Wednesday, April 26, 2006

Dua Tahun UU Advokat: Memperketat Saringan, Meredam Persaingan

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 5/4/05.

Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekadar memikirkannya saja sudah membuat sebal.

“Saya seorang fresh graduate dari universitas swasta di Jakarta, dan sangat kebingungan dengan berita-berita tentang kursus advokat yang termuat di iklan-iklan serta tanggapan yang saya baca pada website ini. Sekarang saya sedang sibuk mencari pekerjaan yang masih berkaitan dengan bidang hukum, namun sangat sulit ditemui khususnya bila fresh graduate yang belum sama sekali punya pengalaman kerja dan belum magang.”
Demikian sebagian isi surat pembaca yang diterima oleh redaksi hukumonline. Bukan pertama kalinya, hukumonline menerima surat pembaca, e-mail ataupun komentar senada dari para sarjana hukum yang kelimpungan mencari pekerjaan. Tidak sedikit dari puluhan atau bahkan ratusan e-mail yang masuk mengeluhkan betapa sulitnya menjadi advokat pasca diundangkannya UU No.18/2003 tentang Advokat pada 5 April dua tahun lalu.

Agaknya tidak ada diantara kita yang tidak setuju bahwa perlu ditetapkan barrier to entry--sebuah pembatasan atau saringan yang ketat bagi orang-orang yang ingin menjadi advokat. Barrier to entry tidak selalu berkonotasi buruk. Betul, harus ada kualifikasi tertentu yang perlu diterapkan demi lahirnya advokat-advokat yang bermutu. Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekedar memikirkannya saja sudah membuat kita sebal.

Dalam titik tertentu, berbagai persyaratan untuk menjadi advokat yang diatur dalam UU No.18/2003 rasanya bisa diterima. Sebab, persyaratan itu adalah rangkaian barrier to entry yang seharusnya ditujukan untuk mencetak advokat-advokat handal. Premis ini diamini oleh pengurus Organisasi Advokat (baca: Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi), advokat-advokat senior, dan juga sebagian besar advokat yang telah mengantungi izin.

Tahapan untuk menjadi advokat*

Tangga menuju officium nobile:

i. Sarjana Hukum/Hukum Islam/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Perguruan Tinggi Hukum Militer dan telah berusia minimal 25 tahun [pasal 2 ayat (1) jo. pasal 3 ayat (1) huruf d];

ii. Mengikuti pendidikan khusus profesi advokat [pasal 2 ayat (1)];

iii. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat [pasal 3 ayat (1) huruf f];

iv. Magang sekurang-kurangnya dua (2) tahun terus menerus pada kantor Advokat [pasal 3 ayat (1) huruf g].

* Urut-urutan tidak mencerminkan tahapan yang sebenarnya yang akan ditetapkan oleh Organisasi Advokat dan semata didasarkan pasal-pasal dalam UU No.18/2003 tentang Advokat.


Untuk persyaratan ujian, tidak ada satu argumen pun yang bisa mematahkan kenyataan akademis maupun empiris pentingnya hal tersebut. Tapi untuk pendidikan khusus dan magang persoalannya menjadi lain. Dua hal tersebut tidak pernah berhenti diperdebatkan bahkan sejak saat pembahasan UU NO.18/2003 di DPR dua tahun silam. Baru sekaranglah, para calon advokat harus menuai badai yang berawal dari angin yang disemai oleh DPR.

Berbeda dengan para calon advokat yang kebingungan menyikapi syarat harus menempuh pendidikan khusus profesi, tidak demikian halnya dengan organisasi advokat. Sebagian besar secara tanggap menangkap ketentuan itu sebagai peluang bisnis. Menjamurnya bisnis pendidikan profesi advokat di berbagai daerah pun tak terbendung. Peradi sekalipun tak berdaya mengendalikan “anak-anak buahnya” di sana-sini yang membuka gerai pendidikan profesi.

Meningkatkan kualitas

Bagaimanapun, seperti disebutkan di atas, advokat-advokat senior yang ada di Peradi menyatakan setuju tanpa syarat soal pentingnya pendidikan khusus advokat. “Kita tidak bermaksud menghalang-halangi orang untuk jadi advokat tetapi tujuannya adalah meningkatkan kualitas daripada advokat itu sendiri,” tegas Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan beberapa waktu lalu.

