Friday, October 19, 2007

marah tanpa marah-marah

Apa yang saya coba tulis di sini sebetulnya hanya mengulang apa yang pernah disampaikan Prof. Quraish Shihab dalam kesempatan khutbah dhuhur di Masjid Bimantara sekitar setahun silam. Topiknya kira-kira seputar adab atau akhlak marah. Topik ini diangkat saat mayoritas muslim Indonesia dibakar emosinya dalam insiden karikatur yang menghujat Nabi Muhammad SAW di salah satu koran di Denmark.

Saat itu muslim Indonesia, seperti juga muslim-muslim lain di seluruh dunia, dibuat marah sedemikian rupa oleh karikatur tersebut. Cara mereka dalam meluapkan kemarahannya pun bermacam-macam, dari yang masih santun sampai ke tindakan-tindakan yang mendekati anarkis. Setelah itu, polemik menjadi agak bergeser ke soal sampai di mana kita sebagai muslim boleh meluapkan kemarahan terhadap institusi/individu yang menghina kemuliaan Nabi Muhammad hingga ke tingkat yang sangat serius.

Prof. Quraish, seinget saya, mengatakan bahwa marah itu dibolehkan karena Nabi pun pernah marah. Saya juga pernah baca bahwa kalau mendengar kata-kata yang tidak enak, beliaupun marah sampai kedua pipinya merah, tapi tetap beliau tidak mengucapkan sesuatu yang tidak wajar. Marah itu manusiawi, dan dalam kondisi-kondisi tertentu marah menjadi wajib misalnya dalam kasus penghinaan luar biasa terhadap Rasulullah waktu itu.

Meski marah hukumnya mubah (boleh), bukan berarti kita boleh marah-marah kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Marahpun, kata Prof. Quraish, juga ada aturannya, ada adabnya. Sebelum marah, kata beliau, ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan (penjelasan tambahan dan redaksionalnya sebagian besar dari saya):

1. Sebab/alasan yang tepat. Marah boleh dilakukan hanya kalau alasannya benar menurut ukuran-ukuran atau norma-norma agama atau masyarakat. Dalam kasus karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad, muslim telah memiliki alasan yang sahih untuk marah.

2. Marah harus kepada orang yang tepat. Jika telah memiliki alasan atau sebab yang sah untuk marah, kita juga perlu berhati-hati dan jernih dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu perkara. Intinya, jangan sampai kita marah kepada pihak yang salah.

3. Marah pada waktu dan tempat yang tepat. Saya tidak pernah melupakan salah satu pengalaman melihat seseorang dimaki-maki, dibentak-bentak dengan menggunakan kata-kata yang kasar di muka umum oleh atasannya. Mungkin saja kesalahan orang itu demikian besar sampai-sampai membuat atasannya murka, tapi saya sangat tidak setuju jika atasannya memaki-maki dia di depan orang banyak. Kalau saya harus memarahi seseorang, saya akan melakukannya di tempat tertentu yang tidak dapat dilihat banyak orang sehingga orang tersebut tidak merasa dipermalukan.

4. Melampiaskan kemarahan dengan cara yang benar. Melampiaskan kemarahan dengan jalan merusak atau menganiaya (fisik atau psikis) itu bukan jalan yang dibenarkan oleh agama. Jangankan begitu, kita juga perlu menghindari menggunakan kata-kata kasar atau kotor saat melampiaskan kemarahan kita.

Tema ini begitu berkesan di hati saya karena apa yang Pak Quraish sampaikan adalah sesuatu yang sering kita hadapi sehari-hari. Betapa sering kita menemui orang atau keadaan yang membuat hati kita bergejolak dan ingin meledakan amarah kita pada saat itu juga. Tapi, agama mengajarkan kepada kita untuk memiliki budi pekerti yang tinggi, bahkan di saat kita marah. Marah boleh asal jangan marah-marah. Wallahu 'alam.

1 comment:

Anonymous said...

"Marah boleh asal jangan marah-marah".... wahhh susah juga ya kalo begitu :p. Terkadang kan kalo kita lagi marah dan pada sampai titik kesabaran kita habis, emosi itu susah dibendung. Ya ada kita semakin menjadi-jadi meluapkan kemarahan kita, walo pun mungkin hanya sesaat itu saja, tapi tetep penyesalan yang tak terhingga muncul setelah marah-marah itu. Tapi emang susah menahan amarah itu, ga semudah seperti kelihatannya....