Wednesday, October 11, 2006

My two cents for the Gospel of Judas

Buat anda yang sering berkunjung ke toko buku, mungkin tahu betul kalau buku-buku yang bertemakan Injil Yudas lagi gencar dipromosikan, khususnya di Gramedia. Buku yang diulas dalam Kolom di bawah ini hanya salah satu dari beberapa buku dengan tema sejenis yang beberapa bulan terakhir membanjiri Gramedia. Judul-judul lainnya, yang semuanya terjemahan, misalnya "The Lost Gospel: Kisah Pencarian Injil Yudas" dan "The Secret of Judas: Menafsir Ulang Peran Yudas". Buku Injil Yudas dan The Lost Gospel diterbitkan Gramedia.

Tidak pelak lagi, daya tarik buku ini ada pada temanya yang sangat kontroversial. Berdasarkan penelusuran saya di google, peluncuran penerbitan perdana buku Injil Yudas oleh National Geographic Society sengaja dipilih sebelum pemutaran perdana film kontroversial The Da Vinci Code pada 19 Mei 2006. Buku Injil Yudas sendiri kemudian diluncurkan saat Hari Raya Paskah. Unsur kontroversi inilah yang diharapkan membuat buku tersebut laris manis di pasaran.

Kisah pencarian dan akhirnya penerbitan Injil Yudas ini tidak kalah serunya dengan alur cerita yang disuguhkan Dan Brown dalam The Da Vinci Code. Justeru ini juga daya tarik buku Injil Yudas. Jika tokoh sentral dalam The Da Vinci Code adalah Sophie Noveou, ahli kriptologi, dan Robert Langdon, pakar simbologi Universitas Harvard, maka dalam Injil Yudas ada Frieda Nussberger-Tchacos, pemilik manuskrip asli Injil Yudas berbahasa yunani-koptik, dan Mario Jean Roberty, pengacara sekaligus pendiri Yayasan Maecenas yang membeli manuskrip itu dari Tchacos.

Tchacos adalah wanita yang kerap berurusan dengan pihak berwajib karena diduga sebagai penadah barang-barang kuno. Namun, Tchacos belum pernah dijatuhi hukuman apapun terkait berbagai tuduhan tersebut. Sedangkan Roberty adalah pengacara di Basel, Swiss, yang selama ini kerap menangani klien-klien dengan dakwaan pencurian barang-barang kuno. Tchacos disebutkan pernah menjadi klien Roberty. Rencana penerbitan Injil Yudas di awal memang terhalang masalah hukum yakni legalitas manuskrip kuno tersebut. Itulah yang membuat banyak penerbit ragu untuk mempublikasikannya. Akhirnya, yang dijual ke National Geographic bukan fisik manuskripnya, tapi kontennya. Cerdas.

Lepas dari masalah hukum terkait kepemilikan manuskrip Injil Yudas, tidak ada satupun pakar koptik yang meragukan kesahihan manuskrip tersebut. Rudolf Kasser sendiri adalah pakar sejarah koptik, mantan profesor di Universitas Jenewa. Rudolf Kasser dikenal luas sebagai pemimpin terjemahan manuskrip kuno yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, 1945. (Gatra, 10 April 2006). Editor Biblical Archeology Review, Hershel Shanks, memuji keterlibatan National Geographic dalam membuat manuskrip itu menjadi dapat diakses publik. Namun, ia juga memberikan catatan mengenai peran National Geographic dalam penerbitan Injil Yudas. "Harga (yang harus dibayar) adalah mereka harus menjadi bagian dari skema untuk menaikkan nilai manuskrip tersebut," kata Shanks.

Kontroversi Injil Yudas atau Injil Maria Magdalena yang sebagian isinya diungkap oleh Dan Brown dalam The Da Vinci Code tidak dapat dilepaskan dari sifatnya yang dinyatakan apokrif (tersembunyi). Khusus untuk Injil Yudas yang merupakan bagian dari koleksi perpustakaan Nag Hammadi, sebetulnya telah diterbitkan terjemahannya secara umum pada 1977. Pimpinan proyeknya waktu itu adalah James M. Robinson. Hanya saja publikasi waktu itu dalam “bentuk yang tidak tercemarkan bagi publik luas”. Semakin sesuatu itu disembunyikan, semakin besar pula keinginan dan usaha untuk membuatnya menjadi diketahui.

Thursday, October 05, 2006

Hidup dan Pesan Nabi

Saya selalu suka lirik dari lagu Bimbo di bawah ini. Sejak kecil hingga dewasa, utamanya setiap Ramadhan datang, liriknya seakan terngiang di telinga. Semoga Allah menjadikan saya insan yang mudah menerima nasihat, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.

Hidup dan Pesan Nabi

Bimbo

Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu
Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung dan tiada pangkal

Hidup ini merangkak terus, semakin mendekat ke titik terakhir
setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup nikmat di dunia

Pesan nabi tentang mati
jangan takut mati karna pasti terjadi
Setiap insan pasti mati, hanya soal waktu

Pesan nabi tentang mati
janganlah minta mati datang kepadamu
dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati

Tiga rahasia Illahi yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran
Kedua tentang pernikahan
Ketiga kematian


Penuhi hidup dengan cinta, ingatkan diri saat untuk berpisah
Tegakkan sholat lima waktu dan ingatkan diri saat disholatkan

Pesan Nabi jangan takut mati
meski kau sembunyi, dia menghampiri
takutlah pada kehidupan sesudah kau mati
Renungkanlah itu


Thanks to Imgar.

Friday, September 08, 2006

Keinginan adalah sumber penderitaan

Terima kasih bang Iwan...

Seperti Matahari
oleh: Iwan Fals

Keinginan adalah sumber penderitaan
Tempatnya di dalam pikiran
Tujuan bukan utama
Yang utama adalah prosesnya

Kita hidup mencari bahagia
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi

Ingin bahagia derita didapat
Karena ingin sumber derita
Harta dunia jadi penggoda
Membuat miskin jiwa kita

Ada benarnya nasehat orang-orang suci
Memberi itu terangkan hati
Seperti matahari
Yang menyinari bumi
Yang menyinari bumi


disalin dari Keluarga Muslim Delft dari Iwan-Fals.com.

Thursday, September 07, 2006

What you cannot have desires you most

Semakin sesuatu tidak dapat dimiliki semakin besar pula keinginan untuk memilikinya...

Have You Ever Really Loved A Woman?

Bryan Adams (OST "Don Juan De Marco")

To really love a woman
To understand her
You gotta know her deep inside
Hear every thought
See every dream
And give her wings when she wants to fly

And when you find yourself
Lying helpless in her arms
You know you really love a woman

When you love a woman
You tell her that she’s really wanted
When you love a woman
You tell her that she’s the one
She needs somebody
To tell her that it’s gonna last forever
So tell me have you ever really
Really really ever loved a woman

To really love a woman
Let her hold you
Do you know how she needs to be touched ?
You gotta breathe her
Really taste her
So you can feel her in your blood
Then when you can see your unborn children in her eyes
You know you really love a woman

When you love a woman
You tell her that she’s really wanted
When you love a woman
You tell her that she’s the one
She needs somebody
To tell her that you’ll always be together
So tell me have you ever really
Really really ever loved a woman

You got to give her some faith
Hold her tight
A little tenderness
You gotta treat her right
She’ll be there for you
Taking good care of you
You really gotta love your woman

And when you find yourself
Lying helpless in her arms
You know you really love a woman

When you love a woman
You tell her that she’s really wanted
When you love a woman
You tell her that she’s the one
She needs somebody
To tell her that it’s gonna last forever
So tell me have you ever really
Really really ever loved a woman
Just tell me have you ever really
Really really ever loved a woman
Just tell me have you ever really
Really really ever loved a woman.

Terima kasih untuk www.romantic-lyrics.com.

Wednesday, August 16, 2006

PERADI Menerima Puluhan Surat Pernyataan Opt Out

Selama beberapa hari terakhir, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menerima sejumlah salinan surat pemberitahuan tentang pernyataan keluar (opt out) dari gugatan perwakilan kelompok (class action) melawan PERADI. Surat-surat tersebut diterima lewat surat elektronik (e-mail), faksimili, kurir, ataupun yang diantar langsung oleh yang bersangkutan.

Sampai dengan hari ini, PERADI menerima sedikitnya 24 surat pernyataan keluar dari gugatan perwakilan kelompok baik yang register No.168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST dan register No.100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Seperti diketahui, kedua gugatan perwakilan kelompok tersebut diajukan oleh lima peserta Ujian Profesi Advokat (UPA) tanggal 4 Februari 2006 yang tidak lulus.

Sebagaimana diketahui, surat pernyataan keluar dari gugatan perwakilan kelompok seperti disebutkan di atas diajukan kepada Kepala Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat cq. Panitera Pengganti beralamat di Jl. Gajah Mada No. 17, Jakarta Pusat, serta kepada Para Penggugat cq. D.H. Lubis, SH dan Drs. MHM Simatupang, SH di Jl. Tomang Raya No. 2, Jakarta.

Sebagian anggota kelompok yang menyatakan keluar dari gugatan kemudian berinisiatif untuk mengirimkan salinan pernyataan tersebut kepada PERADI. Untuk diketahui, anggota kelompok gugatan register No. 168/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST adalah para peserta UPA 4 Februari 2006 di 18 kota provinsi sebanyak 6.508 orang. Sedang, anggota kelompok gugatan register No.100/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST adalah para peserta UPA 4 Februari 2006 yang tidak lulus.

Verifikasi dan pendataan ulang
Pada bagian lain, PERADI kembali mengingatkan akan batas waktu verifikasi dan pendataan ulang advokat akan berakhir pada Rabu, 16 Agustus 2006. Pengumuman proses verifikasi dan pendataan ulang advokat telah diumumkan PERADI di media cetak dan internet sejak 16 Juni 2006 silam.

Verifikasi advokat adalah untuk advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum yang pada saat berlakunya UU No.18/2003 tentang Advokat telah diangkat sebagai advokat berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum & HAM) atau pengacara praktik berdasarkan SK Pengadilan Tinggi, namun belum pernah mengikuti verifikasi dan belum memiliki Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (sekarang PERADI).

Sedangkan, pendataan ulang advokat diperuntukkan bagi seluruh advokat yang telah terdaftar dalam Buku Daftar Anggota PERADI dan atau telah memiliki KTPA yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (sekarang PERADI). Pendataan ulang advokat dilakukan guna pemutakhiran (updating) data Buku Daftar Anggota (pasal 29 ayat (2) UU Advokat), dan penerbitan KTPA baru (berlaku s.d. 31 Desember 2009) yang berlaku sebagai kartu izin praktik advokat.(AMR)

Sumber: PERADI

Thursday, August 10, 2006

Jadi inget saya kecil...

Dari blog http://hadinda.multiply.com :

Dasar Kutu Buku !!!

Dalam kereta dari Jakarta menuju Bogor, Indra bingung, resah dan gelisah !! bukan karena kecopetan atau habis kena palak (karena kalau kecopetan di kereta sudah biasa, ga’ bikin bingung lagi). Tapi karena Indra baru sadar, dari puluhan bahkan ratusan kali Indra naik turun bis, kereta, kapal laut, bahkan pesawat terbang dia baru menyadari dan baru kepikiran kalau hampir seluruh pengguna angkutan umum dalam setiap perjalanannya yang berjarak jauh dan macet tidak ada yang memanfaatkan waktunya dengan membaca!!! (aneh khan si Indra ini ??)

Di usiannya yang sudah 20 tahunan Indra kembali mengenang saat-saat SD, SMP, SMAnya, bagaimana dia dulu dijuluki si ”KUTUBUKU”. Sebuah predikat yang sebenarnya sangat tidak dia sukai, dan seakan-akan julukan ”KUTUBUKU” seperti HARAM hukumnya kalau dimakan dan Najis hukumnya kalau terkena bagi kawan-kawannya saat sekolah dahulu, tapi julukan tersebut menempel pada dirinya karena hobinya membaca buku.

