Seorang sahabat belum lama ini dengan baik hati mengingatkan saya agar mau sedikit mengerem kebiasaan mengomentari penampilan orang lain. Dia bilang antara lain, "Mas musti membatasi komentar soal apa yang dipakai seseorang, terutama kalau orang itu agak-agak 'berani' dalam berpakaian." Sahabat saya khawatir komentar saya malah berakibat tidak baik bagi orang yang bersangkutan.
Sebagai laki-laki, saya sebetulnya merasa dimanjakan dengan mode pakaian perempuan saat ini. Mode di mana perempuan cenderung memakai pakaian yang serba terbuka. Kalau tidak terbuka bagian atasnya, yah di bagian bawahnya. Kalau tidak kedua-duanya, terbuka di bagian tengahnya. Bahkan tidak jarang ada yang memakai pakaian yang membuka bagian atas, tengah dan bawah tubuh perempuan. Dalam konteks inilah (mata) saya benar-benar dimanjakan.
Baru-baru ini saya juga sempat dibuat pusing dengan kebiasaan berpakaian seseorang yang ada di rumah saya. Saya sempat mau menegur langsung tapi kemudian batal karena ingin mencari momen yang benar-benar pas. Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya momen itu datang juga yaitu saat hatinya sedang riang, atau lebih tepatnya saat sedang berbelanja pakaian.
"Beli saja celana yang itu, bagus karena menutupi sebagian besar kaki kamu. Modelnya santai tuh bisa dipakai di rumah juga. Jadi, kamu tidak perlu lagi mengikuti tren mode para asisten rumah tangga di RT kita yang hobi bercelana agak pendek," kata saya. Orang yang saya ajak bicara tertawa saja. Setelah itu saya berdoa semoga dia menangkap pesan saya.
Sebelumnya, saya pernah mengomentari pakaian seorang teman yang menurut saya terlalu terbuka. Saya tanya kenapa dia berani memakai baju seperti itu ke tempat umum (saya menganggap acara resepsi sebagai tempat umum). Dia bilang pakaian dia sebetulnya tidak terlalu terbuka karena dia menutupnya dengan selendang. Lagipula, kata dia lagi, pakaiannya hanya "agak" terbuka di bagian atasnya, sedang di bagian bawah seluruhnya tertutup.
Saya baru saja menamatkan salah satu buku baik dari Quraish Shihab yang berjudul "Perempuan". Pada salah satu bagian buku itu, diungkapkan salah satu kecemasan (atau mungkin kemarahan) penulis berkaitan dengan tren busana wanita saat ini yang serba terbuka. Penulis menilai sebagian perempuan telah menjadi korban para perancang busana yang hendak membuka seluruh wilayah tubuh (perempuan) yang semestinya tertutup. Penulis juga menilai para perancang itu makin hari terlihat makin bingung dengan hasil karya mereka sendiri. Hal itu, kata Quraish Shihab, antara lain ditunjukkan dengan mode pakaian yang aneh-aneh misalnya, terbuka pada bagian atas, tapi tertutup pada bagian bawah atau sebaliknya. Atau juga, bagian depan tubuh sepenuhnya tertutup, tapi bagian belakangnya habis terbuka.
Saya berterima kasih kepada sahabat yang menasihati agar saya menahan komentar tentang cara seseorang berpakaian. Karena sahabat saya itu mengingatkan saya kembali tentang betapa kuatnya argumen (hujjah) saya untuk melakukan itu (mengomentari pakaian yang terlampau terbuka). Saya pikir kalau seseorang berani memakai pakaian terbuka, dia juga harus berani menerima komentar-komentar dari orang-orang seperti saya (maksudnya, orang yang senang-senang saja melihat perempuan berpakaian terbuka, tapi tidak senang kalau yang memakainya adalah orang-orang dekat). Wallahu 'alam.
Monday, September 22, 2008
Thursday, September 04, 2008
tidak semua keinginan bisa, eh, harus diwujudkan
Saya lagi naksir hape terbaru keluaran produsen Korea. Pertama kali lihat di majalah FHM edisi September '08, langsung jatuh cinta. Besoknya saya mampir ke gerainya di Lippo Supermall, makin jatuh cinta. Memang masih ada keragu-raguan misalnya, bagus-tidaknya kualitas hape itu. Tapi, sepertinya cinta saya jauh lebih besar daripada keraguan saya.
