Dunia hukum Indonesia berduka. Profesor Emeritus Daniel S. Lev, Indonesianis dari University of Washingto, Seattle, AS, wafat pada Sabtu (29/7) siang waktu setempat atau Ahad (30/7) dini hari waktu Indonesia. Pak Dan meninggal pada usia 72 tahun akibat kanker paru yang dideritanya. Ayah dari seorang istri dan ayah dari dua orang anak itu adalah seorang guru, mentor dan, menurut The Seattle Times, mantan petinju.
Namun, sosok Pak Dan yang saya kenal sangat jauh dari sosok petinju yang umumnya keras. Saya terkesan dengan pribadi Pak Dan yang ramah dan penyabar. Saat masih bekerja buat Hukumonline.com, Saya beruntung mendapat kehormatan mewawancarai Pak Dan head to head pada 2003 silam. Salah satu wawancara terbaik yang pernah saya kerjakan dalam karir sebagai jurnalis.
Waktu itu, saya mewawancarai Pak Dan usai memberikan kuliah umum dalam sebuah seminar (3 April 2003). Keletihan jelas terlihat di wajah Pak Dan, tapi itu tidak menghalangi beliau untuk melayani saya yang saat itu, mungkin, agak memaksa. Sambil menyantap makanan kecil serta kopi yang disediakan penyelenggara seminar, Pak Dan dengan sabar menjawab satu-per-satu pertanyaan saya. Ya, saya menyita maktu makan siang Pak Dan. Biar begitu, Pak Dan tak segan memberikan beberapa jawaban yang panjang lebar tentang profesi advokat dan organisasi advokat. Semuanya dilakukan Pak Dan dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Pak Dan dikenal sebagai Indonesianis yang konsisten dan jernih dalam ulasannya mengenai dinamika hukum dan politik Indonesia sejak 1970-an. Tak hanya lewat kuliah di kampus, Pak Dan banyak terlibat secara aktif dalam upaya perbaikan hukum dan kebijakan di Indonesia. Pada 1999, Pak Dan menjadi salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama sejumlah advokat dan aktivis hukum di Indonesia.
Perhatian dan keprihatinan Pak Dan akan masa depan profesi hukum, khususnya, advokat Indonesia, tak perlu lagi dipertanyakan. Sebagai salah seorang yang telah mengamati dunia profesi hukum Indonesia sejak tahun 50-an, Dan tampaknya mengerti benar bahwa organisasi advokat yang kuat mustahil terwujud jika tidak berwujud wadah tunggal seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Jadi, bukan federasi. Namun, satu hal yang sungguh ia sayangkan, para pimpinan organisasi advokat belum ikhlas untuk disatukan. Saat itu, meski UU No.18/2003 tentang Advokat telah disahkan, namun organisasi advokat belum terbentuk.
Pak Dan menegaskan, tuntutan kalangan untuk dapat disederajatkan dengan penegak hukum lain -- polisi, jaksa dan hakim -- bukan diperoleh dari undang-undang. "Banyak advokat mengira bahwa kalau mereka diakui pemerintah dengan undang-undang berarti bahwa sekarang mereka akan diterima oleh hakim dan jaksa sebagai orang-orang yang sama rasa, sama rata di dalam sistem hukum. Ini omong kosong," ucap Pak Dan waktu itu. Menurutnya, pengakuan hanya dapat diperoleh dari keberpihakan profesi advokat kepada kepentingan masyarakat melawan hakim, jaksa, polisi dan, tidak terkecuali, advokat yang korup.
Pak Dan juga berpandangan agar advokat menjadi profesi yang kuat dan berwibawa, maka perlu dibentuk organisasi advokat yang tunggal. Organisasi advokat yang berbentuk federasi tidak dipandang sebagai opsi olehnya. "Federasi di situ berarti sama sekali bukan organisasi lagi. Itu betul-betul begitu gampang diadu domba. Pemerintah tidak menginginkan suatu organisasi advokat yang kuat, mereka itu hanya mengacaukan. Hakim (juga) benci ide itu," cetusnya.
Harapan Pak Dan akan munculnya organisasi advokat yang kuat dan berwibawa terus diperjuangkan untuk diwujudkan. Semoga keprihatinan Pak Dan juga menjadi keprihatinan advokat Indonesia.
No comments:
Post a Comment