Padahal kalau dipikir-pikir, porsi baca bukunya Indra normal-normal saja, tanpa mengganggu aktifitas belajar dan bermasyarakatnya. Saat SD, ketika teman-temannya bermain galasin, benteng, kelereng dia ikutan main bahkan prestasinya diatas rata-rata. Hanya saja mungkin ketika teman-temannya sibuk ngerumpiin film kartun yang diputar di TV kemarin sore atau ngerumpiin permainan nintendo, indra lebih asik dengan bukunya. Bukan karena indra ga’ nonton film kartun atau ga’ main nintendo (indra juga punya nintendo di rumah lhooo....). Jadi kesimpulannya indra di cap sebagai KUTUBUKU karena di dalam tasnya selalu ada buku-buku semisal Trio Detektifnya Sherlock Holmes, lima sekawan, buku-buku dongeng Enid Bylton, majalah Bobo dan BUKU PINTAR!! (yang isinya ada gambar2 bendera, trus profil negara-negara, nama-nama presiden sampe gubernur di Indonesia juga ada). Semua itu sebenarnya Cuma hobi dan sebagai pemuas syahwat ingin tahunya saja. Suatu hari di kelas 4 SD ketika indra lagi asik baca Lupus Kecil di bangku paling depan sehabis jam istirahat dan teman-temannya buka “pasar kaget" di kelas (asli, ribut banget), tiba-tiba terdengar suara cempreng yang melengking, DIAAAAM....... Seluruh isi kelas mendadak sunyi senyap. Mata sipemilik suara barusan tertuju ke buku yang berada di tangan Indra. ”Apa ini ?!! tanya bu guru. Singkat cerita lupus Kecilnya Indra tersebut nginep di laci bu guru yang terkunci sampai dikembalikan lewat mamanya Indra pas bagi rapot. Alhasil sejak saat itu Indra langsung paranoid. Kalau dia bawa buku cerita ke sekolah kayak bawa narkoba, ngumpet-ngumpet, dan baru dibaca di bis pas pulang sekolah. Padahal di salah satu dinding di sudut sekolahan Indra tertulis : ”Perpustakaan gudang ilmu, buku jendela dunia” Aneh ya ???

Ketika duduk di bangku SMP dan SMA waktu indra banyak dihabiskan di depan komputer. Browsing internet berjam-jam, terus download artikel-artikel. Sesekali, semenit-dua menit menit dia chatting. Habis itu check email. Jarang ke perpustakaan sekolahnya, karena buku-buku di perpustakaan sekolah ga’ ada yang menarik minatnya, isinya semua buku pelajaran. Seringnya ke toko buku Gra*ed*a di daerah Matraman. Indra juga punya beberapa teman untuk diajak diskusi buku. Kalau teman-temannya sekelas ada acara jalan-jalan ke mall kadang dia ngikut, terus pas teman-temannya pada cuci mata, main ditempat permainan Ti*e Zon*, Indra milih asyik di toko buku. Lucunya ketika SMA guru Bahasa Indonesianya iseng ngasih tugas “mengarang bebas” waktunya 90 menit, sebagian besar teman-temannya menulis karangan dengan judul “BERLIBUR KE RUMAH NENEK DI DESA”

Sekarang Indra sudah kuliah, minat bacanya masih seperti dulu, dan tetap saja stempel ”kutu buku ” melekat pada dirinya. Stempel itu juga tetap dianggap aneh oleh teman-temanya, lingkungannya bahkan masyarakatnya. Budaya plagiat dalam menulis skripsi menjadi hal yang biasa pada bangsanya.Indra sadar, minat baca masyarakat bangsanya lemah, selemah bangsanya keluar dari berbagai macam krisis yang berkepanjangan. Semuanya hanya bermasalah pada paradigma, minat dan pengetahuan akan pentingnya membaca bagi masyarakat bangsanya. Padahal Tuhannya Indra (Allah SWT. Red), yang juga Tuhannya hampir 90% masyarakat bangsanya menyeru untuk membaca pada kata pertama firmannya. Kalau membaca saja sulit, gimana menulissss ? wallahu’alam bishawab.

Hadin A. Miftah
© 09-08-06

Wednesday, August 09, 2006

Hati-hati terhadap Pendidikan Advokat Tidak Resmi

Berhubung masih ditemukan pihak-pihak yang masih menyelenggarakan Pendidikan Profesi Advokat (PKPA) yang mengatasnamakan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), maka dengan ini kami rasakan perlu untuk mengumumkan kembali mengenai PENGHENTIAN SEMENTARA PENYELENGGARAAN PKPA terhitung sejak Februari 2006.

DPN PERADI menyatakan tidak pernah memberikan persetujuan dalam bentuk apapun terhadap penyelenggaraan PKPA yang dilakukan setelah Februari 2006. Dengan demikian, PERADI tidak bertanggung jawab atas penyelenggaraan PKPA sebagaimana dimaksud. Karena itu, segala akibat hukum yang timbul dari penyelenggaraan PKPA sebagaimana dimaksud di atas semata-mata menjadi tanggung jawab penyelenggara PKPA yang bersangkutan.

Setiap penyelenggaraan PKPA yang dilakukan tanpa persetujuan dari PERADI dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai pendidikan khusus profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Karena itu, PKPA sebagaimana dimaksud di atas tidak akan diakui oleh PERADI sebagai PKPA yang merupakan salah satu syarat untuk menjadi advokat.

Berkaitan dengan itu, Ketua Komisi Pendidikan Khusus Profesi Advokat Indonesia (KP2AI), Fauzie Yusuf Hasibuan menyatakan, pelaksanaan PKPA mendatang akan diumumkan melalui surat resmi oleh PERADI.(AMR)

Tuesday, August 08, 2006

Terbuka, Peluang untuk Keluar dari Gugatan Class Action

Gugatan perwakilan kelompok terhadap Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) masih bergulir. Pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok (class action) yang diajukan oleh M. Cholil Saleh dan empat penggugat lainnya telah dilakukan melalui beberapa kantor pengadilan, di antaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pemberitahuan tersebut ditujukan kepada para peserta ujian profesi advokat tanggal 4 Februari 2006. Dalam pemberitahuan itu antara lain disebutkan bahwa apabila ada anggota kelompok yang tidak ingin bergabung dan terikat dengan gugatan perwakilan kelompok itu, maka yang bersangkutan dapat membuat pernyataan keluar secara tertulis.

Pernyataan keluar dari keanggotaan kelompok disampaikan kepada Kepala Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat cq. Panitera Pengganti beralamat di Jl. Gajah Mada No. 17, Jakarta Pusat, dan juga kepada Para Penggugat cq. Kuasa Hukum Sebelas Bakti Associates beralamat di Jl. Tomang Raya No. 2, Jakarta Pusat.

Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan anggota kelompok tidak memberikan pernyataan keluar secara tertulis, maka yang bersangkutan terikat serta tunduk pada putusan majelis hakim dalam perkara ini. Adapun jangka waktu yang dimaksud adalah 30 hari sejak gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah oleh majelis hakim yaitu 20 Juli 2006.

Kuasa hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dalam perkara gugatan perwakilan kelompok, Daniel Panjaitan menyatakan bahwa pihaknya telah mengetahui pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok yang dilakukan di beberapa kantor pengadilan di Jakarta. Meski demikian, Daniel mengatakan, dia belum melihat pemberitahuan yang sama melalui media massa nasional.

Sekadar tahu, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok mengatur bahwa cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.

Daniel mengatakan pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok melalui media massa nasional penting karena para peserta ujian advokat tersebar di 18 kota di Indonesia. Hal demikian, menurut Daniel, telah disetujui oleh majelis hakim pada persidangan 20 Juli silam.

Pada sisi lain, dalam pemberitahuan tersebut juga dikatakan, apabila ada anggota kelompok yang berkeinginan untuk bergabung dan mengikatkan diri sebagai penggugat, maka yang bersangkutan tidak perlu membuat pernyataan tertulis apapun. Pihak yang tidak menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok akan terikat pada putusan majelis hakim.

Sekadar mengingatkan, gugatan perwakilan kelompok diajukan oleh lima orang peserta ujian advokat pada 5 Juni silam. Gugatan tersebut diajukan dengan mengatasnamakan diri sendiri dan seluruh peserta ujian yang berjumlah 6.508 orang. Kelima penggugat itu adalah M. Cholil Saleh, Muhtarom Lardy Syam, M. Tigor P. Simatupang, Tohap Jepry, dan Gunawan Wibisono. Kelimanya adalah peserta yang dinyatakan tidak lulus ujian advokat Februari silam.(AMR)

Friday, August 04, 2006

Advokat Ditantang Tandatangani Deklarasi Anti-Suap

Dari pemberitaan di media massa diketahui banyak advokat yang tidak profesional dan tidak menjalan tugas profesi sesuai dengan kode etik. Bahkan, Sudah ada putusan pengadilan terhadap advokat yang terbukti melakukan suap. Karena itu, keberanian advokat untuk menandatangani Deklarasi Anti-Suap dinilai sebagai sesuatu hal yang penting.

Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Harry Ponto, dalam sambutannya pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) di Jakarta, Kamis (3/8) malam. Acara itu dihadiri pula oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Mariana Sutadi, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tumpak H. Panggabean.

Harry lebih jauh mengungkapkan, sejak 2003 hingga Juli 2006 terdapat sekitar 115 pengaduan pelanggaran kode etik oleh advokat. Harry menilai hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka makin tinggi. “Jadi, kita (advokat, red) mungkin harus makin prudent (hati-hati, red) dalam menjalankan tugas profesi,” tegas Harry.

Melawan advokat tidak profesional
Menanggapi tema Rakernas yaitu “IPHI Sebagai Motor Penggerak Melawan Penegak Hukum yang Tidak Profesional”, Harry menyatakan, penegak hukum yang dimaksud tidak hanya polisi, jaksa dan hakim, tetapi juga advokat itu sendiri. Ia berharap, Rakernas akan membahas program-program kerja yang meningkatkan profesionalitas advokat.

Terkait hal itu, Harry melanjutkan, sebagai Organisasi Advokat menurut Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat, tugas PERADI adalah meningkatkan kualitas profesi advokat. Untuk melaksanakan hal itu, PERADI yang baru dibentuk 1,5 tahun silam masih berkutat pada penguatan organisasi dan pelaksanaan bidang sertifikasi advokat yang meliputi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), ujian, dan magang.

“Khusus untuk ujian profesi advokat, jika sebelumnya ditengarai berlaku praktik suap jika mau lulus, maka ujian pertama yang diselenggarakan PERADI pada februari silam bebas suap dan KKN. Ini langkah awal untuk meningkatkan kualitas profesi advokat,” papar Harry. Ia juga mengatakan bahwa saat ini PERADI sedang memperkuat Dewan Kehormatan sebagai organ penegakan kode etik advokat.

Karena itu, Harry berharap Rakernas IPHI dapat menghasilkan program-program yang mengarah pada peningkatan profesi advokat seperti pendidikan hukum berkelanjutan (continuous legal education). Di samping itu, konsisten dengan tema rakernas, Harry mempertanyakan keberanian IPHI untuk menandatangani Deklarasi Anti-Suap.

Mewujudkan supremasi hukum
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Tumpak H. Panggabean menyatakan, meski dalam praktiknya kepentingan KPK dan advokat berbeda, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni mewujudkan supremasi hukum. Selain itu, Tumpak juga menegaskan bahwa KPK bukanlah lembaga super dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurutnya, keistimewaan KPK hanyalah karena memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus.

Sementara itu, Wakil Ketua MA Mariana Sutadi mengatakan bahwa advokat adalah mitra kerja hakim di mana saja dan kapan saja. Di sisi lain, Mariana menyoroti fenomena banyaknya advokat yang kalah berperkara sering melaporkan hakim kepada Presiden RI, serta lembaga-lembaga lain, termasuk Komisi Yudisial dan KPK. Umumnya, kata Mariana, para advokat itu menuduh hakim yang memeriksa perkaranya melakukan kolusi.

Mariana juga menekankan pentingnya Organisasi Advokat sebagai lembaga pengawas advokat dalam menjalankan tugasnya. Mariana menandaskan, korps hakim juga berkepentingan dengan keberadaan Organisasi Advokat beserta Komisi Pengawas di dalamnya demi menjaga kemandirian peradilan. “Kemandirian peradilan adalah sesuatu yang tidak mungkin dijaga sendiri oleh hakim,” cetusnya.

Tuesday, August 01, 2006

Pak Dan yang saya kenal

Dunia hukum Indonesia berduka. Profesor Emeritus Daniel S. Lev, Indonesianis dari University of Washingto, Seattle, AS, wafat pada Sabtu (29/7) siang waktu setempat atau Ahad (30/7) dini hari waktu Indonesia. Pak Dan meninggal pada usia 72 tahun akibat kanker paru yang dideritanya. Ayah dari seorang istri dan ayah dari dua orang anak itu adalah seorang guru, mentor dan, menurut The Seattle Times, mantan petinju.

