Dimuat pula di www.hukumonline.com, 21/12/04
‘Awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit’
Senin 13/12/2004, tiga orang hakim Mahkamah Konstitusi mengutip pepatah Melayu di atas sebagai penutup pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan yang menyatakan tidak berlakunya pasal 31 UU No.18/2003 tentang Advokat. Ketiga hakim itu–-Laica Marzuki, Ahmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan--juga menyitir pepatah lain: “buruk rupa cermin dibelah”.
Tidak jelas benar kepada siapa pepatah-pepatah itu ditujukan. Namun yang pasti, Tongat, sebagai pemohon pengujian pasal 31 UU No.18/2003 toh tetap tersenyum puas ketika enam hakim konstitusi lainnya mengabulkan permohonannya. Tongat adalah dosen sekaligus Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang.
Pasal 31 UU No.18/2003: Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal UUD 1945 yang dilanggar:
Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dissenting opinion tiga hakim konstitusi antara lain menyatakan pasal 31 UU No.18/2003 memang dibuat guna melindungi profesi advokat. Sepintas, ketiga hakim konstitusi mengakui, pasal tersebut seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat.
“Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP,” demikian pendapat dari tiga hakim konstitusi.
Ketiga hakim konstitusi juga menyebut pemohon “tendensius” dan “berburuk sangka” karena mendalilkan bahwa munculnya ketentuan pasal 31 UU No.18/2003 dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki advokat. Pasalnya, tudingan yang demikian terbukti tidak terekam di dalam hasil pembahasan RUU Advokat di DPR.
Putusan Mahkamah Konstitusi pasal 31 UU No.18/2003 seakan menjadi gong dimulainya “pertarungan” antara advokat dengan dosen (praktisi LKPH/LBH kampus). Kesan demikian dapat dilihat dari komentar advokat senior yang juga Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang, “Kalau dosen ya dosenlah jangan nyampurin (profesi advokat).”
Advokat liar
Diamputasinya pasal 31 UU No.18/2003 jelas bukan kabar baik bagi pihak yang pernah membidani lahirnya undang-undang tersebut. Hamdan Zoelva, mantan Ketua Panitia Kerja Komisi II DPR tentang RUU Advokat, meyakini putusan Mahkamah Konstitusi akan membawa kerugian bagi masyarakat, tak hanya advokat. “Putusan ini bisa menimbulkan banyak advokat liar,” katanya.
Hamdan menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut keberlakuan pasal 31 UU No.18/2003 salah alamat. Sebab, pasal tersebut bukan dirancang untuk membidik para pekerja LBH/LKBH di fakultas-fakultas hukum yang kebanyakan memberikan bantuan hukum pro bono. Menurutnya, kegiatan bantuan hukum yang dilakukan LBH/LKBH sengaja tidak diatur dalam UU No.18/2003 karena akan diatur dalam Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
Sejauh ini, hukumonline memang belum mengetahui keberadaan RUU tentang Bantuan Hukum yang disebutkan Hamdan, baik yang disusun oleh DPR ataupun pemerintah. Namun, pemerintah (Departemen Hukum dan HAM, red) saat ini memang sedang menggodok peraturan soal bantuan hukum. Tapi bentuknya bukanlah undang-undang, melainkan peraturan pemerintah.
Tapi, okelah, toh Hamdan mengatakan pula bahwa ide untuk mengecualikan pengaturan soal LBH dari UU No.18/2003 saat pembahasan di DPR datang dari sesepuh dunia advokat sendiri, yaitu Adnan Buyung Nasution. Hamdan yang juga advokat menegaskan, pasal 31 UU No.18/2003 memang hadir untuk melindungi masyarakat dari advokat ilegal--orang yang sebenarnya bukan advokat namun mengaku-ngaku sebagai advokat.
Berbicara soal perlindungan bagi masyarakat dan profesi advokat, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan pasal 31 harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan.
Kendati Mahkamah Konstitusi tak merinci pasal mana di dalam KUHP yang dapat “menggantikan” fungsi perlindungan yang sebelumnya diakomodasi pasal 31 UU No.18/2003, hal demikian toh diamini oleh kalangan advokat. Humphrey Djemat, advokat dari kantor hukum Gani Djemat berpendapat pasal tentang tindak pidana penipuan dalam KUHP “mungkin” bisa dipakai untuk menjerat advokat gadungan.
Ketua DPC AAI DKI Jakarta ini mengatakan bahwa pasal penipuan dapat diterapkan untuk pengacara gadungan karena orang tersebut telah menipu masyarakat dengan menyatakan dirinya sebagai advokat. “(Padahal) sarjana hukum pun nggak. Ekstrimnya begitu, itu sudah suatu bentuk penipuan,” tukasnya. Masuk ke dalam kategori ekstrim ini yaitu mereka yang disebut pokrol bambu.
Sebaliknya, Dr. Rudi Satriyo Mukantarjo, pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tidak sependapat dengan Humphrey. “Tindak pidana pemberian bantuan hukum nggak ada persoalan dengan penipuan,” tandasnya.
Kepercayaan
Lebih jauh Rudy menjelaskan bahwa dalam penipuan yang diatur dalam pasal 378 KUHP, ada unsur yang diserahkan yaitu benda/barang, yang dalam penafsirannya termasuk juga uang. Dalam kasus tindak pidana pemberian bantuan hukum (yang dilakukan bukan oleh advokat yang mengantungi izin), menurut Rudi, yang diserahkan oleh klien bukanlah benda/barang, melainkan “kepercayaan untuk mengurus perkara”.
“Saya tidak berani memperluas pengertian barang/benda dengan kepercayaan untuk menangani perkara. Kecuali, kalau kemudian sudah ada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (bahwa) termasuk di dalam hal ini adalah barang/benda adalah pekerjaan untuk melakukan sesuatu. Itu baru bisa dinamakan sebagai persoalan penipuan,” terang Rudi.
Terlepas dari itu, Humphrey tetap yakin bahwa minus sanksi pidana bagi advokat liar, kewenangan Organisasi Advokat tidak akan terpengaruh. Dalam arti, Organisasi Advokat tetap mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan advokat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal di dalam UU No.18/2003.
Kata “advokat”, menurut Humphrey, identik dengan keanggotaan seseorang pada Organisasi Advokat. Praktis, meski seseorang telah mengantungi izin praktek dari pengadilan tinggi (SKPT) ataupun Menteri Kehakiman (SK Menkeh) tapi belum terdaftar sebagai anggota Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), maka yang bersangkutan belum bisa disebut sebagai Advokat. Begitu argumentasi Humphrey.
Pandangan demikianlah yang menurut Humprey tidak akan terpengaruh dengan “vonis mati” terhadap pasal 31 UU No.18/2003. “Sekarang kira-kira ada seribu orang dari Jakarta yang mendaftarkan di KKAI. Ini pendaftar-pendaftar baru, 3/4 –nya dari AAI Jakarta. Artinya, semakin orang melihat begitu pentingnya masuk Organisasi Advokat untuk mendapat pengakuan sebagai advokat,” jelasnya.
Pendapat bahwa Organisasi Advokat tidak akan terpengaruh oleh hapusnya sanksi pidana di dalam UU No.18/2003 disanggah oleh Hadi Herdiansyah, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Mandulnya pasal 31 UU No.18/2003, menurut Hadi, akan membuat keanggotaan di Organisasi Advokat yang semula bersifat wajib (mandatory membership) menjadi sukarela (voluntary membership).
“Mereka akan menjadi anggota Organisasi Advokat ketika mereka merasa ada manfaat yang akan didapat dari keanggotaaan tersebut. Berbeda dengan sebelum dicabutnya pasal 31 dimana setiap orang yang ingin berpraktek menjadi advokat, litigasi maupun non litigasi, wajib memiliki izin praktek yang dikeluarkan oleh Organisasi Advokat karena kalau tidak mereka akan dikenakan sanksi pidana yang diatur pasal 31,” papar Hadi.
Dilema
Lalu, bagaimana pendapat calon advokat sendiri mengenai masalah ini? Johannes Sahetapy, konsultan hukum pada kantor hukum Soewito Suhardiman Eddymurthi Kardono, mengatakan ia akan tetap berusaha mendapatkan izin advokat kendati ancaman pidana kini tinggal sejarah. Baginya, sepak terjang konsultan hukum dalam perkembangannya tidak dapat dipisahkan dengan litigasi.
Hal senada juga dituturkan oleh Tri Janita, associate pada kantor hukum Maiyasyak Rahardjo and Partners. Di matanya, kartu advokat merupakan suatu kelengkapan profesionalitas dalam profesi ini. Tri yang lebih banyak bekerja di bidang non litigasi, mengaku belum pernah mendampingi klien secara langsung di pengadilan. Sejauh ini dia hanya mendampingi klien dalam tahap penyidikan.
Pandangan yang boleh disebut “netral” tentang lumpuhnya pasal 31 UU No.18/2003 datang dari Dorma H. Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI). Di satu sisi, ia menganggap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 menguntungkan bagi para aktivis pembela HAM/pengacara publik di tanah air. Tapi di sisi lain, ia juga cemas bahwa kekosongan sanksi pidana di dalam UU No.18/2003 akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya niat buruk.
“Dilematisnya disitu, makanya seharusnya menurut kami dari APHI secepatnya dilakukan legislative review terhadap pasal 31 ini. Jangan juga pasal 31 ini menjadi satu hal yang terkatung-katung, kita harus segera membuat perbaikan pasal terhadap pasal 31 sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan tidak ada juga pihak-pihak yang mengambil kesempatan dari (ketiadaan) pasal 31 ini,” ujar Dorma yang juga pernah mengajukan judicial review UU No.18/2003.
Legislative review, atau lebih luas lagi, amandemen terhadap UU No.18/2003 tak dapat dipungkiri menjadi wacana yang semakin relevan pasca dinyatakan tidak berlakunya pasal 31 oleh Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi, Rudi berpendapat bahwa saat ini tidak ada satupun ketentuan hukum di dalam KUHP yang dapat dipakai untuk menjerat advokat ilegal.
Meski menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi, namun Rudi tetap beranggapan perlu ada suatu aturan mengenai pihak mana saja yang dapat mendapatkan bantuan hukum pro bono dari LBH/LKBH kampus. Pendeknya, ia menginginkan agar hanya mereka yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi sajalah yang berhak mendapatkan layanan hukum cuma-cuma dari LBH/LKPH.
Secara lebih gamblang, Rudi yang juga praktisi di Lembaga Konsultasi dan bantuan Hukum (LKBH) FHUI mengatakan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal 31 UU No.18/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak ada lagi halangan bagi LBH/LKBH kampus untuk berkompetisi dengan kantor-kantor hukum (law firm) komersial. Menurutnya, kegiatan demikian kini dimungkinkan karena status UI sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
“Untuk model UI yang sudah BHMN dan mempunyai kualitas memberikan bantuan hukum yang profesional, ya kita bersaing sajalah dengan kantor-kantor pengacara yang ada. Nggak boleh ada suatu pembatasan. Karena bicara soal UI dan beberapa perguruan tinggi negeri yang sudah dalam posisi sebagai BHMN mempunyai kewenangan untuk mencari profit demi keberlangsungan pendidikan yang lebih baik,” tegas Rudi.
Menarik pula untuk dicermati bahwa khusus untuk dosen PTN, UU No.18/2003 memuat pembatasan yang tidak disentuh oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf c. Pasal ini melarang mereka yang berstatus pegawai negeri sipil atau pejabat negara untuk dapat diangkat sebagai advokat. Di lain pihak, pasal ini tentu saja bukanlah momok buat Tongat serta dosen-dosen PTS lain di Indonesia.
Terlepas dari yang disampaikan Rudi, dalam dissenting opinion-nya tiga hakim konstitusi menyatakan bahwa setiap profesi seharusnya dituntut untuk bekerja profesional di bidangnya masing-masing. Advokat hendaknya bekerja profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan tidak berdwifungsi. Demikian antara lain bunyi dissenting opinion tiga hakim konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 31 UU No.18/2003 tentu bukanlah akhir dari episode “tarian” dosen vis a vis advokat, tapi merupakan awal. Dan yang penting bukanlah bagaimana cerita itu akan berakhir, namun bagaimana ia akan bergulir. Satu lagi pekerjaan rumah menunggu untuk dituntaskan oleh Organisasi Advokat.
(Amr/CR)
1 comment:
siapa pun anda,saya yakin anda adalah seorang yang baik.
saya adalah seorang putri dari seseorang yang divonis mati akibat ketidakadilan.
dimana hukum dapat dibeli oleh orang2 yang memiliki kesempatan.
saya tidak mau kehilangan ayah saya..
dengan sangat,saya mohon bantuan anda dengan memberikan daftar pengacara2 yang mau memberikan jasanya secara cuma2.
tolong hubungi saya di ameliarenaldi@yahoo.com
tolong secepatnya..
terima kasih yg sebesar2nya atas perhatian & bantuan anda.
Post a Comment