Dimuat pula di www.hukumonline.com, 10/6/05
Polemik di tubuh anggota dan pengurus Peradi mengenai kartu tanda pengenal advokat (KTPA) masih belum usai. Pengurus AKHI atas desakan anggotanya sedang mendiskusikan soal kemungkinan dikeluarkannya kartu tanda pengenal atau identitas khusus bagi advokat yang tidak berlitigasi di pengadilan.
Sebagian besar pengurus Peradi menganggap masalah yang berkaitan dengan KTPA ini sudah tutup buku. Seluruhnya telah disepakati oleh wakil delapan organisasi advokat yang dahulu tergabungdalam wadah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).
Namun, sebagian besar advokat yang bergabung di dalam AKHI dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) harus bersedia menerima perlakuan yang berbeda, sedikit atau banyak, dengan rekan-rekan mereka di enam organisasi lainnya. Pasalnya, anggota dari kedua organisasi tersebut yang sebelum lahirnya UU No.18/2003 tentang Advokat dikenal dengan konsultan hukum harus puas tidak mendapatkan KTPA dari KKAI. Sementara, advokat-advokat dari enam organisasi lain telah mengantongi KTPA.
Pengurus KKAI yang kini berganti baju menjadi Peradi menjelaskan, selain karena kesepakatan antara pengurus KKAI dulu, konsultan hukum juga dinilai tidak berhak untuk mendapatkan KTPA. Sebab, kata pengurus Peradi, KTPA dikeluarkan hanya bagi advokat litigasi yang dahulu disebut pengacara praktik atau advokat atau penasehat hukum, sebagai pengganti kartu tanda pengenal mereka yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan tinggi.
Yang menjadi persoalan, baik advokat “litigasi” dan “non-litigasi” sama-sama terdaftar di buku daftar umum advokat dari Peradi. Buku ini, sesuai perintah UU Advokat, juga disimpan di Mahkamah Agung dan kantor Menteri Hukum dan HAM. Jadi, kalau KTPA diibaratkan dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), tidak semua orang yang tercantum buku tanah dikeluarkan sertifikatnya.
Meski demikian, pengurus Peradi menolak jika pembedaan perlakuan dalam soal pemberian KTPA itu dianggap sebagai diskriminasi terhadap konsultan hukum. Itu, menurut Peradi, merupakan harga dari sebuah kompromi. Toh, UU Advokat juga dilahirkan dengan segudang kompromi politik antara sesama anggota DPR atau antara DPR dengan pemerintah. Begitu hemat pengurus Peradi.
Masalah KTPA tidak terlepas dari kebijakan pimpinan KKAI untuk melakukan registrasi ulang dan verifikasi terhadap seluruh advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum se-Indonesia mulai Juni 2003. Yang diverifikasi kala itu adalah bukti-bukti formal advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU No.18/2003 mulai berlaku.
KKAI mendasarkan kebijakannya kala itu pada Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UU No.18/2003. Selesainya proses yang memakan waktu nyaris setahun ditandai dengan dikeluarkannya SK No.01/KKAI-KEP/III/2004 tentang Advokat yang Telah Memenuhi Persyaratan Pendaftaran dan Verifikasi Advokat Indonesia tertanggal 30 Maret 2004.
Adapun hal penting yang tercantum di dalam surat tersebut adalah tentang penetapan nama-nama orang yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi advokat. Selengkapnya isi surat tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut:
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
1. Nama-nama tersebut dalam daftar terlampir telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi advokat, dan karena itu menyatakan masing-masing mereka sebagai Advokat berdasarkan Undang-undang nomor 18 tahun 2003 dengan wilayah kerja meliputi wilayah negara Republik Indonesia.
2. Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini akan dilakukan perubahan sebagaimana mestinya.
Di dalam SK KKAI No.01/KKAI-KEP/III/2004 tersebut sama sekali tidak disebutkan apapun tentang kartu tanda pengenal. Hal ini bisa dipahami karena: Pertama, sesuai UU Advokat, tujuan pendaftaran ulang dan verifikasi adalah demi menyusun buku daftar anggota. Kedua, tidak ada satu pun pasal di dalam UU Advokat yang menyebutkan tentang kartu tanda pengenal.