Namun, sosok Pak Dan yang saya kenal sangat jauh dari sosok petinju yang umumnya keras. Saya terkesan dengan pribadi Pak Dan yang ramah dan penyabar. Saat masih bekerja buat Hukumonline.com, Saya beruntung mendapat kehormatan mewawancarai Pak Dan head to head pada 2003 silam. Salah satu wawancara terbaik yang pernah saya kerjakan dalam karir sebagai jurnalis.

Waktu itu, saya mewawancarai Pak Dan usai memberikan kuliah umum dalam sebuah seminar (3 April 2003). Keletihan jelas terlihat di wajah Pak Dan, tapi itu tidak menghalangi beliau untuk melayani saya yang saat itu, mungkin, agak memaksa. Sambil menyantap makanan kecil serta kopi yang disediakan penyelenggara seminar, Pak Dan dengan sabar menjawab satu-per-satu pertanyaan saya. Ya, saya menyita maktu makan siang Pak Dan. Biar begitu, Pak Dan tak segan memberikan beberapa jawaban yang panjang lebar tentang profesi advokat dan organisasi advokat. Semuanya dilakukan Pak Dan dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Pak Dan dikenal sebagai Indonesianis yang konsisten dan jernih dalam ulasannya mengenai dinamika hukum dan politik Indonesia sejak 1970-an. Tak hanya lewat kuliah di kampus, Pak Dan banyak terlibat secara aktif dalam upaya perbaikan hukum dan kebijakan di Indonesia. Pada 1999, Pak Dan menjadi salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama sejumlah advokat dan aktivis hukum di Indonesia.

Perhatian dan keprihatinan Pak Dan akan masa depan profesi hukum, khususnya, advokat Indonesia, tak perlu lagi dipertanyakan. Sebagai salah seorang yang telah mengamati dunia profesi hukum Indonesia sejak tahun 50-an, Dan tampaknya mengerti benar bahwa organisasi advokat yang kuat mustahil terwujud jika tidak berwujud wadah tunggal seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Jadi, bukan federasi. Namun, satu hal yang sungguh ia sayangkan, para pimpinan organisasi advokat belum ikhlas untuk disatukan. Saat itu, meski UU No.18/2003 tentang Advokat telah disahkan, namun organisasi advokat belum terbentuk.

Pak Dan menegaskan, tuntutan kalangan untuk dapat disederajatkan dengan penegak hukum lain -- polisi, jaksa dan hakim -- bukan diperoleh dari undang-undang. "Banyak advokat mengira bahwa kalau mereka diakui pemerintah dengan undang-undang berarti bahwa sekarang mereka akan diterima oleh hakim dan jaksa sebagai orang-orang yang sama rasa, sama rata di dalam sistem hukum. Ini omong kosong," ucap Pak Dan waktu itu. Menurutnya, pengakuan hanya dapat diperoleh dari keberpihakan profesi advokat kepada kepentingan masyarakat melawan hakim, jaksa, polisi dan, tidak terkecuali, advokat yang korup.

Pak Dan juga berpandangan agar advokat menjadi profesi yang kuat dan berwibawa, maka perlu dibentuk organisasi advokat yang tunggal. Organisasi advokat yang berbentuk federasi tidak dipandang sebagai opsi olehnya. "Federasi di situ berarti sama sekali bukan organisasi lagi. Itu betul-betul begitu gampang diadu domba. Pemerintah tidak menginginkan suatu organisasi advokat yang kuat, mereka itu hanya mengacaukan. Hakim (juga) benci ide itu," cetusnya.

Harapan Pak Dan akan munculnya organisasi advokat yang kuat dan berwibawa terus diperjuangkan untuk diwujudkan. Semoga keprihatinan Pak Dan juga menjadi keprihatinan advokat Indonesia.

Asfinawati, Direktur LBH Jakarta 2006-2009

Dari hukumonline.com:

"Akhirnya Asfinawati terpilih sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta periode 2006-2009. Dalam pemilihan yang memperebutkan 15 suara staf dan karyawan LBH Jakarta, Jumat (28/7), dara kelahiran Bitung ini beroleh 10 suara, meyisihkan Taufik Basari (1 suara) dan Erna Ratnaningsih (4 suara). "

Selamat buat Asfin, semoga Allah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada Anda dalam mengemban amanat sebagai pimpinan LBH Jakarta untuk tiga tahun ke depan. Sukses selalu.

Wednesday, July 26, 2006

Isu federasi kembali muncul

Atmosfir jagad advokat Indonesia kembali memenas pasca-musyawarah pimpinan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) 20-21 Juli. Dalam kesempatan ini, AAI melahirkan sejumlah keputusan, salah satunya untuk mendorong Peradi berbentuk federasi. Entah ada angin apa yang membuat Ketum AAI kembali mencuatkan ide federasi. Namun, yang pasti ini adalah sebuah persoalan baru di Peradi. Apalagi, AAI secara frontal menentang pembentukan cabang Peradi di daerah.

Perkembangan ini sudah tentu bisa dipandang sebagai dinamika di dunia per-advokat-an di Indonesia. Namun, pada sisi lain, manuver AAI bisa membawa kemunduran pada Peradi sebagai Organisasi Advokat yang hendak memperjuangkan persatuan dan membuang jauh perpecahan.

Sunday, July 23, 2006

'Siapa yang benar biarlah benar...'

Lebih dari satu tahun sejak dibentuk, pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) akhirnya berkesempatan bertemu Presiden SBY di Istana Negara pada 15 Mei silam. Dalam kesempatan itu, Presiden SBY mengharapkan agar Peradi dapat memberikan bantuannya kepada pemerintah dalam rangka pembangunan hukum, Juga dalam rangka penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi, hendaknya Peradi dapat memperjuangkan dengan cara yang elegan, dengan cara siapa yang salah biarlah bersalah, siapa yang benar biarlah benar.

Imbauan sederhana, namun agaknya pelaksanaannya luar biasa sulit...

Gagal ujian, ke pengadilan...

Para calon advokat yang tidak lulus ujian setahun silam meradang. Sebagian dari mereka mengajukan gugatan class action terhadap Peradi. Nilai gugatan ganti rugi yang diajukan para penggugat luar biasa, Rp 8 miliar! Kabar baik baru-baru ini bertiup dari arah para penggugat: gugatan mereka dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tapi, yang gak kalah seru adalah tanggapan para calon advokat yang lulus ujian. Mereka mulai ambil ancang-ancang untuk mengambil upaya intervensi dalam gugatan class action di atas. Hal itu didasari akan kekhawatiran mereka jika kelulusan mereka akan dianulir jika Peradi dikalahkan dalam gugatan tersebut. Tentu, dampak dari kekalahan Peradi jauh lebih besar dari itu mengingat gugatan mempersoalkan sah/tidaknya Peradi sebagai organisasi.

Mulutmu, harimaumu...

Advokat Eggi Sudjana masuk ke pengadilan. Kali ini bukan sebagai pembela, tapi sebagai yang dibela alias terdakwa. Tragis, kasus yang menyeretnya ke pengadilan adalah terkait fitnah terhadap Presiden SBY. Perbuatan Eggi menghina presiden secara sengaja di depan umum itu diancam hukuman pidana maksimal selama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500 sesuai dengan Pasal 134 KUHP. Demikian pemberitaan di Hukumonline.

Sayangnya, kalangan setingkat advokat sekalipun sering lupa akan pepatah keramat: mulutmu harimaumu.

Sunday, July 02, 2006

Ganti Nama

Hari ini saya putuskan untuk mengganti nama blog saya dari semula "The Fig Bish: Blognya Amrie Hakim", menjadi "Si Ikan Besar". Nafasnya masih sama kok, The Big Fish.

Saya masih menghadapi tantangan untuk mempromosikan blog ini supaya masuk ke Google. Rupanya, saya kurang disiplin untuk mem-posting, bahkan satu posting sepekan pun tidak gol.

Info lainnya adalah saya baru bikin blog baru di Yahoo: Bukuku Syurgaku. Tadinya, saya pikir nama itu eksklusif, tapi ternyata frasa itu terlacak di Google dan dicetuskan oleh pakar filsafat, Franz Magnis Suseno. Ya nggak apalah, semoga saya jadi tertular sifat-sifat baik dari Romo Franz.

Salam,

Amr

Thursday, June 22, 2006

Advokat Top = Advokat yang Tepat?

Amrie Hakim

You don’t want to quit me, I’m your dream client: I’m the most fun, I’m rich, and I’m always in trouble” – Larry Flint.

Dalam waktu tidak sampai satu pekan, Lidya Pratiwi telah beberapa kali berganti advokat. Pada akhir Mei silam, Hotman Paris Hutapea menyatakan mundur sebagai penasihat hukum Lidya, tersangka kasus pembunuhan terencana terhadap seorang model, Naek Gonggom Tobing , di Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta Utara pada 27 April silam. Hal itu dilakukan karena belakangan Hotman baru mengetahui Lidya, artis sinetron yang baru berusia 19 tahun itu, sebelumnya telah resmi menunjuk advokat lain, Ferry Firman, untuk mendampinginya.

Kisruh pendampingan Lidya kemudian berlanjut pada pembatalan surat kuasa antara Lidya dan Ferry. Kepada media, Lidya mengaku bersedia didampingi advokat beken tersebut karena tidak sanggup membayar uang jasa hukum (fee) yang ditawarkan Ferry. Di pihak lain, Hotman menawarkan jasa pendampingan tanpa fee alias gratis kepada Lidya karena faktor keartisannya. Hotman mengumumkan, dia hanya membela Lidya dan tidak tiga tersangka lainnya, termasuk ibu dan paman Lidya, Vince dan Tony Yusuf.

Bayangan akan kehilangan advokat pun segera menghantui Lidya. Apalagi, pemeriksaan oleh penyidik terus berjalan dan dia, bersama sang paman, menghadapi ancaman hukuman mati. Atas saran Hotman, Lidya kemudian mengirim surat ke Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum Ikadin untuk memohon bantuan. Permintaan itu disetujui, DPP Ikadin kemudian menugaskan tim yang terdiri dari sembilan advokat untuk mewakili Lidya juga tanpa dibayar.

Masalah dalam pendampingan hukum Lidya seperti di atas terjadi setidaknya karena dua hal yaitu keterbatasan pengetahuan akan hukum, khususnya dalam memilih advokat, serta keterbatasan dana untuk membayar advokat (mahal). Kondisi yang dihadapi Lidya boleh dikatakan kurang menguntungkan. Terakhir diberitakan bahwa dalam berita acara pemeriksaan (BAP) terbaru penyidik telah meningkatkan posisinya menjadi otak pembunuhan, dari semula sebagai umpan untuk perencanaan pembunuhan korban.

Pergantian advokat berkali-kali dalam waktu yang berdekatan tentu membuat pendampingan tersangka (klien) menjadi kurang efektif yang pada akhirnya merugikan yang bersangkutan. Lidya, misalnya, jelas tidak sempat mencari tahu tentang hal-hal mendasar apa yang perlu diperhatikan dalam memilih advokat, seperti misalnya apakah advokat yang bersangkutan telah berpengalaman dalam menangani kasus sejenis? Jika iya, kapan terakhir kali si advokat melakukannya dan bagaimana hasilnya?

Terkait dengan biaya pembelaan, seorang calon klien juga perlu memastikan perjanjian biaya jasa hukum si advokat. Jika ada komitmen pembelaan secara gratis misalnya, juga perlu dipastikan apakah hal itu berarti fee maupun pengeluaran (expenses) dalam proses berperkara akan ditanggung seluruhnya oleh si advokat? Apakah klien tersebut mendapatkan hak yang sama dengan klien lain yang membayar? Kemudian, apakah perjanjian pemberian jasa hukum dilakukan secara tertulis.

Mencari advokat yang tepat memang bukan perkara mudah, bahkan bagi para advokat sekalipun. Faktor ketenaran seorang advokat, misalnya, belum cukup menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan adalah advokat yang tepat bagi kasus yang kita hadapi. Advokat seharusnya dipilih berdasarkan keahlian dan pengalaman yang bersangkutan dalam bidang yang spesifik. Advokat yang tepat adalah seseorang yang memiliki pengalaman substansial dalam menangani kasus yang sangat mirip dengan kasus anda serta yang dapat dan akan bertindak cepat (Richard Alexander, Mistakes To Avoid Before You Hire A Lawyer).