Anmeddy Darwin, advokat di Jakarta, juga sependapat dengan Otto. Menurutnya, program pendidikan dan magang bukan menghambat calon advokat melainkan memang dibutuhkan untuk proses pendewasaan. Pasalnya, seorang advokat sebelum diangkat harus sudah dewasa dalam menangani perkara. Mereka yang belum pernah magang dan baru tamat fakultas hukum akan melihat dari segi teoritis saja tapi juga aplikasi di lapangan.

Apa yang dikatakan Otto dan Anmeddy sekilas masuk akal dan cukup beralasan. Dari pendapatnya kita bisa simpulkan bahwa mereka sepakat dengan pembuat undang-undang terkait dengan ketentuan soal pendidikan khusus profesi karena tujuannya untuk menciptakan advokat yang berkualitas. Namun, fakta berbicara lain.

Berdasarkan penelusuran hukumonline pada catatan pembahasan RUU Advokat di DPR, diketahui bahwa pendidikan khusus tidak murni dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sarjana hukum yang ingin menjadi advokat. Tapi, lebih ditujukan buat para lulusan Fakultas Syariah/Hukum Islam, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan Perguruan Tinggi Hukum Militer yang ingin terjun sebagai advokat. Ketentuan perlunya pendidikan khusus advokat tidak pernah dibahas secara intens oleh DPR dan pemerintah kecuali pada saat-saat terakhir menjelang RUU Advokat disahkan.

Hal tersebut diperkuat dengan keterangan mantan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Advokat di Komisi II DPR, Hamdan Zoelva. Ia mengatakan pada awalnya, dalam RUU yang diajukan oleh pemerintah tidak mencantumkan adanya kewajiban pendidikan bagi calon anggota advokat. Namun, papar Hamdan, setelah diterimanya rumusan sarjana syariah dan sarjana pendidikan tinggi hukum lainnya untuk menjadi Advokat, ada keinginan untuk mewajibakan mereka agar mengikuti pendidikan tambahan khusus tentang profesi Advokat selama 6 bulan.

“Akan tetapi, setelah melalui perdebatan maka disetujui adanya pendidikan tambahan bagi calon advokat sebelum diangkat menjadi Advokat terhadap seluruh calon advokat (tidak lagi dibatasi pada sarjana di luar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum), dengan pertimbangan bahwa kualitas sarjana yang tidak merata dan perlunya pelajaran tambahan tentang profesi Advokat dan Kode Etik Advokat yang harus dipelajari dan dipahami secara khusus oleh para calon advokat.” (Dikutip dari makalah Hamdan Zoelva, “Undang-Undang Advokat: Beberapa Catatan Perdebatan di DPR”, 22 Mei 2003).

Dari kenyataan sejarah itulah maka Hadi Herdiansyah, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berkesimpulan bahwa hadirnya ketentuan soal pendidikan khusus advokat tidak lebih dari sekadar konsesi politik di DPR. “Ketentuan soal pendidikan khusus advokat merupakan konsesi politik yang seharusnya tidak ada,” ujarnya.

Tak perlu pendidikan

Hadi juga melihat maraknya pihak yang menyelenggarakan pendidikan khusus advokat lebih kepada sebuah perlombaan untuk mendulang laba. Ia berpendapat demikian karena tidak ada koordinasi serta kejelasan mengenai pelaksanaan penyelenggaraan program tersebut oleh sejumlah pihak. Hal itu, menurutnya, sebagai dampak dari ketiadaan sistem yang jelas serta kelambanan Peradi dalam membuat konsep sertifikasi.

Ditambah lagi, sistem di beberapa negara tidak mewajibkan pendidikan khusus profesi sebagai salah satu syarat sahnya menjadi advokat. Di Amerika Serikat, untuk menjadi advokat, seorang lulusan law school cukup mengikuti ujian advokat di negara bagian tempat ia akan berpraktik.

Melalui ujian yang laksanakan oleh organisasi advokat (bar exam) inilah calon advokat diseleksi secara ketat untuk memilah mana yang layak dan yang tidak. Karena itu, bar exam dianggap sebagai sebuah "pertaruhan masa depan" oleh para calon advokat. Persiapan mengikuti ujian pun biasanya dilakukan dengan sangat serius. (Lihat: Ujian Pengacara di Amerika Bisa Bikin Jantungan)

Sejatinya, di negara Paman Sam tidak diperlukan pendidikan khusus untuk menjadi seorang advokat. Jika calon pengacara merasa perlu mendapat pendidikan khusus agar dapat lulus ujian, maka ia bisa mengikuti bimbingan tes yang banyak diselenggarakan. Namun, perlu diingat bahwa Fakultas Hukum atau Law School di AS merupakan pendidikan graduate (S2).

