berai...
Akhir Juni lalu salah satu sahabat baik saya berulang tahun yang ke-30. Dia adalah salah satu teman sejak kuliah dulu yang sampe sekarang masih sering ketemu. Sebagai sesama orang betawi, dia juga adalah sahabat yang sangat dekat dengan saya karena becandaan kami satu "bahasa". Karena itu juga saya sangat akrab dengan orang tua sahabat saya itu, begitu juga sebaliknya. Sebetulnya, saya sudah menganggap dia sebagai saudara saya sendiri.
Meski sudah lewat lebih dari satu bulan sejak dia berbaik hati mentraktir saya dan beberapa sahabat lain makan-makan, tapi baru minggu lalu saya punya kesempatan kasih dia kado. Saya tahu mungkin tradisi memberikan kado saat ultah hanya lazim di kalangan anak-anak dan abege. Tapi, sebagian orang masih menjalankan dengan setia tradisi memberi kado pada teman atau sahabatnya yang berultah. Saya mencoba mengikuti tradisi yang baik ini.
Kado yang saya pilih adalah buku terjemahan The Beatles: After The Break Up. Saya pilih itu karena dia penggemar berat The Beatles. Saya baru bisa kasih itu ke dia minggu lalu saat kami dan beberapa sahabat lain ketemuan di salah satu restoran di kawasan Kuningan. Agenda kami waktu itu sebetulnya ingin temu-kangen dengan seorang teman dari Balikpapan yang sedang datang ke Jakarta. Sayangnya, teman kami ini malah ga datang. Padahal, sahabat saya itu sudah semangat membantu si tamu untuk bisa bertemu dengan teman-teman kuliahnya dulu.
Tapi, betapapun begitu, kami yang sudah datang malam itu sama sekali tidak kehilangan keceriaan dan kebahagiaan. Suatu hal yang boleh jadi tidak akan kami peroleh jika teman yang "bolos" itu jadi datang. Syukurlah. Demikian serunya sampai-sampai kami baru bubar begitu pegawai resto secara halus mengusir kami dengan prosedur standar: semua bangku di kiri dan kanan kami dibalik di atas meja, dan sebagian lampu sudah dimatikan. Akhirnya, mau ga mau, kami harus pergi. But, yes, we had a blast.
Menjelang tengah malam baru saya sampe rumah. Saya cek HP, ada SMS dari sahabat saya itu yang bilang kalau dia sangat suka dengan kado dari saya. Saya balas SMS dia dengan menulis kurang lebih bahwa kado dari saya betapapun bagus atau mahal tidak akan bisa membayar persahabatan tulus yang dia kasih ke saya selama ini. SMS saya itu kemudian dia balas lagi yang sebagian isinya saya kutip ulang di bagian awal tulisan ini.
SMS dia itu bikin saya terharu. Mungkin saya telah membuat istri saya cemburu karena punya sahabat sebaik dia. Saya, seperti juga dia, menghargai dengan harga yang sangat tinggi sebuah persahabatan. Harapan dia agar kami dapat terus menjalin kemesraan sebagai sahabat hingga kami lanjut usia adalah juga harapan saya. Semoga Allah tidak menjadikan persahabatan kami yang tulus dan bersahaja seperti nasib The Beatles yang melegenda tapi akhirnya tercerai-berai...
Subscribe to:
Posts (Atom)