Belakangan ini, istri iba melihat saya yang sering termenung di depan iklan hape itu di FHM. Tak seperti biasanya, majalah FHM saya kini lecek di bagian iklan hape tersebut, dan bukan di halaman-halaman "menu utama" majalah itu. "Ya sudah nanti beli saja pakai uang THR," kata istri mencoba menghibur. "Ngga lah, bisa-bisa uang THR saya tinggal sedikit kalau buat beli itu. Padahal, banyak keperluan lain yang lebih penting," kata saya berlagak bijak.
Saya sempat melupakan keinginan memiliki hape tersebut walaupun tidak beberapa lama. Saat melintas daerah Slipi, saya melihat iklan hape itu di baliho yang besar sekali. Wah, cinta lama bersemi kembali jadinya. Besoknya saya lewat jalan itu lagi dan lihat baliho itu lagi, "Aduh jadi tambah ingin memiliki," kata saya dalam hati.
Teman saya bilang, hape itu tidak terlalu bagus. Penilaian itu bukan karena dia sudah punya atau tahu dari orang yang sudah memakainya, tapi hanya berdasarkan iklannya. Saya tidak peduli karena sudah terlanjur jatuh cinta. Saya bahkan tidak perlu diyakinkan oleh siapapun lagi kalau hape itu bagus dan wajib dimiliki. Cinta saya sepertinya nyaris irasional.
Tapi, saya tahu kalau tidak semua keinginan harus kita wujudkan, sekalipun kita bisa mewujudkannya. Hidup adalah seni memilah dan memilih mana keinginan yang harus kita wujudkan, mana yang bisa kita kesampingkan, dan mana yang perlu kita kubur dalam-dalam. Keinginan adalah sumber penderitaan, begitu kata Iwan Fals. Itu boleh jadi benar. Dan jangan menganggap semua penderitaan itu sebagai hal yang negatif. Penderitaan adalah bagian dari perjuangan untuk mewujudkan keinginan. Dan hidup adalah perjuangan, begitu kata pak Quraish Shihab tadi subuh di TVRI. Dalam kasus hape ini, saya siap menderita demi menunggu masa yang tepat untuk memilikinya, atau bahkan untuk tidak memilikinya. Insya Allah.
Belakangan ini, istri iba melihat saya yang sering termenung di depan iklan hape itu di FHM. Tak seperti biasanya, majalah FHM saya kini lecek di bagian iklan hape tersebut, dan bukan di halaman-halaman "menu utama" majalah itu. "Ya sudah nanti beli saja pakai uang THR," kata istri mencoba menghibur. "Ngga lah, bisa-bisa uang THR saya tinggal sedikit kalau buat beli itu. Padahal, banyak keperluan lain yang lebih penting," kata saya berlagak bijak.
Saya sempat melupakan keinginan memiliki hape tersebut walaupun tidak beberapa lama. Saat melintas daerah Slipi, saya melihat iklan hape itu di baliho yang besar sekali. Wah, cinta lama bersemi kembali jadinya. Besoknya saya lewat jalan itu lagi dan lihat baliho itu lagi, "Aduh jadi tambah ingin memiliki," kata saya dalam hati.
Teman saya bilang, hape itu tidak terlalu bagus. Penilaian itu bukan karena dia sudah punya atau tahu dari orang yang sudah memakainya, tapi hanya berdasarkan iklannya. Saya tidak peduli karena sudah terlanjur jatuh cinta. Saya bahkan tidak perlu diyakinkan oleh siapapun lagi kalau hape itu bagus dan wajib dimiliki. Cinta saya sepertinya nyaris irasional.
Tapi, saya tahu kalau tidak semua keinginan harus kita wujudkan, sekalipun kita bisa mewujudkannya. Hidup adalah seni memilah dan memilih mana keinginan yang harus kita wujudkan, mana yang bisa kita kesampingkan, dan mana yang perlu kita kubur dalam-dalam. Keinginan adalah sumber penderitaan, begitu kata Iwan Fals. Itu boleh jadi benar. Dan jangan menganggap semua penderitaan itu sebagai hal yang negatif. Penderitaan adalah bagian dari perjuangan untuk mewujudkan keinginan. Dan hidup adalah perjuangan, begitu kata pak Quraish Shihab tadi subuh di TVRI. Dalam kasus hape ini, saya siap menderita demi menunggu masa yang tepat untuk memilikinya, atau bahkan untuk tidak memilikinya. Insya Allah.
Subscribe to:
Posts (Atom)