Perebutan lahan
Mantan anggota tim verifikasi KKAI Ahmad Fikri Assegaf mengemukakan bahwa telah disepakati mereka yang telah lolos verifikasi yang akan mendapatkan KTPA. Namun, Fikri yang tidak mengetahui bagaimana kesepakatan para pengurus KKAI selanjutnya, mendapatkan fakta bahwa para konsultan hukum anggota AKHI/HKHPM tidak memperoleh KTPA. Padahal, mereka termasuk diantara belasan ribu orang yang dinyatakan lolos verifikasi dan dianggap telah memenuhi syarat sebagai advokat.
Lalu, kenapa KKAI tidak mengeluarkan KTPA bagi para konsultan hukum yang waktu itu sudah sah sebagai advokat yang wilayah kerjanya meliputi wilayah negara RI tanpa kecuali? Seperti telah dipaparkan di bagian awal tulisan ini, KTPA ternyata barang eksklusif diperuntukkan bagi advokat litigasi.
Perlu ditekankan kembali bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan kolektif seluruh pimpinan delapan organisasi advokat yang bernaung di dalam KKAI waktu itu. Mereka adalah Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI. Jawaban itulah dalam beberapa kesempatan ditegaskan kembali oleh sejumlah pengurus Peradi diantaranya Sekjen Harry Ponto, dan salah satu Ketua Peradi Soemarjono.
Apa yang mereka tidak diungkapkan secara eksplisit adalah suasana yang melatarbelakangi kesepakatan tersebut. Bahwa tidak diberikannya KTPA secara merata kepada seluruh advokat yang telah lolos verifikasi bertujuan agar kartu itu tidak dipakai oleh advokat yang dahulunya adalah konsultan hukum untuk beracara di pengadilan. “Waktu itu, saya melihat bahwa hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membatasi agar konsultan hukum tetap tidak bisa beracara di pengadilan,” Fikri membeberkan.
Ditambah lagi, ada kekhawatiran pada salah satu pihak. Kalangan advokat litigasi agaknya tidak lapang dada menerima kenyataan para konsultan hukum yang tidak pernah memiliki SKPT kemudian diberikan KTPA yang bisa digunakan untuk beracara di muka hakim. Ini berarti menambah ketat persaingan di lahan litigasi. Padahal, lantaran proses pemutihan KKAI juga, pengacara syariah yang dahulu hanya dapat beracara di pengadilan agama kini mulai bisa mencari nafkah pula di pengadilan umum.
Sebelumnya, tidak pernah dibicarakan soal penerbitan kartu khusus bagi konsultan hukum. Wacana itu baru muncul belakangan ini setelah para anggota AKHI/HKHPM mengeluh mengenai ketiadaan KTPA yang menghambat mereka dalam menjalankan profesi sebagai advokat.
Tapi, dugaan bahwa tidak diberikannya KTPA kepada anggota AKHI/HKHPM yang tidak mengantungi SKPT bertujuan untuk mencegah mereka masuk ke ladangnya advokat litigasi itu langsung dibantah oleh Harry. “Apa yang mau dicegah kalau memang orang tidak punya otorisasi untuk berlitigasi atau tidak punya kompetensi untuk berlitigasi?” ucapnya.
Harry ada benarnya. Tapi seharusnya isu otorisasi dan kompetensi itu juga diterapkan kepada pengacara praktik yang dulunya cuma bermodal SKPT (bukan punya SK Menteri Kehakiman sebagai advokat) dan pengacara syariah yang hanya berpraktik di pengadilan agama. Apalagi, sudah diputuskan sendiri oleh KKAI bahwa siapapun yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi memiliki wilayah kerja di seluruh Indonesia.
Tidak ada diskriminasi
Dari perspektif lain, patut pula dipertanyakan kegigihan utusan AKHI dan HKHPM saat bernegosiasi soal KTPA. Sebab semestinya, posisi tawar kedua organisasi ini tidak kalah kuat dibandingkan enam organisasi lainnya. Problem atau pun implikasi yang mungkin terbit lantaran ketiadaan KTPA bagi para anggota kedua organisasi itu rupanya tidak dikalkulasi secara serius.