Pencarian dapat dimulai dari berbagai sumber. Media seperti direktori advokat, internet, majalah, Yellow Pages, atau televisi dapat digunakan sebagai permulaan. Tidak sedikit pula orang yang memperoleh informasi tentang advokat tertentu lewat referensi dari pihak atau advokat lain. Langkah berikutnya adalah melakukan serangkaian perbandingan melalui pertemuan/wawancara dengan sejumlah advokat yang hendak dipilih. Tahapan ini sangat penting untuk memastikan hal-hal seperti apakah si advokat memiliki pengalaman dan waktu untuk menangani kasus anda, dan, yang paling penting, apakah sang klien merasa nyaman bekerja dengan advokat tersebut.

Masalah biaya perlu mendapat perhatian khusus. Meski faktor biaya jasa hukum jarang menjadi faktor yang menentukan dalam memilih advokat, kecuali masalah hukum si klien relatif sederhana. Namun, adalah hal terpenting bagi klien untuk merasa nyaman dan mengetahui perjanjian soal biaya jasa hukum. Tipe perjanjian biaya jasa hukum berbeda-beda dari satu advokat dengan advokat yang lain. Pada umumnya, advokat menerapkan sistem fee berdasarkan hitungan per jam (hourly), tetap (fixed), retainer, contigency, serta rujukan (referral).

Uang jasa hukum yang dihitung per jam pun bisa berbeda di antara para advokat. Untuk mengetahui estimasi total biaya jasa hukum, klien dapat meminta si advokat untuk memperkirakan berapa lama waktu penyelesaian perkara. Sedangkan, perjanjian jasa hukum berdasarkan fixed/flat fee umumnya diterapkan pada urusan hukum yang sederhana dan rutin. Advokat tidak menerapkan flat fee tidak untuk pemberian jasa hukum seperti litigasi di pengadilan.

Retainer fee di pihak lain digunakan sebagai jaminan bahwa si advokat setiap saat siap mengerjakan kasus sang klien. Hal demikian berarti si advokat dapat menolak kasus lainnya demi menyediakan waktunya untuk menangani kasus klien. Sebagai konsekuensinya, seorang klien retainer akan dikenakan biaya yang relatif lebih tinggi untuk pekerjaan itu. Dalam kasus tertentu, retainer fee dapat dianggap sebagai uang muka bagi layanan hukum apapun yang klien perlukan di kemudian hari.

Uang jasa kontigensi lazimnya diterapkan berdasarkan persentase ganti rugi yang diperoleh sang klien dari putusan pengadilan. Jika si klien kalah, maka si advokat tidak memperoleh uang jasa hukum. Meski demikian, si klien tetap harus membayar semua pengeluaran si advokat selama menangani kasus tersebut. Uang jasa kontigensi biasanya berlaku bagi kasus-kasus yang menyangkut kecelakaan individu, seperti malpraktik medis atau juga hukum.

Terakhir, referral fee adalah uang jasa yang dikutip advokat yang pertama kali menerima kasus anda tapi kemudian menyerahkannya kepada advokat lain yang lebih berpengalaman. Kadangkala, advokat yang pertama akan meminta porsi tertentu dari total uang jasa hukum yang si klien bayarkan untuk kasus tersebut. Di Amerika, sebagian negara bagian melarang penerapan referral fee kecuali jika telah memenuhi sederet kriteria tertentu, salah satunya yaitu adanya persetujuan lebih dulu dari klien. Uraian soal tipe-tipe perjanjian uang jasa hukum antara lain dapat dilihat di situs http://www.lectlaw.com/.

Dalam hal pembelaan dilakukan secara pro bono atau tanpa biaya pun si klien terkadang diminta kesediaannya untuk mengeluarkan uang untuk membiayai pengeluaran selama penanganan perkara. Namun, seringkali seluruh biaya bantuan hukum, baik fee maupun pengeluaran, ditanggung penuh oleh si advokat dengan pertimbangan si klien tidak memiliki kemampuan secara finansial. Perjanjian pemberian jasa hukum, baik dilakukan secara komersil maupun pro bono, harus dipastikan tertuang dalam kontrak tertulis. Perselisihan perihal fee jasa hukum seringkali terjadi antara klien yang kurang puas dan si advokat.

Menyerahkan kasus pada firma hukum besar atau advokat tenar tidak menjamin bahwa si klien akan merasa puas dan nyaman. Advokat tenar atau firma hukum besar umumnya memasang tarif yang lebih mahal ketimbang firma kecil atau advokat yang berpraktik di daerah pinggiran. Sebagian besar karena biaya overhead mereka yang lebih tinggi dibanding firma kecil. Demikian seperti diungkapkan oleh seorang advokat senior asal Amerika, Norman Roy Grutman, dalam artikelnya “How to Court A Laywer” (Saturday Evening Post, 1990). Grutman adalah advokat yang pada 1986 mewakili Pendeta Jerry Fallwell melawan Larry Flint yang tidak lain adalah pemilik majalah porno Hustler yang kala itu dibela Alan L. Issacman, advokat top dari firma besar.

Grutman mengatakan, “the largest firm, Baker & McKenzie, the McDonald's of law, has offices around the world. But size can be deceiving. Among larger firms it is common for name partners (the "finders") to sign up cases, then hand the actual work over to junior associates (the "grinders"). As a result, clients frequently pay for top-quality attention they never get”.

Singkatnya, memilih advokat yang tepat untuk membantu penanganan persoalan hukum anda adalah proses yang panjang dan perlu persiapan matang. Tidak ada jalan pintas menuju ke sana. Adalah faktor penting untuk tidak memilih advokat semata-mata karena anda memiliki ketertarikan yang sama atau karena terkesan dengan reputasi si advokat atau firma hukum yang bersangkutan. Lebih dari itu, seorang klien harus merasa puas dengan keahlian dari orang-orang yang benar-benar bekerja menangani kasusnya. Dan, adanya hubungan kerja yang baik dengan sang advokat juga dapat menghantarkan anda kepada hasil yang terbaik.

Saturday, May 27, 2006

Fenomena Blog dan Praktik Hukum di Internet

Anda tidak perlu pengacara untuk menggugat pihak lain. Situs ini akan membantu anda mencari keadilan lewat proses menggugat di Indonesia.”

Catatan di atas dapat anda temui pada weblog atau biasa disingkat blog milik Markus H. Dipo, mjccase.blogspot.com. Jangan keliru, Markus bukanlah seorang advokat. Dia “hanya” dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, selain sebagai konsultan bisnis dan manajemen. Blog yang diberi nama “Kursus Hukum dari Orang Awam untuk Orang Awam” berisikan tips dan petunjuk untuk menggugat pihak lain secara perdata tanpa perlu bantuan pengacara. Materi yang dimuat dalam blog itu sendiri adalah hasil riset maupun kasus hukum yang dialami yang bersangkutan. Apa itu blog dan sejauh mana blog dapat dimanfaatkan dalam praktik hukum oleh advokat sungguhan?

Secara sederhana blog dapat diartikan website pribadi yang memuat jurnal maupun catatan yang bersangkutan yang dimutakhirkan secara berkala mengenai beragam topik. Jumlah blog di Indonesia, menurut riset Priyadi, salah seorang blogger – sebutan bagi pembuat/pemilik blog – saat ini mencapai 30.000 buah. Salah satu blog perintis di Indonesia milik Enda Nasution, mengutip laporan Technocrati (mesin pencari blog) per April 2006, menyebutkan ada dua blog lahir setiap detik, setiap harinya. Jumlah blog bertambah dua kali lipat setiap enam bulan sekali.

Blog memang telah cukup lama menjadi sebuah fenomena, di samping hebohnya website pertemanan friendster. Para blogger datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, profesional, aktivis sosial, pedagang, sampai ibu rumah tangga. Khusus bagi para profesional di Amerika, khususnya advokat serta akademisi hukum, blog telah dipandang sebagai fenomena besar baru di bidang sosial, politik dan ekonomi. Demikian seperti diungkapkan Gary Becker, peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi dan profesor pada University of Chicago, sebagaimana dikutip Helen W. Gunnarsson dalam “Do We Blawg and How?” (Illinois Bar Journal, May 2006, Vol. 94).

Di Negeri Paman Sam, blog yang menyangkut bidang hukum populer dengan sebutan blawg sebagai kependekan dari law blog. Robert J. Ambrogi, advokat dan konsultan internet, memperkirakan ada sekitar 1.000 blawg di Amerika, dan blawg lainnya terus bermunculan setiap harinya. Demikian dilaporkan dalam “Lawyers leap into 'Blogosphere'” (Lawyers Weekly USA, 25 May 2005). Buat ukuran Amerika, jumlah itu memang belum dapat dikategorikan banyak mengingat jumlah advokat di negara itu yang mencapai ratusan ribu.

Berbeda dengan rekan sejawat di Amerika, advokat di Indonesia rupanya belum terlalu ngeh dengan fenomena blog. Blog yang khusus mengupas dunia hukum dan praktik keadvokatan masih sangat langka. Dengan jumlah blog di Indonesia yang mencapai 30.000 buah serta jumlah advokat yang sedikitnya ada 16.000, tentu kita bertanya-tanya mengapa sulit menemukan advokat yang menjadi blogger. Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakanginya; pertama, advokat Indonesia belum menyadari pentingnya blog bagi pekerjaan mereka. Kedua, mereka, advokat/kantor advokat merasa keberadaan website sudah mencukupi untuk menjangkau klien dan publik sebagai potensial klien.

Bagi advokat, blog rupanya tidak hanya dapat menjadi media untuk menuangkan catatan maupun pandangan pribadi terhadap isu tertentu, tapi juga sebagai sarana “berjualan” alias menjaring klien potensial. J. Craig Williams, advokat litigasi di Newport Beach, California, memperkirakan blog miliknya, mayitpleasethecourt.net, bisa menghasilkan satu klien baru per minggu bagi kantornya yang memiliki lima advokat. Williams menyebutkan, blog yang ia buat sejak 2003 itu mendapatkan 20.000 hits per hari. “Jika mereka akan menyewa jasa saya, mereka dapat membaca apa yang saya tulis dan tahu mengenai saya tanpa pernah mendatangi saya secara langsung,” kata Williams.

Jurus ini pula yang dicoba ditiru Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, seorang advokat di Tangerang, Banten, dengan blognya, advokatku.blogspot.com. Selain mencurahkan ulasan kritisnya terhadap isu-isu hukum aktual, Wahyu juga memanfaatkan blognya untuk mendapatkan klien potensial. “Bagi pencari keadilan tapi belum berkeinginan menggunakan jasa advokat/Pengacara atau merasa mampu untuk menyelesaikannya tapi terkendala dengan pranata-pranata hukum yang ada. Kini anda tidak perlu lagi memendamkannya atau menggunakan cara penyelesaiannya menurut cara anda sendiri. Hubungi : NM. WAHYU KUNCORO, S.H. Advokat/Pengacara-Penasihat Hukum”, begitu tulis Wahyu dalam blognya.

Jika sudah ada website buat apalagi blog? Setidaknya ada dua kelebihan blog dibandingkan website; jauh lebih murah dan, secara teknis, pembuatannya relatif lebih mudah. Di Amerika sendiri blog terbukti media pemasaran yang efektif bagi advokat yang berpraktik solo serta kantor hukum skala kecil. Di sana, untuk membuat website memerlukan sekitar USD 10.000, sedang untuk membuat blog cuma merogoh USD 10 saja dari kocek. Bahkan, blog dapat dibuat tanpa biaya alias gratis lewat beberapa website seperti blogger.com, friendster.com, typepad.com, atau tripod.com.

Namun, pemasaran jasa hukum lewat blog juga ada kiat-kiatnya. Larry Bodine, konsultan pemasaran jasa hukum yang juga pengarang buku “Larry Bodine’s Professional Marketing Blog”, menyarankan kantor hukum memanfaatkan blog untuk memamerkan keahlian mereka. Menurut Bodine, sebuah blog harus fokus pada bidang hukum yang spesifik, seperti misalnya paten atau hukum keluarga. Selain itu, blog harus juga dimutakhirkan secara rutin dengan perkembangan hukum di bidang terkait. Ini satu lagi keuntungan blog dibandingkan website yang cenderung stagnan; blog dapat dimutakhirkan, bahkan beberapa kali dalam sehari.

Masih menurut Bodine, alasan penting lainnya mengapa harus memiliki blog adalah untuk meningkatkan visibilitas kantor hukum di internet. Pasalnya, Google dan mesin pencari lainnya mengukur relevansi situs dari seberapa sering situs itu dimutakhirkan serta berapa banyak situs lain yang menghubungkan (link) ke situs yang bersangkutan. “Alasan anda ingin memiliki blog adalah karena dia memperoleh lebih banyak traffic ketimbang website lantaran mesin pencari telah mempercepat algoritmanya untuk mencari daftar blog lebih dulu,” kata Bodine. Secara mendasar, blog adalah “mahluk” yang diburu mesin pencari; teks dan sesuatu yang baru serta menarik.

