Bila kau beroleh kemenangan atas musuhmu, jadikanlah pengampunanmu atas dirinya sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan itu
~ Ali bin Abi Thalib
Saya tidak tahu mana yang paling membuat saya bahagia pagi ini, membaca apresiasi dari seorang sahabat terhadap tulisan saya yang berjudul "tentang politik, perang dan tipu muslihat" ataukah ulasan dia terhadap tulisan itu yang, menurut saya, begitu lugas, mencerahkan dan -- melebihi semuanya -- sangat menawan.
Dia sudah memberikan saya izin untuk menampilkan tanggapan yang dia sampaikan melalui e-mail di blog ini. Saya melakukan sedikit penyuntingan yang sangat kecil atas isi e-mail di bawah yaitu terkait tanda baca dan ejaan. Itu saya lakukan semata-mata untuk menambah keasyikan dalam membaca. Dan, karena saya merasa kurang afdhal kalau tulisan ini tidak berjudul, maka saya beranikan diri untuk menambahkan judul untuk e-mail sahabat saya itu. Selamat menikmati.
beyond victory
Tulisannya mantap sekali. Namun, ada sebuah kritik dari gw. IMHO (in my humble opinion, amr), Ada perbedaan kata "tipu muslihat" dalam ucapan Ali as: “Demi Allah, Muawiyah tidak lebih cerdik dari saya. Tetapi, ia menipu dan melakukan kejahatan. Sekiranya saya tidak benci penipuan, maka tentulah saya menjadi paling cerdik dari semua manusia. Tetapi, setiap penipuan adalah dosa, dan setiap dosa merupakan pendurhakaan terhadap Allah" dengan hadits Rasulullah yang berbunyi: "perang adalah tipu muslihat".
Tipu muslihat dalam kalimat Ali harus dibaca dalam makna sebenarnya, yaitu cara-cara menipu dalam melakukan konfrontasi perang atau langkah politik. Tentu yang disindir Ali as adalah beberapa perbuatan Muawiyah seperti suka menyuap seseorang dengan menggunakan uang negara agar mau mengikuti dan menjadi pembela Muawiyah, suka mengingkari janji, memutarbalikkan fakta, dan mengambil langkah-langkah yang menguntungkan secara politis walaupun melanggar hukum Islam.
Dengan kalimat Ali as di atas, seakan-akan Sayyidina Ali as ingin mengatakan kepada pengikutnya, bahwa Ali as mengetahui secara detail setiap tindakan Muawiyah. Dan jikalau langkah-langkah Muawiyah dibenarkan secara agama - suatu hal yang mustahil -, akan menjadi mudah bagi Ali as untuk mengikuti langkah-langkah Muawiyah dan mengalahkan Muawiyah. Namun, karena tujuan Ali as bukanlah memenangkan peperangan semata-mata, tetapi lebih tinggi dari itu, yaitu selalu konsisten di dalam jalan Allah dan Rasulullah.
Langkah Ali as yang selalu konsisten tersebut, dapat dibaca sesaat beliau as diangkat menjadi Khalifah. Langkah mula-mula yang beliau ambil adalah langsung memecat Muawiyah dan konco-konconya. Sebuah langkah yang mendapat tantangan dari orang terdekat beliau seperti Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menyarankan agar beliau menunda pemecatan tersebut, karena menurut pemikiran Ibnu Abbas, langkah tersebut tidak bisa dibilang cerdas.
Kekhalifan Ali as barulah seumur jagung, sedangkan kekuatan Muawiyah sudah ber-urat akar di Syuriah selama 12 tahun. Mencopot Muawiyah, sama saja memaklumkan perang. Tetapi, karena pribadi Ali as sangat berbeda jauh dengan pribadi Ibnu Abbas, tidak mengeherankan jika usul tersebut ditolak. "Demi Allah, aku tidak dapat membiarkan Muawiyah duduk di singgasananya walaupun satu detik, sementara aku membiarkan orang-orang tertindas di luar sana", jawab Sayyidina Ali.
Bagi Ali as, urusan Muawiyah tidak semata-mata urusan politik jikalau harus mengorbankan hak-hak orang banyak. Secara politis, langkah pemecatan Muawiyah jelas tidak cerdik. Ali as tentu sadar akan hal ini, walaupun tanpa bantuan pendapat Ibnu Abbas sekalipun. Tetapi, membiarkan Muawiyah duduk di singgasananya, sama saja melakukan penipuan dan melakukan kejahatan, karena ada hak-hak orang banyak di sana yang tertindas. Sekiranya, melakukan kejahatan dan penipuan itu kita sebut sebagai kecerdikan, dan penipuan itu dibolehkan oleh agama, maka Sayyidina Ali as tentulah manusia yang paling cerdik, sebagaimana klaim Ali as di atas.
Adapun maksud hadits Rasulullah yang berbunyi: "perang adalah tipu muslihat" adalah -- dalam laga peperangan -- anda dibolehkah melakukan strategi perang atau "tipu muslihat" perang demi meraih kemenangan. Tentu kata tipu muslihat berbeda makna dengan kata tipu muslihat dalam ucapan Ali as. Bukankah Rasulullah SAW melarang setiap prajurit perang untuk membakar tumbuh-tumbuhan, membunuh hewan-hewan, meracun sumber air, merusak ladang-ladang, membunuh anak-anak-wanita-orang tua dan membunuh para pemuka agama di tempat peribadatannya? Bukahkah Rasulullah melarang untuk mengingkari janji perdamaian dengan pihak musuh walaupun hal tersebut membawa keuntungan?
Jika "tipu muslihat" dalam makna sebenarnya dibolehkan, tentulah merusak ladang, meracun air, membunuh anak-anak-wanita-orang tua dibolehkan. Karena jika langkah tersebut dilakukan, pastilah akan membawa efek mematikan bagi pihak musuh. Jadi, tipu muslihat di sini haruslah dilihat dalam konteks strategi peperangan, sebuah strategi kapan saat yang tepat untuk menyerang, menyergap dan bertahan secara efektif dan efisien.
Begitulah yang saya pahami Amri...
Best regards
~subchan