Thursday, March 13, 2008

puncak dari puncak kefasihan


Tidakkah kalian rela, wahai orang-orang Anshar, untuk melihat orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? ~ Muhammad saw

Ucapan-ucapan Rasulullah, baik yang ringkas (jawami al-kalim) maupun yang panjang (orasi), tidak sekadar indah dan sarat makna, tapi juga mampu menghujam dalam ke relung hati setiap pendengarnya (dan pembacanya). Kefasihan dalam berkata-kata adalah salah satu anugerah yang Allah berikan kepada Rasulullah.

Salah satu orasi Rasulullah yang paling mengagumkan dan sedemikian rupa menunjukkan kehalusan perasaan beliau adalah yang disampaikan usai pembagian harta rampasan kaum Hawazin. Orasi beliau saat itu sanggup membuat para pejuang Islam dari kaum Anshar yang gagah berani bagai singa di medan Perang Hunain, berurai air mata hingga basah jenggot-jenggot mereka.

Rasulullah menyampaikan orasi tersebut di saat pasukan muslimin terancam fitnah (bencana) besar yaitu perpecahan. Fitnah ini bermula dari kemarahan kaum Anshar atas pembagian harta rampasan perang yang menurut mereka tidak adil. Rasulullah saat itu memberikan seluruh rampasan perang kepada suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya, tapi tidak sedikitpun kepada kaum Anshar Madinah.

Kaum Anshar melihat sikap (kebijakan) Rasulullah dalam hal pembagian harta rampasan sebagai keberpihakan beliau kepada kaumnya sendiri (Rasulullah adalah seorang Quraisy Mekkah), dan pertanda beliau meninggalkan kaum Anshar. Padahal, kebijakan tersebut diambil Nabi demi mengambil hati para muallaf (yang perlu dihibur hatinya) Quraisy.

Saad bin Ubada, seorang pemuka Anshar, kemudian menghadap Rasulullah dan menyampaikan kekecewaan mereka. Setelah mendengar apa yang dikatakan Saad, Rasulullah kemudian memintanya untuk mengumpulkan kaum Anshar di satu tempat. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah memulai pidatonya:

Rasulullah: Wahai kaum Anshar. Aku telah mendengar perkatan kalian yang menunjukkan di dalam diri kalian ada perasaan jengkel. Bukankah aku telah mendatangimu ketika kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian? Dan kalian dalam kemiskinan lalu Allah membuat kalian kaya? Dan kalian dalam keadaan bermusuh-musuhan lalu Allah menyatukan hati kalian?

Kaum Anshar: Benar, wahai Rasulullah. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.

Rasulullah: Mengapa kalian tidak menjawabku, wahai orang-orang Anshar?

Kaum Anshar: Dengan apa kami menjawabmu, wahai Rasulullah? Allah dan Rasulnya lebih baik dan lebih mulia.

Rasulullah: Demi Allah! Jika kalian mau jujur niscaya kalian akan mengatakan: 'Engkau telah datang kepada kami sebagai orang yang didustakan lalu kami memercayaimu, dan sebagai orang yang dihinakan lalu kami menolongmu, dan sebagai orang yang terusir lalu kami memberikan tempat tingggal kepadamu, dan sebagai orang yang miskin lalu kami memberikan sedekah kepadamu'.

Wahai orang-orang Anshar, apakah kalian memunyai rasa suka kepada dunia yang aku berikan kepada suatu kaum agar mereka berislam, sedangkan aku sudah percaya akan keislaman kalian? Tidakkah kalian rela, wahai orang-orang Anshar, untuk melihat orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, jikalau tidak ada hijrah, niscaya aku menjadi bagian dari orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung dan Anshar memilih jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.

Kata-kata tersebut diucapkan Nabi dengan penuh cinta dan kasih sayang kepada kaum Anshar. Kaum Anshar menangis hingga basah jenggot-jenggot mereka. Mereka lalu berkata, "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami." Orasi Rasulullah yang penuh hikmah dan mengharukan itu bukan saja mampu memadamkan api fitnah, tapi juga mengingatkan kembali kaum Anshar yang nyaris menuruti nafsu materialistik mereka.

Adalah keistimewaan dari Rasulullah yaitu beliau mampu memahami perasaan orang lain sehingga beliau senantiasa menggunakan gaya bahasa atau kata-kata atau cara penyampaian yang sesuai dengan audiens yang dihadapi. Ini, bagaimanapun, bukanlah sesuatu yang tidak bisa ditiru. Satu hal lagi, kejujuran atau ketulusan berbicara lebih fasih dari orator paling hebat sekalipun. Wallahu 'alam.

=====================
Referensi:
1. Amru Khalid, "Jejak Sang Junjungan: Sebuah Narasi Sirah Populer", Penerbit Aqwam, Cet. 1, 2007.
2. Muhammad Husain Haikal, "Sejarah Hidup Muhammad", Pustaka Jaya, Cet. 5, 1980.

3 comments:

noerce said...

Rosul bersikap demikian, krn Rosul tahu loyalitas keislaman kaum Anshar, shg dengan Retorika yang sungguh mulia & indah...sikap rosul itu di "iya"kan kaum anshar...^^

menurut nur, 1 lagi tambahan pelajaran moral,Bersikap "adil" (bkn berarti sama rata), namun sesuai kebutuhan masing2 pihak (antara Muhajirin & Anshar), jd pemimpin itu harus cerdas...Berat yach...^^

Amrie Hakim said...

"menurut nur, 1 lagi tambahan pelajaran moral,Bersikap "adil" (bkn berarti sama rata), namun sesuai kebutuhan masing2 pihak (antara Muhajirin & Anshar), jd pemimpin itu harus cerdas...Berat yach...^^"--> saya SETUJU, nuri jan.

eniwei, saya masih menunggu tulisan nuri jan soal Perjanjian Hudaibiyah ya..

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.