Hermanto Barus, pengacara Ajun Komisaris Polisi Suparman, belum lama ini diberitakan akan melaporkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Langkah itu dia ambil karena menilai KPK telah melecehkan profesi advokat. Sebelum itu, KPK menolak saat Hermanto meminta surat pemecatan kliennya sebagai penyidik KPK. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Peradi, Indra Sahnun Lubis, menganggap tindakan KPK tersebut tidak menghormati advokat sebagai penegak hukum (hukumonline.com, 7/4).
Menjaga citra dan kewibawaan advokat adalah salah satu fungsi dari sebuah organisasi advokat (bar association). Fungsi ini terkait erat dengan peran organisasi advokat untuk menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik. Fungsi-fungsi organisasi advokat di atas sepatutnya juga dikedepankan selain fungsinya sebagai tempat berlindungnya para advokat dari intervensi pihak lain. Fungsi internal sebuah organisasi advokat seperti diuraikan sebelumnya juga dapat diturunkan kepada fungsi sertifikasi advokat serta pengawasan dan pendisiplinan. Demikian sebagian standar umum mengenai definisi, peran, dan fungsi organisasi advokat yang dirumuskan International Bar Association (IBA) pada 1991 (IBA Standards for the Independence of the Legal Profession).
Sejarah mencatat bahwa pada dekade 1970-an Indonesia pernah mempunyai Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) sebagai sebuah organisasi advokat yang berwibawa dan menjadi kebanggaan hingga sekarang. Para advokat yang tergabung dalam Peradin, seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, Zainal Abidin, Soemarno P. Wirjanto dan lainnya tidak hanya dikenang sebagai advokat dalam arti sempit, di pengadilan, tetapi juga sebagai pejuang reformasi, negara hukum, dan hak asasi manusia. Dan, bagian penting yang jarang diingat dari Peradin adalah bahwa meski anggotanya tergolong kecil, organisasi Peradin relatif rapi. Ada daftar anggota, anggotanya membayar iuran. Pada akhir 1960-an sampai 1980 mulai ada jurnalnya, Majalah Hukum dan Keadilan (Daniel S. Lev dalam “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2002).
Sejarah juga mencatat bahwa perjalanan organisasi advokat di Indonesia pasca-Peradin penuh dengan pertentangan antarsesama (organisasi) advokat maupun campur tangan pemerintah. Sampai saat Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan, terdapat sedikitnya delapan organisasi advokat. Delapan organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, SPI, HAPI, dan APSI diberi tugas oleh UU Advokat untuk membentuk Organisasi Advokat selambat-lambatnya dalam dua tahun sejak undang-undang itu disahkan. Organisasi Advokat yang dimaksudkan UU Advokat bersifat wajib (compulsory bar).
Hanya berselang dua hari dari hari jadi UU Advokat yang kedua, tepatnya pada 7 April 2005, dideklarasikanlah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jakarta. Sebetulnya, Peradi sudah terbentuk dan diperkenalkan kepada pers sekitar Oktober 2004 lengkap dengan susunan pengurusnya. Pengurus Peradi sendiri ditetapkan melalui musyawarah para pimpinan delapan organisasi advokat yang mendapat mandat dari UU Advokat.
Tiga fungsi utama organisasi advokat
Mengingat usia Peradi yang telah lebih dari satu tahun, boleh kiranya kita sedikit menengok berbagai kebijakan yang telah dihasilkan para pengurusnya. Menurut PSHK, dengan mengacu pada 11 fungsi organisasi advokat sesuai standar IBA, ada tiga fungsi utama organisasi advokat. Pertama, fungsi dalam hubungan dengan anggotanya (para advokat). Kedua, fungsi dalam hubungannya dengan masyarakat umum dan masyarakat pengguna jasa. Ketiga, fungsi dalam hubungannya dengan negara dan elemen serta sistem peradilan.
Untuk fungsi yang pertama yang terkait dengan fungsi internal organisasi, Peradi sejauh ini telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di antaranya mengeluarkan Buku Daftar Advokat. Kehadiran Buku Daftar Advokat yang memuat basis data sekitar 15.000 advokat se-Indonesia merupakan pencapaian yang signifikan. Pasalnya, selama ini belum pernah ada daftar yang demikian lengkap mengenai advokat di Indonesia. Pada 7 April 2005, pimpinan Peradi secara simbolik menyerahkan Buku Daftar Advokat tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung untuk selanjutnya disebarkan ke tiap pengadilan.
Masih dalam kerangka menjalankan fungsi internalnya, Peradi sudah mulai melakukan rekrutmen calon advokat dengan mengadakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) serta Ujian Profesi Advokat (UPA). Sukses penyelenggaraan UPA juga menjadi poin positif bagi Peradi. Lepas dari dugaan adanya kecurangan dalam prosesnya, Peradi telah berhasil membuktikan bahwa advokat sendiri mampu menyelenggarakan UPA dan tanpa bantuan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya seperti penyelenggaraan ujian pengacara praktek pada 2002.