Di Australia, persyaratan untuk menjadi solicitor berbeda dengan persyaratan untuk menjadi barrister atau advocate. Untuk menjadi solicitor, setelah lulus S1, mereka harus mengikuti pendidikan (Professional Legal Training) yang terdiri dari pendidikan teori selama 15 minggu dan bekerja di kantor hukum yang mereka tentukan sendiri selama 70 hari. Setelah itu, mereka akan mendapat sertifikat praktek dari Law Society.

Untuk menjadi barrister, seorang lulusan S1 harus menjalani program tutorial dengan seorang barrister tertentu yang memenuhi syarat selama 12 bulan. Setelah itu, mereka harus mengikuti bar exam, baru kemudian bisa berpraktek sebagai barrister. Dalam kenyataannya, sangat jarang lulusan S1 yang langsung menjadi barrister. Biasanya mereka menjadi solicitor dahulu, baru kemudian menjalani program tutorial dan mengikuti ujian untuk menjadi barrister.

Untuk urusan magang, di beberapa negara juga menerapkan sistem yang kurang lebih sama dengan di Indonesia. Menurut penelitian yang pernah dilakukan PSHK, Hadi mengatakan bahwa aturan di Belanda mewajibkan magang bagi para calon advokat. Demikian pula dengan Singapura, meski penerapannya tidak sama persis dengan yang diterapkan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan magang ini, dia kembali menyayangkan kelambanan Peradi dalam menyusun mekanisme magang bagi calon advokat.

Tidak ada kejelasan

Ketentuan magang juga bukan soal yang mudah untuk dirumuskan oleh Peradi. Bagaimana tidak, Peradi tidak hanya harus memikirkan aturan magang bagi mereka yang murni fresh graduate, tapi juga buat orang-orang yang selama ini sudah bekerja di lawfirm. Hadi melihat bahwa persoalan tersebut tidak boleh dianggap sepele dan tidak bisa diregulasi secara serampangan.

Di mata Hadi ada tiga hal besar yang harus dipertimbangkan secara matang terkait ketentuan magang bagi calon advokat. Pertama, kriteria dari kantor advokat tempat magang; kedua, materi yang akan diberikan kepada calon advokat selama magang; ketiga; daya tampung dari tiap-tiap kantor advokat yang dihubungkan dengan ketersediaan kantor-kantor advokat di berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk yang pertama, Hadi mengatakan bahwa Organisasi Advokat harus memilih kantor-kantor hukum berkualitas untuk dijadikan tempat magang. Sehingga, tujuan dari magang pun bisa dicapai yaitu menciptakan advokat berkualitas.

Untuk materi magang, tambahnya, calon advokat hendaknya mendapat pengalaman terlibat dalam kasus litigasi dan juga non-litigasi. Untuk yang terakhir, Organisasi Advokat harus betul-betul memikirkan bagaimana pelaksanaan magang di wilayah-wilayah yang memiliki sedikit kantor advokat.

Sayangnya, dua tahun telah berlalu tanpa ada kejelasan baik itu soal ujian advokat, pendidikan khusus, serta magang. “Organisasi Advokat telah gagal menjalankan tugasnya dalam dua tahun masa transisinya,” nilai Hadi. Ia sangat menyayangkan bahwa KKAI dahulu justru memprioritaskan kebijakan pemutihan advokat (daftar ulang advokat) yang notabene demi kepentingan mereka yang telah mengantongi izin, dibandingkan memperjuangkan nasib para calon advokat.

Jika pada waktu-waktu yang lalu masyarakat kerap melihat bagaimana para advokat bertarung satu sama lain demi memperebutkan kedudukan demi ego pribadi atau kelompok masing-masing. Sebuah pertarungan yang akhirnya memecah-belah advokat Indonesia. Kini, masyarakat barangkali sangat menantikan para advokat senior kembali “bertarung” bukan untuk berebut kedudukan melainkan demi memperjuangkan kepentingan para calon advokat di Indonesia.

Para calon advokat juga tidak harus tinggal diam berharap Peradi akan cukup tanggap terhadap aspirasi mereka. Cerita sukses judicial review yang diajukan dosen-dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terhadap UU Advokat di penghujung 2004 barangkali bisa dijadikan contoh. Satu pasal UU Advokat telah rontok di lantai Mahkamah Konstitusi. Bukan mustahil, jika suatu hari satu atau lebih pasal lainnya yang dianggap melanggar hak-hak calon advokat juga dicoba untuk diuji di hadapan para hakim konstitusi. Fiat iustica ruat coelum!

(Amr/Nay)

No comments: