Seorang pengacara harus membela seorang pendeta pengusir setan yang dituduh menjadi penyebab matinya seorang gadis belia. Bagaimana dia harus membela seseorang yang mewakili Tuhan yang dia sendiri tidak percaya akan eksistensinya?
Erin Bruner adalah seorang pengacara litigasi yang karirnya sedang meroket. Dia merupakan pengacara andal dan pekerja keras. Karena itu, tidak aneh jika sang bos, Karl Gunderson, ingin mempromosikan Bruner untuk menjadi senior partner di kantor hukum yang ia pimpin.
Sebelum melakukan itu, Gunderson ingin menguji keandalan Bruner sebagai pengacara. Erin yang baru saja memenangkan kasus besar, disodorkan sebuah kasus yang unik, jika tidak ingin dikatakan ganjil. Kasus itu menyangkut seorang pendeta bernama Richard Moore yang dituding melenyapkan nyawa seorang gadis dalam sebuah ritual pengusiran setan (exorcism).
Sebagai pengacara litigasi yang tidak hanya cerdas namun juga ambisius, Bruner menerima kasus itu tanpa banyak diskusi. Kesan pertama Bruner akan kasus barunya itu tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus pidana lain yang sebelumnya ia tangani. Tanpa disadari, dia baru saja menerima sebuah kasus yang tidak hanya bisa membuat ambisinya untuk menjadi senior partner melayang, tapi juga seluruh karir hukumnya jadi abu.
Demikian potongan kisah yang terdapat dalam film “The Exorcism of Emily Rose” yang tengah diputar di bioskop-bioskop. Film yang didasarkan pada kisah nyata ini memang bukanlah film horor biasa. Film ini juga berbeda dengan film-film dengan tema sejenis yang telah banyak dirilis sebelumnya, terutama yang sangat fenomenal yaitu “The Exorcist” di tahun 70an.
Berbeda dengan film horor pada umumnya, hampir separuh film dihabiskan di ruang sidang. Ya, “The Exorcism of Emily Rose” adalah film mengenai proses persidangan terhadap seorang exorcist (Tom Wilkinson) yang dituding karena kelalaiannya telah menyebabkan matinya Emily Rose (Jennifer Carpenter). Tokoh Bruner sendiri, yang juga tokoh sentral dalam film ini, diperankan oleh aktris Laura Linney.
Terjadi dialog yang menarik saat pertemuan pertama antara Bruner dengan Moore di sel tahanan. Moore pada awalnya berkeras menolak diwakili oleh Bruner. Pasalnya, selain bukan penganut Katolik yang taat, Bruner juga seorang agnostik -- tidak percaya Tuhan. Moore menyangka Bruner hanyalah pengacara lain yang haus akan publisitas. Tapi kemudian Bruner menjawab, “I’m here to make senior partner at my firm”.
Sang pendeta akhirnya mau didampingi oleh pengacara cantik itu dengan syarat dia tidak mau menerima tawaran mengenai hukuman yang disodorkan penuntut umum Ethan Thomas (Campbel Scott). Moore mengatakan bahwa dia tidak bersalah dan dia ingin masyarakat mengetahui apa yang sejatinya terjadi pada diri Emily Rose.
Kisah pun kemudian bergulir ke ruang sidang Crescent County Courthouse. Ada dua hal yang hendak dibuktikan dalam persidangan itu yaitu apa penyebab kematian Emily Rose, gadis berusia 19 tahun, dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Penuntut umum berusaha meyakinkan juri bahwa apa yang menimpa Emily Rose bukanlah kerasukan setan, tetapi kelainan jiwa dan epilepsi. Menurutnya, Emily tewas karena Moore memerintahkan Emily untuk meninggalkan terapi medis yang sempat dia jalani. Hal itu diperkuat, antara lain, oleh kesaksian dokter forensik yang mengotopsi jasad Emily.
Sementara, pihak terdakwa berargumen bahwa Emily Rose kerasukan setan dan ritual pengusiran setan adalah terapi yang paling jitu untuk menyembuhkan Emily. Tentu tidak mudah bagi Bruner untuk membuktikan hal yang bagi kebanyakan orang tidak rasional itu. Mencari saksi serta bukti-bukti untuk menguatkan argumentasi itu menjadi kisah tersendiri dalam film ini.
Bruner sempat bimbang ketika atasannya mengancam akan memecatnya jika dia tetap membiarkan Moore memberi kesaksian untuk kedua kalinya. Pasalnya, pada kesempatan pertama, kesaksian sang pendeta dibantai habis-habisan oleh penuntut umum. Padahal, di sisi lain, dia telah berjanji akan memberikan kesempatan Moore untuk mengungkapkan apa yang dialami Emily Rose. Bruner akhirnya mengambil keputusan yang tidak akan pernah dia sesali sepanjang hidupnya.
Adegan-adegan mencekam ketika Emily Rose dikuasai iblis hadir sebagai kilas mundur di saat para saksi, termasuk Moore, membeberkan keterangan di muka sidang. Puncaknya adalah waktu Moore memimpin “Rituale Romanum” untuk mengenyahkan iblis-iblis yang merasuki jiwa dan raga Emily. Upacara itu gagal dan Emily meninggal beberapa hari kemudian.
Sebagai film yang menyuguhkan drama persidangan, film ini belum dapat menyamai “A Few Good Men” atau “The Rainmaker” misalnya. Sementara, film ini juga tidak terlalu menegangkan sebagai film horor. Karena itu, poster film ini boleh jadi “menyesatkan” para penonton yang mengharapkan film horor yang dapat membuat “sport” jantung.
Namun, pada sisi lain, film ini membawa pesan religius yang kuat, terutama bagi para pemeluk Katolik. Di bagian akhir film ini akan diungkapkan alasan mengapa Emily Rose, seorang penganut iman Katolik yang taat, dapat dirasuki roh-roh jahat. “The Exorcism of Emily Rose” ingin menyampaikan bahwa eksistensi setan adalah salah satu tanda akan kehadiran Tuhan.
hak © ipta: amrie
No comments:
Post a Comment