Sedangkan, di bidang pengawasan, Peradi juga telah mengambil sejumlah aksi di antaranya pembentukan beberapa tim pencari fakta terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat. Salah satu tindakan tegas yang sudah diambil Peradi adalah pemecatan seorang advokat yang terbukti menggunakan ijazah palsu. Selain itu, sebelumnya Peradi telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara (DKS) yang berkedudukan di Jakarta.
Kemudian, untuk fungsi yang kedua yang dapat disebut sebagai fungsi eksternal organisasi advokat, sejauh ini belum ada langkah nyata dari Peradi. Meski dalam sejumlah kesempatan Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan, kerap mengungkapkan bahwa Peradi akan memprioritaskan pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin, namun hal itu masih belum diwujudkan. Saat kasus Raju meledak, misalnya, bisa saja Peradi ikut ambil bagian sebagai kuasa hukumnya. Pasalnya, saat itu hampir semua pihak berbicara, mulai dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komnas Perlindungan Anak, kejaksaan, tapi tidak ada suara dari kalangan advokat.
Seperti halnya fungsi yang kedua di atas, fungsi yang ketiga yakni dalam hubungan dengan negara dan elemen serta sistem peradilan, Peradi juga belum menunjukkan kiprahnya. Walaupun sebenarnya terdapat momentum yang bisa dimanfaatkan Peradi untuk menjalankan fungsi ini yaitu saat mencuatnya perselisihan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Alangkah baiknya jika Peradi mengambil peran sebagai mediator atau fasilitator kedua lembaga negara tersebut sehingga sengketa itu tidak sampai berlanjut ke Mahkamah Konstitusi seperti sekarang. Semua pihak sepakat bahwa perseteruan antara kedua lembaga negara itu hanya akan membawa keuntungan bagi jejaring mafia peradilan.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa selama satu tahun eksistensinya, Peradi masih berjuang untuk menjalankan fungsi internalnya. Sedangkan, dua fungsi utama yang harus pula ditunaikan oleh Peradi sebagai organisasi advokat, masih belum tersentuh. Dengan kata lain, selama satu tahun keberadaannya Peradi memprioritaskan program-program internal organisasi, khususnya rekrutmen advokat yang menyita hampir seluruh sumber daya Peradi. Hal demikian mungkin dapat dipahami mengingat usianya yang masih balita sehingga Peradi masih kesulitan dalam menjalankan program-program yang telah dibuat atau mengejar prioritas lain yang sudah disusun sebelumnya.
Penegakan kode etik sebagai barometer
Sudah tentu masih banyak yang harus dilakukan Peradi memasuki tahun kedua ini. Penulis berpendapat, Peradi harus memulainya dengan melakukan penajaman prioritas. Hal utama harus diutamakan. Apalagi, mengingat peradi hingga saat ini masih menyimpan problem internal yang serius, di antaranya masalah penegasan bentuk organisasi (wadah tunggal atau federasi) serta pembentukan anggaran dasar. Seperti dapat disimak melalui sejumlah pemberitaan di hukumonline.com, masalah-masalah tersebut kerap menjadi sasaran tembak pihak-pihak di luar Peradi.
Ketidaktegasan bentuk organisasi Peradi membuat para pengurusnya tidak mudah untuk merintis pembentukan pengurus cabang Peradi di daerah. Kendati mengklaim dirinya sebagai wadah tunggal, masih eksisnya delapan organisasi advokat mengesankan bentuk federasi lah yang sebenarnya muncul. Apalagi, pola keanggotaan di Peradi sendiri mirip model federasi: seorang advokat tidak dapat langsung menjadi anggota Peradi, kecuali melalui satu dari delapan organisasi yang ada (organisasi asal). Pimpinan Peradi agaknya sedang menanti proses peleburan secara alamiah kedelapan organisasi advokat dalam 3-4 tahun ke depan. Masalah berkaitan dengan bentuk organisasi itu jualah yang agaknya menjadi salah satu batu sandungan dalam menyusun anggaran dasar Peradi yang hingga kini, setahu penulis, belum rampung.
Masalah di atas tentu akan berimbas kepada masalah lain yang lain yang tidak kalah serius yakni pembentukan cabang Peradi di daerah berikut organ-organnya, terutama dewan kehormatan sebagai pengawal kode etik. Lebih-lebih, penegakan kode etik adalah barometer utama untuk sebuah organisasi advokat yang berwibawa, baik di mata advokat, rekan penegak hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Kita sama-sama membaca sejumlah advokat yang duduk di kursi pesakitan karena menjadi pelaku utama kasus-kasus penyuapan terhadap aparat hukum. “Tanpa adanya asosiasi advokat yang berwibawa seperti dalam dekade 1970-an, sebenarnya masyarakatlah yang dirugikan,” demikian tulis Frans Hendra Winarta dalam “Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan” (Pustaka Sinar Harapan, 1995).