Secara alamiah, blogger kerap memandang diri mereka seolah-olah sebagai jurnalis. Mereka kerap kali melaporkan (baca: menuliskan) serta memberikan komentar beserta analisis mengenai isu-isu hukum yang sedang hangat. Seperti disebutkan di awal, blawg yang baik adalah yang isinya spesifik mengenai bidang hukum tertentu. Robert J. Ambrogi, pengarang buku “The Essential Guide to the Best (and Worst) Legal Sites on the Web," dalam kolomnya “Blawgs: More Than Just Fluff” (Law.com), membuat daftar 31 blawg yang dianggap berguna bagi praktik hukum. Karena tidak sedikit materi dalam blog yang berkualitas, maka banyak blog yang memiliki pengunjung setia atau bahkan menjadi pelanggan (subscriber) dari blog tersebut.

Bahkan, institusi setingkat Mahkamah Agung Amerika (US Supreme Court) tercatat pernah mengutip isi blog “Sentencing Law and Policy” pada putusannya dalam perkara U.S. v. Booker pada Januari 2005. Pemilik “Sentencing Law and Policy” memang bukan sebarang orang. Douglas Berman, si empunya blog, adalah profesor hukum di Ohio State University, pakar serta penulis buku teks tentang hukum pemidanaan. Blog milik Berman mencetak rata-rata 3.000 hits per hari dan sempat mencapai 20.000 hits sehari saat putusan perkara Booker dibacakan. Blog tersebut juga dikutip oleh enam pengadilan berbeda karena analisis kasusnya yang substantif.

Melihat betapa besar pengaruh yang mampu dihantarkan media bernama blog, maka bagi advokat ada sejumlah rambu yang perlu diperhatikan. Sedikitnya ada tiga isu praktis dan etis berkaitan advokat-blogger: mengizinkan atau tidak pembaca untuk menuliskan komentar, memasang disclaimer, dan apakah blog dapat dikategorikan sebagai iklan. Konsultan manajemen praktik hukum dari Washington DC, Reid Trautz, menyarankan agar advokat menggunakan “pendekatan paling aman” saat membuat blog.

Karena itulah, penting bagi advokat untuk membuat disclaimer yang umumnya tercantum dalam website kantor hukum bahwa tidak ada hubungan advokat-klien dan bahwa situs tersebut hanya untuk kepentingan informasi belaka (informational purposes only). Karena alasan itu, beberapa blawg tidak mengizinkan pembaca memberikan komentar. Hal lainnya menyangkut, dapatkah blog digolongkan sebagai iklan? Undang-undang RI No.18/2003 tentang Advokat memang melarang advokat untuk beriklan. Namun, jika isi blog tak ubahnya sebuah website maupun direktori kantor hukum yang telah banyak bertebaran, dan tidak mengandung janji-janji yang sedemikian rupa dapat merugikan salah satu pihak, maka blog tidak bisa dikatakan melanggar UU Advokat.

Hal lain yang penting dalam aktivitas blogging adalah kontinuitas atau keberlanjutan. Advokat-blogger harus memiliki komitmen untuk menulis di blog sedikitnya tiga atau empat kali dalam sepekan. Sementara, blogger lain berpendapat, komitmen untuk mem-posting tulisan seminggu sekali saja sudah cukup. Hal yang pertama adalah membuat blog menjadi mapan. Butuh waktu lama bagi mesin pencari untuk menemukan blog anda atau blogger lain untuk merantai blog anda. Banyak blog yang memulai dengan baik, namun kemudian berakhir mengenaskan. "Blogging is easy, but isn't good unless you have a plan and commit to it. It's a writer's medium," cetus Dennis Kennedy, penulis, advokat asal St. Louis, serta pemilik blog denniskennedy.com.

Kennedy mengatakan, pada satu sisi internet tidak ada kaitannya dengan praktik hukum, tapi pada sisi lain internet adalah segala-galanya bagi praktik hukum. Internet membuka jangkauan komunikasi seorang advokat dengan memungkinkannya mengedukasi banyak orang serta berhubungan dengan klien, advokat lain, dan masyarakat umum, melampaui praktik hukum tradisional. Melalui kedigdayaan internet, kata Kennedy, advokat-blogger mengembangkan komunitas yaitu dengan membuat praktik hukum menjadi lebih efektif dan menyenangkan.

(c) Amrie Hakim

Thursday, May 25, 2006

Tuntutan Ditolak, FP-HUA Minta Dukungan Advokat Senior

[16/3/06]

Bang Buyung mengatakan belum dapat memutuskan apakah akan mendukung atau tidak karena hingga saat ini ia belum mengetahui apa yang diinginkan FP-HUA dari dirinya.

‘Perjuangan untuk menjadi advokat tak akan pernah usai’. Mungkin itu semangat yang terpatri di hati para calon advokat yang tidak lulus ujian yang tergabung dalam Forum Penolakan Hasil Ujian Advokat (FP-HUA).

Setelah menempuh jalan diplomasi dan aksi unjuk rasa atau bahkan unjuk otot, yang tidak membawa hasil yang menggembiarakan, FP-HUA berencana meminta dukungan dari seorang advokat senior, tidak tanggung-tanggung, advokat senior tersebut adalah Adnan Buyung Nasution, yang akrab dipanggil Bang Buyung.

“Kalau perlu kami akan minta Abang Buyung untuk menjadi kuasa hukum kita,” tukas salah satu anggota FP-HUA di sela-sela dialog dengan jajaran pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kemarin (15/3) yang berujung menjadi rusuh.

Salah seorang anggota lainnya bahkan mengklaim kalau Bang Buyung telah menyatakan bersedia untuk menjadi kuasa hukum FP-HUA apabila memang polemik tentang hasil ujian advokat ini dibawa ke meja hijau. Seperti diketahui, FP-HUA dalam tuntutannya, selain meminta pemutihan, juga mengancam akan memperkarakan PERADI ke meja hijau dengan dasar adanya kecurangan dalam pelaksanaan ujian.

Hubungan Bang Buyung dengan PERADI ‘kebetulan’ memang tidak begitu harmonis. Beberapa waktu lalu, Bang Buyung melayangkan surat resmi ke PERADI menggugat keberadaan organisasi advokat yang mewadahi 8 (delapan) organisasi advokat ini. Bang Buyung menuding pembentukan kepengurusan PERADI tidak melalui mekanisme yang demokratis serta tidak menjunjung tinggi nilai-nilai negara hukum.

Bantah

Ketika dikonfirmasi via telepon oleh hukumonline, Bang Buyung mengakui memang beberapa hari belakangan ini ia sempat dihubungi oleh sejumlah orang dari beberapa organisasi advokat meminta bertemu terkait hasil ujian advokat. Sejauh ini, karena kesibukannya Bang Buyung belum sempat bertemu dengan satu pun dari mereka.

Bang Buyung juga membantah kalau ia telah menyatakan bersedia untuk mendukung FP-HUA ataupun menjadi kuasa hukum mereka. Bang Buyung mengatakan belum dapat memutuskan apakah akan mendukung atau tidak karena hingga saat ini ia belum mengetahui apa yang diinginkan FP-HUA dari dirinya.

“Abang merasa perlu untuk segera menerima mereka, Apalagi ditambah informasi adanya kerusuhan ini,” ujar advokat senior yang juga membidani terbentuknya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini.

Mengomentari kericuhan yang terjadi, Bang Buyung mengatakan kejadian seperti ini sebenarnya sudah ia prediksi jauh-jauh hari. Menurutnya, kericuhan ini menggambarkan kelemahan PERADI karena sebagai sebuah organisasi, PERADI hingga saat ini belum mempunyai anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART).

“Dia (PERADI, red.) tidak punya aturan main, tidak punya anggaran dasar, aturan rumah tangga. Jadi gimana mau mendisiplinkan anggotanya,” kata Bang Buyung.

Menurut Bang Buyung, apabila ada aturan main maka polemik seperti yang dialami oleh PERADI saat ini seharusnya tidak langsung ditangani oleh pengurus pusat. Secara struktural, aspirasi FP-HUA yang kebanyakan berasal dari daerah di luar Jakarta ini seharusnya ditangani oleh mekanisme di daerah terlebih dahulu sebelum pengurus pusat turun tangan.

Tidak kompak

Selain menyoroti tentang tidak adanya aturan main, Bang Buyung juga menilai kepengurusan PERADI tidak kompak. Menurutnya, hal ini terjadi karena tidak adanya leadership (kepemimpinan, red.) yang kokoh dari pemimpin PERADI yang pemilihannya memang dianggap tidak demokratis.

Dia menambahkan ketidaksolidan ini pada akhirnya berujung pada masih tingginya gengsi masing-masing pengurus PERADI yang membawa bendera organisasi advokat yang berbeda. Lebih lanjut, peran advokat dalam pembangunan hukum di Indonesia pun menjadi tidak signifikan.

“Banyak masalah bangsa dan negara harusnya advokat berperan, apalagi dalam situasi sekarang dimana kita masih gencar-gencarnya memberantas korupsi di tanah air ini. Sementara, advokat melalui Peradi ini tidak bersuara sama sekali,” tambahnya.

Ketidaksolidan yang dimaksud Bang Buyung, berdasarkan pengamatan hukumonline, memang terlihat dalam kepengurusan PERADI. Hal ini setidaknya tergambar saat insiden kericuhan kemarin terjadi. Ketika itu, disaat sejumlah pengurus PERADI memutuskan untuk tidak memenuhi tuntutan FP-HUA, Wakil Ketua Umum PERADI Indra Sahnun Lubis justru menemani para anggota FP-HUA.

Ketika ditanyakan mengenai hal ini, Indra membantah kalau sikapnya yang mendekati FP-HUA merupakan cerminan dari tidak kompaknya PERADI. Dia berdalih yang dilakukannya hanyalah bertujuan mendinginkan suasana yang saat itu memang panas.

“Tidak ada perpecahan dalam PERADI, yang ada hanyalah perbedaan pendapat biasa dalam organisasi,” jelasnya.

(Rzk)

Monday, May 22, 2006

Peradi dan Krisis Kewibawaan Organisasi Advokat

Hermanto Barus, pengacara Ajun Komisaris Polisi Suparman, belum lama ini diberitakan akan melaporkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Langkah itu dia ambil karena menilai KPK telah melecehkan profesi advokat. Sebelum itu, KPK menolak saat Hermanto meminta surat pemecatan kliennya sebagai penyidik KPK. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Peradi, Indra Sahnun Lubis, menganggap tindakan KPK tersebut tidak menghormati advokat sebagai penegak hukum (hukumonline.com, 7/4).

Menjaga citra dan kewibawaan advokat adalah salah satu fungsi dari sebuah organisasi advokat (bar association). Fungsi ini terkait erat dengan peran organisasi advokat untuk menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik. Fungsi-fungsi organisasi advokat di atas sepatutnya juga dikedepankan selain fungsinya sebagai tempat berlindungnya para advokat dari intervensi pihak lain. Fungsi internal sebuah organisasi advokat seperti diuraikan sebelumnya juga dapat diturunkan kepada fungsi sertifikasi advokat serta pengawasan dan pendisiplinan. Demikian sebagian standar umum mengenai definisi, peran, dan fungsi organisasi advokat yang dirumuskan International Bar Association (IBA) pada 1991 (IBA Standards for the Independence of the Legal Profession).

Sejarah mencatat bahwa pada dekade 1970-an Indonesia pernah mempunyai Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) sebagai sebuah organisasi advokat yang berwibawa dan menjadi kebanggaan hingga sekarang. Para advokat yang tergabung dalam Peradin, seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, Zainal Abidin, Soemarno P. Wirjanto dan lainnya tidak hanya dikenang sebagai advokat dalam arti sempit, di pengadilan, tetapi juga sebagai pejuang reformasi, negara hukum, dan hak asasi manusia. Dan, bagian penting yang jarang diingat dari Peradin adalah bahwa meski anggotanya tergolong kecil, organisasi Peradin relatif rapi. Ada daftar anggota, anggotanya membayar iuran. Pada akhir 1960-an sampai 1980 mulai ada jurnalnya, Majalah Hukum dan Keadilan (Daniel S. Lev dalam “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2002).