Para konsultan hukum senior yang menjadi pengurus AKHI hanya berpikir bahwa selama mereka tetap diperkenankan oleh kalangan litigasi untuk dapat bekerja seperti biasanya, itu sudah lebih dari cukup.
Usut punya usut, ternyata garis politik seperti itu dikarenakan pemahaman pengurus AKHI maupun HKHPM terhadap UU Advokat. “Undang-undang (Advokat, red) itu masih mengakui adanya dua (dikotomi) litigasi dan non litigasi. Law maker masih membedakan karena saya masuk ke sana. Kemudian tidak dipertajam perbedaan itu supaya lebih ada harmonisasi lah,” ungkap sekjen AKHI Hoesein Wiriadinata.
Singkatnya, menurut pemahaman Hoesein, tidak ada yang berubah antara sebelum dan sesudah UU No.18/2003 diundangkan. Baginya, tetap ada dikotomi profesi hukum di Indonesia yaitu advokat litigasi dan non-litigasi. Hoesein memang tidak menyebutkan pasal dalam UU No.18/2003 yang mana yang ia pakai untuk menyandarkan pendapatnya itu.
Mantan Ketua Panitia Kerja RUU Advokat Komisi II DPR Hamdan Zoelva membantah semua pendapat Hoesein seperti di atas. “Advokat yang dimaksudkan di Undang-undang itu adalah seluruhnya, apakah dia litigasi maupun non litigasi,” tegasnya. Singkatnya, menurut Hamdan, di dalam UU Advokat tidak ada lagi diskriminasi mengenai advokat litigasi dan non litigasi.
Di mata Hamdan, diskriminasi terhadap advokat non litigasi yang berlangsung saat ini adalah semata-mata urusan perebutan lahan rezeki. Pemberian KTPA bagi anggota AKHI dan HKHPM sama saja memberikan cangkul buat para konsultan hukum untuk dapat menggarap di lahannya rekan-rekan advokat litigasi.
Memang, Hoesein dan beberapa konsultan hukum senior lainnya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak tertarik untuk mencari uang di jalur litigasi. Tapi, apakah mereka berbicara untuk seluruh konsultan hukum yang menjadi anggota AKHI atau HKHPM?Belum tentu. Buktinya, tidak sedikit advokat AKHI yang kini mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia demi mendapat “izin berlitigasi”.
Belakangan, pengurus AKHI mengirimkan surat kepada seluruh anggotanya yang isinya menerangkan bahwa mereka adalah “advokat non litigasi” yang terdaftar di Peradi. Tapi, salah seorang advokat AKHI berpandangan bahwa surat keterangan itu hanya menyelesaikan masalah administrasi dan bukan masalah intinya. “Kalau orang ingin ke pengadilan boleh nggak? Orang-orang yang transisi ini ke depannya bagaimana, apakah ikut pendidikan yang bareng calon advokat atau ada semacam penyamaan di dalam Peradi sendiri?” ujar Abdul Haris M. Roem dari kantor Lubis Ganie Surowidjojo.
Tentang hal ini, Peradi tampaknya tidak pernah terpikir untuk mengatur pendidikan khusus bagi calon advokat yang sudah advokat atau, setidak-tidaknya, setengah advokat. “Kalau advokat non litigasi sekarang mau litigasi, ya dibicarakan bagaimana prosedurnya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa mereka harus mengikuti pendidikan khusus advokat karena belum pernah diputuskan. Bahkan, dibicarakan saja belum,” kata Harry.
Bagi sebagian petinggi Peradi solusi termudah terhadap persoalan ini adalah dengan menerbitkan KTPA spesial bagi advokat non litigasi seperti yang diinginkan pengurus AKHI. Pengurus AKHI juga telah menegaskan bahwa bagi anggotanya yang ingin litigasi maka mereka harus mengikuti pendidikan khusus advokat dan lulus ujian Peradi. Hal ini menarik karena pengurus AKHI sudah membuat aturan yang bahkan pengurus Peradi pun belum memutuskannya.
No comments:
Post a Comment