Berkaitan dengan hal itu, belum lama ini, kita membaca bahwa DPP AAI melakukan pemekaran kepengurusan cabang di Jakarta. Langkah tersebut perlu dikritisi oleh Peradi mengingat setelah berdirinya Peradi, organisasi advokat lain tidak memiliki wewenang apapun. Meski, boleh jadi pemekaran kepengurusan cabang AAI DKI tersebut tidak lepas dari rencana pembentukan Peradi cabang Jakarta. AAI DKI yang selama ini hanya memiliki satu kepengurusan (DPW AAI DKI Jakarta), kemudian dipecah menjadi lima wilayah, seperti halnya Ikadin. Hal di atas hanya sekelumit persoalan yang berakar pada bentuk organisasi Peradi. Dengan begitu, masalah inkorporasi Peradi sebaiknya diletakkan pada urutan pertama dalam daftar prioritas Peradi mendatang.
Setelah itu, Peradi perlu pula menuntaskan program sertifikasi (calon) advokat. Menentukan pola magang bisa jadi memiliki lebih sulit dibandingkan ketika merumuskan tahapan-tahapan sebelumnya yakni PKPA dan UPA. Misalnya saja, harus ada kualifikasi standar tentang kantor hukum yang layak menerima magang calon advokat, berapa banyak calon advokat yang dapat ditampung dalam satu kantor, atau soal apakah calon advokat dibayar (menerima upah) ataukah malah wajib membayar selama masa magang. Untuk di Jakarta saja, di mana kantor hukum berjejalan, ternyata tidak mudah untuk menjalankan program magang. Mandeknya program fasilitasi magang yang pernah dijajal AAI DKI Jakarta pada 2005 silam kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga oleh Peradi. Belum lagi, Peradi harus dapat menyiasati pola magang di wilayah-wilayah yang memiliki hanya segelintir kantor hukum.
Masih terkait masalah rekrutmen calon advokat, setelah penyelenggaraan UPA, Peradi, dalam hal ini Komite Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI), perlu melakukan evaluasi terhadap seluruh penyelenggara PKPA. Evaluasi terhadap penyelenggaraan PKPA penting dilakukan antara lain untuk mengetahui kualitas penyelenggara yang ditunjukkan dari seberapa banyak alumnus mereka yang lolos UPA. Semakin banyak lulusan yang berhasil dalam UPA, maka semakin baik pula kualitas penyelenggaraan PKPA yang bersangkutan. Sebaliknya, jika tingkat kelulusannya kecil, maka berarti PKPA yang bersangkutan bermutu rendah dan karena itu Peradi perlu meninjau ulang kerja sama dengan penyelenggaranya.
Kemudian, terkait dengan pelaksanaan fungsi eksternal Peradi, program yang perlu diprioritaskan adalah pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu. Untuk melaksanakan hal tersebut, Peradi perlu membuat aturan seputar kewajiban bagi anggotanya untuk menyisihkan waktunya dalam satu tahun untuk bekerja secara pro bono. Tiap advokat/kantor advokat harus membuat laporan seputar pelaksanaan kewajiban memberikan bantuan hukum pro bono secara berkala kepada Peradi. Aturan tersebut sudah tentu harus diperkuat dengan sanksi bagi advokat/kantor advokat yang tidak melaksanakannya. Untuk itu, tentu perlu ada organ khusus di Peradi yang akan mengurusi program bantuan hukum pro bono.
Penulis berpendapat, masalah-masalah yang diuraikan di atas yang perlu mendapat prioritas utama oleh Peradi dalam setahun ke depan. Tentu saja masih banyak hal lain yang mesti dilakukan, seperti perlu lebih diberdayakannya website Peradi sebagai wadah komunikasi antar-anggota, para calon advokat, mahasiswa hukum, serta publik secara luas.
Terakhir, penulis termasuk mereka yang memiliki harapan dan kepercayaan bahwa Peradi mampu mengembalikan kewibawaan dan kemuliaan advokat yang telah lama luntur. Namun, tugas berat itu tidak akan tercapai jika Peradi hanya digunakan oleh orang-orang di dalamnya sebagai kendaraan untuk mencapai gol-gol pribadi. Kita tidak ingin Peradi mengulang sejarah kelam ketika selama puluhan tahun organisasi advokat tak mampu berbuat apa-apa kecuali bertikai satu sama lain. Jangan harapkan penegak hukum lain menghormati advokat, jika para advokat saja tidak menjaga keluhuran wibawa profesi mereka sendiri.
(c) Amrie Hakim
No comments:
Post a Comment