Sejarah juga mencatat bahwa perjalanan organisasi advokat di Indonesia pasca-Peradin penuh dengan pertentangan antarsesama (organisasi) advokat maupun campur tangan pemerintah. Sampai saat Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan, terdapat sedikitnya delapan organisasi advokat. Delapan organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, SPI, HAPI, dan APSI diberi tugas oleh UU Advokat untuk membentuk Organisasi Advokat selambat-lambatnya dalam dua tahun sejak undang-undang itu disahkan. Organisasi Advokat yang dimaksudkan UU Advokat bersifat wajib (compulsory bar).

Hanya berselang dua hari dari hari jadi UU Advokat yang kedua, tepatnya pada 7 April 2005, dideklarasikanlah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jakarta. Sebetulnya, Peradi sudah terbentuk dan diperkenalkan kepada pers sekitar Oktober 2004 lengkap dengan susunan pengurusnya. Pengurus Peradi sendiri ditetapkan melalui musyawarah para pimpinan delapan organisasi advokat yang mendapat mandat dari UU Advokat.

Tiga fungsi utama organisasi advokat

Mengingat usia Peradi yang telah lebih dari satu tahun, boleh kiranya kita sedikit menengok berbagai kebijakan yang telah dihasilkan para pengurusnya. Menurut PSHK, dengan mengacu pada 11 fungsi organisasi advokat sesuai standar IBA, ada tiga fungsi utama organisasi advokat. Pertama, fungsi dalam hubungan dengan anggotanya (para advokat). Kedua, fungsi dalam hubungannya dengan masyarakat umum dan masyarakat pengguna jasa. Ketiga, fungsi dalam hubungannya dengan negara dan elemen serta sistem peradilan.

Untuk fungsi yang pertama yang terkait dengan fungsi internal organisasi, Peradi sejauh ini telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di antaranya mengeluarkan Buku Daftar Advokat. Kehadiran Buku Daftar Advokat yang memuat basis data sekitar 15.000 advokat se-Indonesia merupakan pencapaian yang signifikan. Pasalnya, selama ini belum pernah ada daftar yang demikian lengkap mengenai advokat di Indonesia. Pada 7 April 2005, pimpinan Peradi secara simbolik menyerahkan Buku Daftar Advokat tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung untuk selanjutnya disebarkan ke tiap pengadilan.

Masih dalam kerangka menjalankan fungsi internalnya, Peradi sudah mulai melakukan rekrutmen calon advokat dengan mengadakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) serta Ujian Profesi Advokat (UPA). Sukses penyelenggaraan UPA juga menjadi poin positif bagi Peradi. Lepas dari dugaan adanya kecurangan dalam prosesnya, Peradi telah berhasil membuktikan bahwa advokat sendiri mampu menyelenggarakan UPA dan tanpa bantuan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya seperti penyelenggaraan ujian pengacara praktek pada 2002.

Sedangkan, di bidang pengawasan, Peradi juga telah mengambil sejumlah aksi di antaranya pembentukan beberapa tim pencari fakta terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat. Salah satu tindakan tegas yang sudah diambil Peradi adalah pemecatan seorang advokat yang terbukti menggunakan ijazah palsu. Selain itu, sebelumnya Peradi telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara (DKS) yang berkedudukan di Jakarta.

Kemudian, untuk fungsi yang kedua yang dapat disebut sebagai fungsi eksternal organisasi advokat, sejauh ini belum ada langkah nyata dari Peradi. Meski dalam sejumlah kesempatan Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan, kerap mengungkapkan bahwa Peradi akan memprioritaskan pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin, namun hal itu masih belum diwujudkan. Saat kasus Raju meledak, misalnya, bisa saja Peradi ikut ambil bagian sebagai kuasa hukumnya. Pasalnya, saat itu hampir semua pihak berbicara, mulai dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komnas Perlindungan Anak, kejaksaan, tapi tidak ada suara dari kalangan advokat.

Seperti halnya fungsi yang kedua di atas, fungsi yang ketiga yakni dalam hubungan dengan negara dan elemen serta sistem peradilan, Peradi juga belum menunjukkan kiprahnya. Walaupun sebenarnya terdapat momentum yang bisa dimanfaatkan Peradi untuk menjalankan fungsi ini yaitu saat mencuatnya perselisihan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Alangkah baiknya jika Peradi mengambil peran sebagai mediator atau fasilitator kedua lembaga negara tersebut sehingga sengketa itu tidak sampai berlanjut ke Mahkamah Konstitusi seperti sekarang. Semua pihak sepakat bahwa perseteruan antara kedua lembaga negara itu hanya akan membawa keuntungan bagi jejaring mafia peradilan.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa selama satu tahun eksistensinya, Peradi masih berjuang untuk menjalankan fungsi internalnya. Sedangkan, dua fungsi utama yang harus pula ditunaikan oleh Peradi sebagai organisasi advokat, masih belum tersentuh. Dengan kata lain, selama satu tahun keberadaannya Peradi memprioritaskan program-program internal organisasi, khususnya rekrutmen advokat yang menyita hampir seluruh sumber daya Peradi. Hal demikian mungkin dapat dipahami mengingat usianya yang masih balita sehingga Peradi masih kesulitan dalam menjalankan program-program yang telah dibuat atau mengejar prioritas lain yang sudah disusun sebelumnya.

Penegakan kode etik sebagai barometer

Sudah tentu masih banyak yang harus dilakukan Peradi memasuki tahun kedua ini. Penulis berpendapat, Peradi harus memulainya dengan melakukan penajaman prioritas. Hal utama harus diutamakan. Apalagi, mengingat peradi hingga saat ini masih menyimpan problem internal yang serius, di antaranya masalah penegasan bentuk organisasi (wadah tunggal atau federasi) serta pembentukan anggaran dasar. Seperti dapat disimak melalui sejumlah pemberitaan di hukumonline.com, masalah-masalah tersebut kerap menjadi sasaran tembak pihak-pihak di luar Peradi.

Ketidaktegasan bentuk organisasi Peradi membuat para pengurusnya tidak mudah untuk merintis pembentukan pengurus cabang Peradi di daerah. Kendati mengklaim dirinya sebagai wadah tunggal, masih eksisnya delapan organisasi advokat mengesankan bentuk federasi lah yang sebenarnya muncul. Apalagi, pola keanggotaan di Peradi sendiri mirip model federasi: seorang advokat tidak dapat langsung menjadi anggota Peradi, kecuali melalui satu dari delapan organisasi yang ada (organisasi asal). Pimpinan Peradi agaknya sedang menanti proses peleburan secara alamiah kedelapan organisasi advokat dalam 3-4 tahun ke depan. Masalah berkaitan dengan bentuk organisasi itu jualah yang agaknya menjadi salah satu batu sandungan dalam menyusun anggaran dasar Peradi yang hingga kini, setahu penulis, belum rampung.

Masalah di atas tentu akan berimbas kepada masalah lain yang lain yang tidak kalah serius yakni pembentukan cabang Peradi di daerah berikut organ-organnya, terutama dewan kehormatan sebagai pengawal kode etik. Lebih-lebih, penegakan kode etik adalah barometer utama untuk sebuah organisasi advokat yang berwibawa, baik di mata advokat, rekan penegak hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Kita sama-sama membaca sejumlah advokat yang duduk di kursi pesakitan karena menjadi pelaku utama kasus-kasus penyuapan terhadap aparat hukum. “Tanpa adanya asosiasi advokat yang berwibawa seperti dalam dekade 1970-an, sebenarnya masyarakatlah yang dirugikan,” demikian tulis Frans Hendra Winarta dalam “Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan” (Pustaka Sinar Harapan, 1995).

Berkaitan dengan hal itu, belum lama ini, kita membaca bahwa DPP AAI melakukan pemekaran kepengurusan cabang di Jakarta. Langkah tersebut perlu dikritisi oleh Peradi mengingat setelah berdirinya Peradi, organisasi advokat lain tidak memiliki wewenang apapun. Meski, boleh jadi pemekaran kepengurusan cabang AAI DKI tersebut tidak lepas dari rencana pembentukan Peradi cabang Jakarta. AAI DKI yang selama ini hanya memiliki satu kepengurusan (DPW AAI DKI Jakarta), kemudian dipecah menjadi lima wilayah, seperti halnya Ikadin. Hal di atas hanya sekelumit persoalan yang berakar pada bentuk organisasi Peradi. Dengan begitu, masalah inkorporasi Peradi sebaiknya diletakkan pada urutan pertama dalam daftar prioritas Peradi mendatang.

Setelah itu, Peradi perlu pula menuntaskan program sertifikasi (calon) advokat. Menentukan pola magang bisa jadi memiliki lebih sulit dibandingkan ketika merumuskan tahapan-tahapan sebelumnya yakni PKPA dan UPA. Misalnya saja, harus ada kualifikasi standar tentang kantor hukum yang layak menerima magang calon advokat, berapa banyak calon advokat yang dapat ditampung dalam satu kantor, atau soal apakah calon advokat dibayar (menerima upah) ataukah malah wajib membayar selama masa magang. Untuk di Jakarta saja, di mana kantor hukum berjejalan, ternyata tidak mudah untuk menjalankan program magang. Mandeknya program fasilitasi magang yang pernah dijajal AAI DKI Jakarta pada 2005 silam kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga oleh Peradi. Belum lagi, Peradi harus dapat menyiasati pola magang di wilayah-wilayah yang memiliki hanya segelintir kantor hukum.

Masih terkait masalah rekrutmen calon advokat, setelah penyelenggaraan UPA, Peradi, dalam hal ini Komite Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI), perlu melakukan evaluasi terhadap seluruh penyelenggara PKPA. Evaluasi terhadap penyelenggaraan PKPA penting dilakukan antara lain untuk mengetahui kualitas penyelenggara yang ditunjukkan dari seberapa banyak alumnus mereka yang lolos UPA. Semakin banyak lulusan yang berhasil dalam UPA, maka semakin baik pula kualitas penyelenggaraan PKPA yang bersangkutan. Sebaliknya, jika tingkat kelulusannya kecil, maka berarti PKPA yang bersangkutan bermutu rendah dan karena itu Peradi perlu meninjau ulang kerja sama dengan penyelenggaranya.

Kemudian, terkait dengan pelaksanaan fungsi eksternal Peradi, program yang perlu diprioritaskan adalah pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu. Untuk melaksanakan hal tersebut, Peradi perlu membuat aturan seputar kewajiban bagi anggotanya untuk menyisihkan waktunya dalam satu tahun untuk bekerja secara pro bono. Tiap advokat/kantor advokat harus membuat laporan seputar pelaksanaan kewajiban memberikan bantuan hukum pro bono secara berkala kepada Peradi. Aturan tersebut sudah tentu harus diperkuat dengan sanksi bagi advokat/kantor advokat yang tidak melaksanakannya. Untuk itu, tentu perlu ada organ khusus di Peradi yang akan mengurusi program bantuan hukum pro bono.

Penulis berpendapat, masalah-masalah yang diuraikan di atas yang perlu mendapat prioritas utama oleh Peradi dalam setahun ke depan. Tentu saja masih banyak hal lain yang mesti dilakukan, seperti perlu lebih diberdayakannya website Peradi sebagai wadah komunikasi antar-anggota, para calon advokat, mahasiswa hukum, serta publik secara luas.

Terakhir, penulis termasuk mereka yang memiliki harapan dan kepercayaan bahwa Peradi mampu mengembalikan kewibawaan dan kemuliaan advokat yang telah lama luntur. Namun, tugas berat itu tidak akan tercapai jika Peradi hanya digunakan oleh orang-orang di dalamnya sebagai kendaraan untuk mencapai gol-gol pribadi. Kita tidak ingin Peradi mengulang sejarah kelam ketika selama puluhan tahun organisasi advokat tak mampu berbuat apa-apa kecuali bertikai satu sama lain. Jangan harapkan penegak hukum lain menghormati advokat, jika para advokat saja tidak menjaga keluhuran wibawa profesi mereka sendiri.

(c) Amrie Hakim

Wednesday, April 26, 2006

Dua Tahun UU Advokat: Memperketat Saringan, Meredam Persaingan

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 5/4/05.

Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekadar memikirkannya saja sudah membuat sebal.

