Nashruddin Khouja atau Mullah Nashruddin adalah salah satu teladan saya. Kepada sebagian teman yang punya ketertarikan yang sama dalam hal tasawuf atau sufisme, saya sering bilang kalau mazhab atau tarikat saya adalah Nashruddiniyah. Nashruddin adalah mursyid (guru, pembimbing) jauh saya. Pernyataan saya itu separuh bercanda dan separuh lagi serius.
Separuh bercanda karena saya memang bukan pengikut tarikat Nashruddiniyah atau tarikat sufi manapun. Saya bahkan tidak tahu apakah ada tarikat Nashruddiniyah. Ketertarikan saya pada dunia tasawuf hanya sebatas sebagai "pemerhati" dan bukan sebagai pengikutnya (salik). Saya tidak pernah berpikir untuk jadi sufi.
Tapi di sisi lain, saya tidak bercanda waktu mengatakan bahwa Nashruddin adalah guru saya. Beberapa buku mengenai Nashruddin saya baca berulang-ulang dan sering saya ceritakan kembali kepada teman-teman. Sebagian anekdot Nashruddin pernah membuat perut saya sakit dan otot pipi saya pegal-pegal karena demikian lucunya. Sementara, sebagian anekdot Nashruddin lainnya masih belum bisa saya pahami maknanya.
Sebagian referensi yang saya baca menyebutkan bahwa Nashruddin adalah tokoh rekaan alias tokoh fiksi yang diciptakan oleh kaum sufi. Salah satu guru sufi, Idries Shah, dalam salah satu bukunya "Mahkota Sufi" membahas Nashruddin secara mendalam dalam satu bab khusus. Di buku itu antara lain ditulis: "Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya Nashruddin itu, kapan dan di mana ia hidup. Tujuan keseluruhan tulisan ini adalah menampilkan satu sosok yang tidak bisa diberi karakter yang sesungguhnya, dan yang berada di luar waktu. Adalah pesan, dan bukan orangnya, yang penting bagi para Sufi."
Namun, ada pula sumber yang mengatakan bahwa Nashruddin adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukkan Bangsa Mongol. Menurut versi ini, sewaktu masih sangat muda Nashruddin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering kali lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat (meramalkan): "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apapun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."
Salah satu pelajaran yang paling berharga yang saya dapatkan dari Mullah Nashruddin adalah beliau tidak pernah malu untuk melakukan atau mengatakan (atau gabungan dari keduanya) hal-hal yang dianggap supertolol oleh sebagian besar orang demi menyampaikan hikmah. Ungkapan-ungkapan Nashruddin sangat khas: menunjukkan ketololan dan kedalaman makna yang luar biasa. Itu antara lain ditunjukkan kisah berikut:
Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka -- tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?" tanya salah satu muridnya.
"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang patah!"
Dari Nashruddin saya juga belajar bagaimana menghadapi cemoohan atau sikap buruk dari orang lain. Nashruddin sepertinya tidak pernah menganggap besar cemoohan atau perlakuan buruk orang lain kepada dirinya. Cukup banyak anekdot yang menceritakan bagaimana Nashruddin kadang membalas perlakuan buruk orang lain -- yang kebanyakan tujuannya sekadar bercanda atau mengolok-olok. Seperti dapat dilihat pada kisah berikut:Nashruddin mengunjungi tempat mandi Turki. Karena berpakaian jelek, ia dilayani secara kasar oleh petugas yang memberikannya sebuah handuk tua dan secuil sabun. Ketika pergi, ia memberikan sekeping uang emas kepada petugasnya.
Pada hari berikutnya ia kembali muncul. Kali ini ia berbusana mewah, dan tentu saja mendapatkan pelayanan yang terbaik dan berbeda. Ketika selesai mandi, ia memberikan sekeping uang logam terkecil yang ada kepada petugasnya.
"Ini," ucap Nashruddin, "untuk pelayanan yang kemarin. Sementara uang emas itu adalah untuk pelayananmu pada saat ini."
Satu lagi, sepertinya tidak ada orang lain yang paling baik mengajarkan bahwa menertawakan ketololan diri sendiri itu jauh lebih nikmat dan "bergizi" daripada menertawakan ketololan orang lain. Karena, bagaimanapun, bila hari ini kita menertawakan ketolololan orang lain, boleh jadi besok (ketololan) kitalah yang akan menjadi bahan tertawaan. Dan, berdasarkan pengalaman Nashruddin, ketololan seringkali bermanfaat bagi diri kita. Simak saja anekdot berikut:
Seorang tetangga datang untuk meminjam tali jemuran Nashruddin.
"Maaf, aku tengah mengeringkan bubuk gandum di atasnya."
"Tetapi bagaimana engkau bisa mengeringkan bubuk gandum di atas tali jemuran?"
"Hal ini tidak sesulit yang Anda kira, jika Anda tidak ingin meminjamkannya."
Akhirnya, yang mungkin paling penting adalah Nahsruddin ingin memberikan contoh sikap kerendah-hatian dalam bentuknya yang lain yaitu kepandiran dan ketololan. Kepandiran Nashruddin sama sekali tidak menghilangkan kewibawaannya sebagai ulama, ahli hukum, filsuf, dan guru. Jadi, sepertinya tidak terlalu penting lagi apakah Nashruddin adalah tokoh nyata atau hanya fiksi. Pesannya lebih penting daripada orangnya; isi lebih penting daripada bungkusnya. Wallahu 'alam.