Puisi Rumi selalu memabukkan,
mabuk yang melebihi anggur
paling keras sekalipun.
Aku tak berani membayangkan
akan semabuk apa diriku
saat menikmati puisinya dalam bahasa Persia!
Puisi Rumi selalu membakar kesadaranku,
terbakar dan menyala-nyala
dalam keasyikan.
Aku tak sanggup menalarkan
akan sehangus apa jiwaku
saat dipanggang 70.200 bait syairnya nan membara!
------------------------
Wudhuku Airmataku*
“Walau semua lampu dinyalakan dan makanan
di meja di hidangkan,
Selepas shalat malam dilaksanakan,
Sang Kekasih tak lepas tiada lekang dari ingatan,
ada rasa sedih, ada rasa risau, berkelindan
dengan ratapan
Shalatku demam garang itulah sebabnya
wudhuku airmataku,
Tatkala azan dikumandangkan terbakarlah
gerbang masjidku.
Alangkah aneh ini shalat orang kasmaran,
lalu katakan padaku,
apakah sah bersembahyang begini tanpa peduli ruang
dan waktu?
Aneh benar rasanya ini yang dua rakaat,
apa lagi ini rakaat keempat.
Terlebih lagi anehnya, kubaca sebuah surah tanpa lidah!
Betapa mungkin kuketuk gerbang Tuhan
tanpa jantung, tiada pula tangan?
Karena telah Dikau ambil jantung dan tangan hamba,
Ya Tuhan hamba, lindungi, lindungi hamba!
Demi Tuhan, tidak tahu aku ketika bershalat itu
apakah memang ada seseorang tegak memimpin jamaah
atau bahwa ruku ini selesai dan shalat pun usai.”
*Alih puisi Rumi oleh Taufik Ismail dalam kata pengantar dalam Revolusi Sang Matahari: Kelana Cinta Jalaluddin Rumi (Nigel Watts) dari Life and Work of Rumi (Afzal Iqbal).
Wudhuku Airmataku*
“Walau semua lampu dinyalakan dan makanan
di meja di hidangkan,
Selepas shalat malam dilaksanakan,
Sang Kekasih tak lepas tiada lekang dari ingatan,
ada rasa sedih, ada rasa risau, berkelindan
dengan ratapan
Shalatku demam garang itulah sebabnya
wudhuku airmataku,
Tatkala azan dikumandangkan terbakarlah
gerbang masjidku.
Alangkah aneh ini shalat orang kasmaran,
lalu katakan padaku,
apakah sah bersembahyang begini tanpa peduli ruang
dan waktu?
Aneh benar rasanya ini yang dua rakaat,
apa lagi ini rakaat keempat.
Terlebih lagi anehnya, kubaca sebuah surah tanpa lidah!
Betapa mungkin kuketuk gerbang Tuhan
tanpa jantung, tiada pula tangan?
Karena telah Dikau ambil jantung dan tangan hamba,
Ya Tuhan hamba, lindungi, lindungi hamba!
Demi Tuhan, tidak tahu aku ketika bershalat itu
apakah memang ada seseorang tegak memimpin jamaah
atau bahwa ruku ini selesai dan shalat pun usai.”
*Alih puisi Rumi oleh Taufik Ismail dalam kata pengantar dalam Revolusi Sang Matahari: Kelana Cinta Jalaluddin Rumi (Nigel Watts) dari Life and Work of Rumi (Afzal Iqbal).
3 comments:
Wah salut sama bapak satu ini...
Ternyata punya minat besar juga sama sastra, di luar urusan hukum.
Dan ternyata seorang blogger juga rupanya...
Ehm.. sptnya kita pernah ketemu nih pak. Biasa, soal urusan kartu izin permanen yg hrs dikeluarkan sm kantor bapak itu. hehe..
Kirim2 infonya nih pak soal kapan izin permanen akan dikeluarkan utk sy..
Sukses pak...!
salam kenal.
"Fan"
oalah.... amri..amrii...
ternyata lo nge-blog jg. ami nemuin pd saat nyari "surat pernyataan"
piye kabare...?
(lo beneran amri yg pernah di hukumonline kan ya...??)
Ember... Ukie juga suka puisi2 nya Rumi, bagus2 buangetttt....
Post a Comment