“Saya seorang fresh graduate dari universitas swasta di Jakarta, dan sangat kebingungan dengan berita-berita tentang kursus advokat yang termuat di iklan-iklan serta tanggapan yang saya baca pada website ini. Sekarang saya sedang sibuk mencari pekerjaan yang masih berkaitan dengan bidang hukum, namun sangat sulit ditemui khususnya bila fresh graduate yang belum sama sekali punya pengalaman kerja dan belum magang.”
Demikian sebagian isi surat pembaca yang diterima oleh redaksi hukumonline. Bukan pertama kalinya, hukumonline menerima surat pembaca, e-mail ataupun komentar senada dari para sarjana hukum yang kelimpungan mencari pekerjaan. Tidak sedikit dari puluhan atau bahkan ratusan e-mail yang masuk mengeluhkan betapa sulitnya menjadi advokat pasca diundangkannya UU No.18/2003 tentang Advokat pada 5 April dua tahun lalu.

Agaknya tidak ada diantara kita yang tidak setuju bahwa perlu ditetapkan barrier to entry--sebuah pembatasan atau saringan yang ketat bagi orang-orang yang ingin menjadi advokat. Barrier to entry tidak selalu berkonotasi buruk. Betul, harus ada kualifikasi tertentu yang perlu diterapkan demi lahirnya advokat-advokat yang bermutu. Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekedar memikirkannya saja sudah membuat kita sebal.

Dalam titik tertentu, berbagai persyaratan untuk menjadi advokat yang diatur dalam UU No.18/2003 rasanya bisa diterima. Sebab, persyaratan itu adalah rangkaian barrier to entry yang seharusnya ditujukan untuk mencetak advokat-advokat handal. Premis ini diamini oleh pengurus Organisasi Advokat (baca: Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi), advokat-advokat senior, dan juga sebagian besar advokat yang telah mengantungi izin.

Tahapan untuk menjadi advokat*

Tangga menuju officium nobile:

i. Sarjana Hukum/Hukum Islam/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Perguruan Tinggi Hukum Militer dan telah berusia minimal 25 tahun [pasal 2 ayat (1) jo. pasal 3 ayat (1) huruf d];

ii. Mengikuti pendidikan khusus profesi advokat [pasal 2 ayat (1)];

iii. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat [pasal 3 ayat (1) huruf f];

iv. Magang sekurang-kurangnya dua (2) tahun terus menerus pada kantor Advokat [pasal 3 ayat (1) huruf g].

* Urut-urutan tidak mencerminkan tahapan yang sebenarnya yang akan ditetapkan oleh Organisasi Advokat dan semata didasarkan pasal-pasal dalam UU No.18/2003 tentang Advokat.


Untuk persyaratan ujian, tidak ada satu argumen pun yang bisa mematahkan kenyataan akademis maupun empiris pentingnya hal tersebut. Tapi untuk pendidikan khusus dan magang persoalannya menjadi lain. Dua hal tersebut tidak pernah berhenti diperdebatkan bahkan sejak saat pembahasan UU NO.18/2003 di DPR dua tahun silam. Baru sekaranglah, para calon advokat harus menuai badai yang berawal dari angin yang disemai oleh DPR.

Berbeda dengan para calon advokat yang kebingungan menyikapi syarat harus menempuh pendidikan khusus profesi, tidak demikian halnya dengan organisasi advokat. Sebagian besar secara tanggap menangkap ketentuan itu sebagai peluang bisnis. Menjamurnya bisnis pendidikan profesi advokat di berbagai daerah pun tak terbendung. Peradi sekalipun tak berdaya mengendalikan “anak-anak buahnya” di sana-sini yang membuka gerai pendidikan profesi.

Meningkatkan kualitas

Bagaimanapun, seperti disebutkan di atas, advokat-advokat senior yang ada di Peradi menyatakan setuju tanpa syarat soal pentingnya pendidikan khusus advokat. “Kita tidak bermaksud menghalang-halangi orang untuk jadi advokat tetapi tujuannya adalah meningkatkan kualitas daripada advokat itu sendiri,” tegas Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan beberapa waktu lalu.

Anmeddy Darwin, advokat di Jakarta, juga sependapat dengan Otto. Menurutnya, program pendidikan dan magang bukan menghambat calon advokat melainkan memang dibutuhkan untuk proses pendewasaan. Pasalnya, seorang advokat sebelum diangkat harus sudah dewasa dalam menangani perkara. Mereka yang belum pernah magang dan baru tamat fakultas hukum akan melihat dari segi teoritis saja tapi juga aplikasi di lapangan.

Apa yang dikatakan Otto dan Anmeddy sekilas masuk akal dan cukup beralasan. Dari pendapatnya kita bisa simpulkan bahwa mereka sepakat dengan pembuat undang-undang terkait dengan ketentuan soal pendidikan khusus profesi karena tujuannya untuk menciptakan advokat yang berkualitas. Namun, fakta berbicara lain.

Berdasarkan penelusuran hukumonline pada catatan pembahasan RUU Advokat di DPR, diketahui bahwa pendidikan khusus tidak murni dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sarjana hukum yang ingin menjadi advokat. Tapi, lebih ditujukan buat para lulusan Fakultas Syariah/Hukum Islam, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan Perguruan Tinggi Hukum Militer yang ingin terjun sebagai advokat. Ketentuan perlunya pendidikan khusus advokat tidak pernah dibahas secara intens oleh DPR dan pemerintah kecuali pada saat-saat terakhir menjelang RUU Advokat disahkan.

Hal tersebut diperkuat dengan keterangan mantan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Advokat di Komisi II DPR, Hamdan Zoelva. Ia mengatakan pada awalnya, dalam RUU yang diajukan oleh pemerintah tidak mencantumkan adanya kewajiban pendidikan bagi calon anggota advokat. Namun, papar Hamdan, setelah diterimanya rumusan sarjana syariah dan sarjana pendidikan tinggi hukum lainnya untuk menjadi Advokat, ada keinginan untuk mewajibakan mereka agar mengikuti pendidikan tambahan khusus tentang profesi Advokat selama 6 bulan.

“Akan tetapi, setelah melalui perdebatan maka disetujui adanya pendidikan tambahan bagi calon advokat sebelum diangkat menjadi Advokat terhadap seluruh calon advokat (tidak lagi dibatasi pada sarjana di luar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum), dengan pertimbangan bahwa kualitas sarjana yang tidak merata dan perlunya pelajaran tambahan tentang profesi Advokat dan Kode Etik Advokat yang harus dipelajari dan dipahami secara khusus oleh para calon advokat.” (Dikutip dari makalah Hamdan Zoelva, “Undang-Undang Advokat: Beberapa Catatan Perdebatan di DPR”, 22 Mei 2003).

Dari kenyataan sejarah itulah maka Hadi Herdiansyah, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berkesimpulan bahwa hadirnya ketentuan soal pendidikan khusus advokat tidak lebih dari sekadar konsesi politik di DPR. “Ketentuan soal pendidikan khusus advokat merupakan konsesi politik yang seharusnya tidak ada,” ujarnya.

Tak perlu pendidikan

Hadi juga melihat maraknya pihak yang menyelenggarakan pendidikan khusus advokat lebih kepada sebuah perlombaan untuk mendulang laba. Ia berpendapat demikian karena tidak ada koordinasi serta kejelasan mengenai pelaksanaan penyelenggaraan program tersebut oleh sejumlah pihak. Hal itu, menurutnya, sebagai dampak dari ketiadaan sistem yang jelas serta kelambanan Peradi dalam membuat konsep sertifikasi.

Ditambah lagi, sistem di beberapa negara tidak mewajibkan pendidikan khusus profesi sebagai salah satu syarat sahnya menjadi advokat. Di Amerika Serikat, untuk menjadi advokat, seorang lulusan law school cukup mengikuti ujian advokat di negara bagian tempat ia akan berpraktik.

Melalui ujian yang laksanakan oleh organisasi advokat (bar exam) inilah calon advokat diseleksi secara ketat untuk memilah mana yang layak dan yang tidak. Karena itu, bar exam dianggap sebagai sebuah "pertaruhan masa depan" oleh para calon advokat. Persiapan mengikuti ujian pun biasanya dilakukan dengan sangat serius. (Lihat: Ujian Pengacara di Amerika Bisa Bikin Jantungan)

Sejatinya, di negara Paman Sam tidak diperlukan pendidikan khusus untuk menjadi seorang advokat. Jika calon pengacara merasa perlu mendapat pendidikan khusus agar dapat lulus ujian, maka ia bisa mengikuti bimbingan tes yang banyak diselenggarakan. Namun, perlu diingat bahwa Fakultas Hukum atau Law School di AS merupakan pendidikan graduate (S2).

Di Australia, persyaratan untuk menjadi solicitor berbeda dengan persyaratan untuk menjadi barrister atau advocate. Untuk menjadi solicitor, setelah lulus S1, mereka harus mengikuti pendidikan (Professional Legal Training) yang terdiri dari pendidikan teori selama 15 minggu dan bekerja di kantor hukum yang mereka tentukan sendiri selama 70 hari. Setelah itu, mereka akan mendapat sertifikat praktek dari Law Society.

Untuk menjadi barrister, seorang lulusan S1 harus menjalani program tutorial dengan seorang barrister tertentu yang memenuhi syarat selama 12 bulan. Setelah itu, mereka harus mengikuti bar exam, baru kemudian bisa berpraktek sebagai barrister. Dalam kenyataannya, sangat jarang lulusan S1 yang langsung menjadi barrister. Biasanya mereka menjadi solicitor dahulu, baru kemudian menjalani program tutorial dan mengikuti ujian untuk menjadi barrister.

Untuk urusan magang, di beberapa negara juga menerapkan sistem yang kurang lebih sama dengan di Indonesia. Menurut penelitian yang pernah dilakukan PSHK, Hadi mengatakan bahwa aturan di Belanda mewajibkan magang bagi para calon advokat. Demikian pula dengan Singapura, meski penerapannya tidak sama persis dengan yang diterapkan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan magang ini, dia kembali menyayangkan kelambanan Peradi dalam menyusun mekanisme magang bagi calon advokat.

Tidak ada kejelasan

Ketentuan magang juga bukan soal yang mudah untuk dirumuskan oleh Peradi. Bagaimana tidak, Peradi tidak hanya harus memikirkan aturan magang bagi mereka yang murni fresh graduate, tapi juga buat orang-orang yang selama ini sudah bekerja di lawfirm. Hadi melihat bahwa persoalan tersebut tidak boleh dianggap sepele dan tidak bisa diregulasi secara serampangan.

Di mata Hadi ada tiga hal besar yang harus dipertimbangkan secara matang terkait ketentuan magang bagi calon advokat. Pertama, kriteria dari kantor advokat tempat magang; kedua, materi yang akan diberikan kepada calon advokat selama magang; ketiga; daya tampung dari tiap-tiap kantor advokat yang dihubungkan dengan ketersediaan kantor-kantor advokat di berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk yang pertama, Hadi mengatakan bahwa Organisasi Advokat harus memilih kantor-kantor hukum berkualitas untuk dijadikan tempat magang. Sehingga, tujuan dari magang pun bisa dicapai yaitu menciptakan advokat berkualitas.

Untuk materi magang, tambahnya, calon advokat hendaknya mendapat pengalaman terlibat dalam kasus litigasi dan juga non-litigasi. Untuk yang terakhir, Organisasi Advokat harus betul-betul memikirkan bagaimana pelaksanaan magang di wilayah-wilayah yang memiliki sedikit kantor advokat.

Sayangnya, dua tahun telah berlalu tanpa ada kejelasan baik itu soal ujian advokat, pendidikan khusus, serta magang. “Organisasi Advokat telah gagal menjalankan tugasnya dalam dua tahun masa transisinya,” nilai Hadi. Ia sangat menyayangkan bahwa KKAI dahulu justru memprioritaskan kebijakan pemutihan advokat (daftar ulang advokat) yang notabene demi kepentingan mereka yang telah mengantongi izin, dibandingkan memperjuangkan nasib para calon advokat.

Jika pada waktu-waktu yang lalu masyarakat kerap melihat bagaimana para advokat bertarung satu sama lain demi memperebutkan kedudukan demi ego pribadi atau kelompok masing-masing. Sebuah pertarungan yang akhirnya memecah-belah advokat Indonesia. Kini, masyarakat barangkali sangat menantikan para advokat senior kembali “bertarung” bukan untuk berebut kedudukan melainkan demi memperjuangkan kepentingan para calon advokat di Indonesia.

Para calon advokat juga tidak harus tinggal diam berharap Peradi akan cukup tanggap terhadap aspirasi mereka. Cerita sukses judicial review yang diajukan dosen-dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terhadap UU Advokat di penghujung 2004 barangkali bisa dijadikan contoh. Satu pasal UU Advokat telah rontok di lantai Mahkamah Konstitusi. Bukan mustahil, jika suatu hari satu atau lebih pasal lainnya yang dianggap melanggar hak-hak calon advokat juga dicoba untuk diuji di hadapan para hakim konstitusi. Fiat iustica ruat coelum!

(Amr/Nay)

Tuesday, April 25, 2006

Konsultan Hukum, Manusia Setengah Advokat

Dimuat pula di www.hukumonline.com, 10/6/05

Polemik di tubuh anggota dan pengurus Peradi mengenai kartu tanda pengenal advokat (KTPA) masih belum usai. Pengurus AKHI atas desakan anggotanya sedang mendiskusikan soal kemungkinan dikeluarkannya kartu tanda pengenal atau identitas khusus bagi advokat yang tidak berlitigasi di pengadilan.

Sebagian besar pengurus Peradi menganggap masalah yang berkaitan dengan KTPA ini sudah tutup buku. Seluruhnya telah disepakati oleh wakil delapan organisasi advokat yang dahulu tergabungdalam wadah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

Namun, sebagian besar advokat yang bergabung di dalam AKHI dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) harus bersedia menerima perlakuan yang berbeda, sedikit atau banyak, dengan rekan-rekan mereka di enam organisasi lainnya. Pasalnya, anggota dari kedua organisasi tersebut yang sebelum lahirnya UU No.18/2003 tentang Advokat dikenal dengan konsultan hukum harus puas tidak mendapatkan KTPA dari KKAI. Sementara, advokat-advokat dari enam organisasi lain telah mengantongi KTPA.

Pengurus KKAI yang kini berganti baju menjadi Peradi menjelaskan, selain karena kesepakatan antara pengurus KKAI dulu, konsultan hukum juga dinilai tidak berhak untuk mendapatkan KTPA. Sebab, kata pengurus Peradi, KTPA dikeluarkan hanya bagi advokat litigasi yang dahulu disebut pengacara praktik atau advokat atau penasehat hukum, sebagai pengganti kartu tanda pengenal mereka yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan tinggi.

Yang menjadi persoalan, baik advokat “litigasi” dan “non-litigasi” sama-sama terdaftar di buku daftar umum advokat dari Peradi. Buku ini, sesuai perintah UU Advokat, juga disimpan di Mahkamah Agung dan kantor Menteri Hukum dan HAM. Jadi, kalau KTPA diibaratkan dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), tidak semua orang yang tercantum buku tanah dikeluarkan sertifikatnya.

Meski demikian, pengurus Peradi menolak jika pembedaan perlakuan dalam soal pemberian KTPA itu dianggap sebagai diskriminasi terhadap konsultan hukum. Itu, menurut Peradi, merupakan harga dari sebuah kompromi. Toh, UU Advokat juga dilahirkan dengan segudang kompromi politik antara sesama anggota DPR atau antara DPR dengan pemerintah. Begitu hemat pengurus Peradi.

Masalah KTPA tidak terlepas dari kebijakan pimpinan KKAI untuk melakukan registrasi ulang dan verifikasi terhadap seluruh advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum se-Indonesia mulai Juni 2003. Yang diverifikasi kala itu adalah bukti-bukti formal advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU No.18/2003 mulai berlaku.

KKAI mendasarkan kebijakannya kala itu pada Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UU No.18/2003. Selesainya proses yang memakan waktu nyaris setahun ditandai dengan dikeluarkannya SK No.01/KKAI-KEP/III/2004 tentang Advokat yang Telah Memenuhi Persyaratan Pendaftaran dan Verifikasi Advokat Indonesia tertanggal 30 Maret 2004.

Adapun hal penting yang tercantum di dalam surat tersebut adalah tentang penetapan nama-nama orang yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi advokat. Selengkapnya isi surat tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut:

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

1. Nama-nama tersebut dalam daftar terlampir telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi advokat, dan karena itu menyatakan masing-masing mereka sebagai Advokat berdasarkan Undang-undang nomor 18 tahun 2003 dengan wilayah kerja meliputi wilayah negara Republik Indonesia.

2. Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini akan dilakukan perubahan sebagaimana mestinya.


Di dalam SK KKAI No.01/KKAI-KEP/III/2004 tersebut sama sekali tidak disebutkan apapun tentang kartu tanda pengenal. Hal ini bisa dipahami karena: Pertama, sesuai UU Advokat, tujuan pendaftaran ulang dan verifikasi adalah demi menyusun buku daftar anggota. Kedua, tidak ada satu pun pasal di dalam UU Advokat yang menyebutkan tentang kartu tanda pengenal.

Perebutan lahan

Mantan anggota tim verifikasi KKAI Ahmad Fikri Assegaf mengemukakan bahwa telah disepakati mereka yang telah lolos verifikasi yang akan mendapatkan KTPA. Namun, Fikri yang tidak mengetahui bagaimana kesepakatan para pengurus KKAI selanjutnya, mendapatkan fakta bahwa para konsultan hukum anggota AKHI/HKHPM tidak memperoleh KTPA. Padahal, mereka termasuk diantara belasan ribu orang yang dinyatakan lolos verifikasi dan dianggap telah memenuhi syarat sebagai advokat.

Lalu, kenapa KKAI tidak mengeluarkan KTPA bagi para konsultan hukum yang waktu itu sudah sah sebagai advokat yang wilayah kerjanya meliputi wilayah negara RI tanpa kecuali? Seperti telah dipaparkan di bagian awal tulisan ini, KTPA ternyata barang eksklusif diperuntukkan bagi advokat litigasi.

Perlu ditekankan kembali bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan kolektif seluruh pimpinan delapan organisasi advokat yang bernaung di dalam KKAI waktu itu. Mereka adalah Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI. Jawaban itulah dalam beberapa kesempatan ditegaskan kembali oleh sejumlah pengurus Peradi diantaranya Sekjen Harry Ponto, dan salah satu Ketua Peradi Soemarjono.

Apa yang mereka tidak diungkapkan secara eksplisit adalah suasana yang melatarbelakangi kesepakatan tersebut. Bahwa tidak diberikannya KTPA secara merata kepada seluruh advokat yang telah lolos verifikasi bertujuan agar kartu itu tidak dipakai oleh advokat yang dahulunya adalah konsultan hukum untuk beracara di pengadilan. “Waktu itu, saya melihat bahwa hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membatasi agar konsultan hukum tetap tidak bisa beracara di pengadilan,” Fikri membeberkan.

Ditambah lagi, ada kekhawatiran pada salah satu pihak. Kalangan advokat litigasi agaknya tidak lapang dada menerima kenyataan para konsultan hukum yang tidak pernah memiliki SKPT kemudian diberikan KTPA yang bisa digunakan untuk beracara di muka hakim. Ini berarti menambah ketat persaingan di lahan litigasi. Padahal, lantaran proses pemutihan KKAI juga, pengacara syariah yang dahulu hanya dapat beracara di pengadilan agama kini mulai bisa mencari nafkah pula di pengadilan umum.

Sebelumnya, tidak pernah dibicarakan soal penerbitan kartu khusus bagi konsultan hukum. Wacana itu baru muncul belakangan ini setelah para anggota AKHI/HKHPM mengeluh mengenai ketiadaan KTPA yang menghambat mereka dalam menjalankan profesi sebagai advokat.

Tapi, dugaan bahwa tidak diberikannya KTPA kepada anggota AKHI/HKHPM yang tidak mengantungi SKPT bertujuan untuk mencegah mereka masuk ke ladangnya advokat litigasi itu langsung dibantah oleh Harry. “Apa yang mau dicegah kalau memang orang tidak punya otorisasi untuk berlitigasi atau tidak punya kompetensi untuk berlitigasi?” ucapnya.

Harry ada benarnya. Tapi seharusnya isu otorisasi dan kompetensi itu juga diterapkan kepada pengacara praktik yang dulunya cuma bermodal SKPT (bukan punya SK Menteri Kehakiman sebagai advokat) dan pengacara syariah yang hanya berpraktik di pengadilan agama. Apalagi, sudah diputuskan sendiri oleh KKAI bahwa siapapun yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran dan verifikasi memiliki wilayah kerja di seluruh Indonesia.

Tidak ada diskriminasi

Dari perspektif lain, patut pula dipertanyakan kegigihan utusan AKHI dan HKHPM saat bernegosiasi soal KTPA. Sebab semestinya, posisi tawar kedua organisasi ini tidak kalah kuat dibandingkan enam organisasi lainnya. Problem atau pun implikasi yang mungkin terbit lantaran ketiadaan KTPA bagi para anggota kedua organisasi itu rupanya tidak dikalkulasi secara serius.

Para konsultan hukum senior yang menjadi pengurus AKHI hanya berpikir bahwa selama mereka tetap diperkenankan oleh kalangan litigasi untuk dapat bekerja seperti biasanya, itu sudah lebih dari cukup.

Usut punya usut, ternyata garis politik seperti itu dikarenakan pemahaman pengurus AKHI maupun HKHPM terhadap UU Advokat. “Undang-undang (Advokat, red) itu masih mengakui adanya dua (dikotomi) litigasi dan non litigasi. Law maker masih membedakan karena saya masuk ke sana. Kemudian tidak dipertajam perbedaan itu supaya lebih ada harmonisasi lah,” ungkap sekjen AKHI Hoesein Wiriadinata.

Singkatnya, menurut pemahaman Hoesein, tidak ada yang berubah antara sebelum dan sesudah UU No.18/2003 diundangkan. Baginya, tetap ada dikotomi profesi hukum di Indonesia yaitu advokat litigasi dan non-litigasi. Hoesein memang tidak menyebutkan pasal dalam UU No.18/2003 yang mana yang ia pakai untuk menyandarkan pendapatnya itu.

Mantan Ketua Panitia Kerja RUU Advokat Komisi II DPR Hamdan Zoelva membantah semua pendapat Hoesein seperti di atas. “Advokat yang dimaksudkan di Undang-undang itu adalah seluruhnya, apakah dia litigasi maupun non litigasi,” tegasnya. Singkatnya, menurut Hamdan, di dalam UU Advokat tidak ada lagi diskriminasi mengenai advokat litigasi dan non litigasi.

Di mata Hamdan, diskriminasi terhadap advokat non litigasi yang berlangsung saat ini adalah semata-mata urusan perebutan lahan rezeki. Pemberian KTPA bagi anggota AKHI dan HKHPM sama saja memberikan cangkul buat para konsultan hukum untuk dapat menggarap di lahannya rekan-rekan advokat litigasi.

Memang, Hoesein dan beberapa konsultan hukum senior lainnya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak tertarik untuk mencari uang di jalur litigasi. Tapi, apakah mereka berbicara untuk seluruh konsultan hukum yang menjadi anggota AKHI atau HKHPM?Belum tentu. Buktinya, tidak sedikit advokat AKHI yang kini mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia demi mendapat “izin berlitigasi”.

Belakangan, pengurus AKHI mengirimkan surat kepada seluruh anggotanya yang isinya menerangkan bahwa mereka adalah “advokat non litigasi” yang terdaftar di Peradi. Tapi, salah seorang advokat AKHI berpandangan bahwa surat keterangan itu hanya menyelesaikan masalah administrasi dan bukan masalah intinya. “Kalau orang ingin ke pengadilan boleh nggak? Orang-orang yang transisi ini ke depannya bagaimana, apakah ikut pendidikan yang bareng calon advokat atau ada semacam penyamaan di dalam Peradi sendiri?” ujar Abdul Haris M. Roem dari kantor Lubis Ganie Surowidjojo.

Tentang hal ini, Peradi tampaknya tidak pernah terpikir untuk mengatur pendidikan khusus bagi calon advokat yang sudah advokat atau, setidak-tidaknya, setengah advokat. “Kalau advokat non litigasi sekarang mau litigasi, ya dibicarakan bagaimana prosedurnya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa mereka harus mengikuti pendidikan khusus advokat karena belum pernah diputuskan. Bahkan, dibicarakan saja belum,” kata Harry.

Bagi sebagian petinggi Peradi solusi termudah terhadap persoalan ini adalah dengan menerbitkan KTPA spesial bagi advokat non litigasi seperti yang diinginkan pengurus AKHI. Pengurus AKHI juga telah menegaskan bahwa bagi anggotanya yang ingin litigasi maka mereka harus mengikuti pendidikan khusus advokat dan lulus ujian Peradi. Hal ini menarik karena pengurus AKHI sudah membuat aturan yang bahkan pengurus Peradi pun belum memutuskannya.