Monday, March 31, 2008

tentang politik, perang dan tipu muslihat


Wahai dunia, tipulah selain diriku
~ Ali bin Abi Thalib

Dalam sejarah Islam kita tidak akan menemukan satu tokoh pun, setelah Rasulullah, yang begitu gandrung akan perdamaian kecuali Ali bin Abi Thalib. Cinta beliau akan perdamaian dan keadilan sedemikian besarnya sampai-sampai sulit untuk dipahami dengan "logika" kebanyakan orang. Sikap itu antara lain dapat dilihat dari bagaimana beliau menjalankan strategi politik dan perang yang bebas tipu muslihat.

Ali boleh dikatakan mengharamkan diri dan para panglimanya untuk menggunakan tipu muslihat dalam setiap peperangan yang dia hadapi. Hal itu sangat berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Gubernur Suriah, Muawiyah, yang memberontak dari kekhalifahan Ali. Tujuan menghalalkan cara (end justifies means), begitu kurang lebih prinsip Muawiyah. Karena itu dia bersama penasihat politiknya yang luar biasa cerdik, Amr bin Ash, menghalalkan seribu-satu tipu muslihat untuk menggerogoti kedaulatan Ali.

"Demi Allah, Muawiyah tidak lebih cerdik dari saya. Tetapi, ia menipu dan melakukan kejahatan. Sekiranya saya tidak benci penipuan, maka tentulah saya menjadi paling cerdik dari semua manusia. Tetapi, setiap penipuan adalah dosa, dan setiap dosa merupakan pendurhakaan terhadap Allah," demikian antara lain dikatakan Ali untuk menjawab anggapan bahwa Muawiyah lebih pandai berpolitik ketimbang dirinya.

Sepertinya kita tidak dapat begitu saja membaca ucapan Ali tentang pengharaman tipu muslihat di atas. Pasalnya, ucapan tersebut sangat kontradiktif dengan diri Ali dan tidak bersesuaian dengan apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah. Saat Perang Ahzab, Rasulullah pernah mengatakan bahwa perang adalah tipu muslihat. Jadi, memang dibolehkan untuk melakukan tipu muslihat dalam perang seperti yang Rasulullah lakukan dalam Perang Ahzab.

Ali hadir pada Perang Ahzab dan mengetahui ucapan Rasulullah tersebut. Jadi, setidaknya ada dua kemungkinan; Pertama, ucapan tersebut bukan dari Ali atau jika sebagian kalimat tersebut diucapkan oleh Ali tapi tidak dikutip sebagaimana ucapan yang sebenarnya. Untuk memastikan kemungkinan ini, berarti kita mempertanyakan otentisitas atau keaslian Nahjul Balaghah yang berisi pidato, surat, serta ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib yang disusun oleh Sayyid ar-Radhi. Menurut saya, kemungkinan pertama ini kecil karena Nahjul Balaghah termasuk buku yang dijamin keasliannya oleh banyak pakar sejarah, syiah dan sunni.

Kemungkinan kedua, ucapan tersebut merupakan ucapan Ali yang beliau ucapkan dengan penuh kesadaran dan pengetahuan penuh akan hadis Nabi bahwa tipu muslihat dalam peperangan itu dihalalkan. Kalimat itu diucapkan karena Ali tahu benar bahwa musuh yang dia hadapi saat itu sangat berbeda dengan musuh yang dihadapi oleh Rasulullah. Dan juga, sebab dan motif dari peperangan yang dialaminya kala itu tidak sama dengan yang pernah terjadi di zaman Rasulullah.

Jika membaca kisah perjalanan hidup atau biografi Ali kita akan mengetahui bahwa beliau adalah salah satu sahabat yang memiliki tingkat kehati-hatian yang tertinggi dalam mengambil atau menetapkan sebuah garis hukum. Karena itulah mungkin Ali sangat berhati-hati dalam menerapkan garis hukum dari Rasulullah bahwa perang adalah tipu muslihat. Musuh yang dihadapi Ali ketika menjadi khalifah bukanlah kaum musyrik atau penyembah berhala, tapi saudara sesama muslim. Tujuan atau motif peperangan saat itu juga bukan demi agama, tapi lebih kepada soal politik/kekuasaan.

Ali bukanlah sosok yang gila akan kekuasaan seperti lawan politiknya Muawiyah. Kekuasaan, buat Ali, bukanlah tujuan melainkan hanya salah satu kendaraan untuk mencapai keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan bagi rakyat yang ia pimpin. Ali tidak ingin memperoleh atau melestarikan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk menumpahkan darah manusia yang tidak berdosa. Ali juga bukan sosok yang haus darah yang dengan mudahnya menabuh genderang perang, sekalipun keadaan pasukannya jauh lebih menguntungkan daripada pihak musuh. Ali juga bukan orang yang takut mati sekalipun di saat keadaan pasukannya lebih lemah daripada pihak musuh. Dalam salah satu pidatonya, Ali mengatakan:

"Tentang pertanyaan kalian apakah penundaan perang itu karena ketidaksukaan saya pada kematian, maka demi Allah, saya tidak peduli apakah saya menuju maut atau maut mendatangi saya. Tentang kesan kalian bahwa itu mungkin disebabkan kekhawatiran saya terhadap orang Suriah, demi Allah, saya tidak menunda perang walaupun cuma sehari kecuali dengan harapan suatu kelompok mungkin bergabung dengan saya, memperoleh petunjuk melalui saya, dan melihat cahaya pada diri saya dengan mata mereka yang lemah. Ini lebih saya sukai daripada membunuh mereka dalam keadaan tersesat, walau mereka tentunya akan memikul dosa mereka sendiri."

Dalam Perang Shiffin, pasukan Muawiyah sempat menguasai sumber air dan mencegah pasukan Ali untuk mendapatkan air. Kemudian, waktu pasukan Ali berhasil merebut sumber air tersebut, Ali malah membiarkan pasukan Muawiyah ikut mengambil minum dari tempat itu. Demikianlah Ali. Menurut Ali, jika kita sulit bertindak adil, maka kita pasti akan lebih sulit lagi mengurusi ketidakadilan. Wallahu 'alam.

Thursday, March 13, 2008

puncak dari puncak kefasihan


Tidakkah kalian rela, wahai orang-orang Anshar, untuk melihat orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? ~ Muhammad saw

Ucapan-ucapan Rasulullah, baik yang ringkas (jawami al-kalim) maupun yang panjang (orasi), tidak sekadar indah dan sarat makna, tapi juga mampu menghujam dalam ke relung hati setiap pendengarnya (dan pembacanya). Kefasihan dalam berkata-kata adalah salah satu anugerah yang Allah berikan kepada Rasulullah.

Salah satu orasi Rasulullah yang paling mengagumkan dan sedemikian rupa menunjukkan kehalusan perasaan beliau adalah yang disampaikan usai pembagian harta rampasan kaum Hawazin. Orasi beliau saat itu sanggup membuat para pejuang Islam dari kaum Anshar yang gagah berani bagai singa di medan Perang Hunain, berurai air mata hingga basah jenggot-jenggot mereka.

Rasulullah menyampaikan orasi tersebut di saat pasukan muslimin terancam fitnah (bencana) besar yaitu perpecahan. Fitnah ini bermula dari kemarahan kaum Anshar atas pembagian harta rampasan perang yang menurut mereka tidak adil. Rasulullah saat itu memberikan seluruh rampasan perang kepada suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya, tapi tidak sedikitpun kepada kaum Anshar Madinah.

Kaum Anshar melihat sikap (kebijakan) Rasulullah dalam hal pembagian harta rampasan sebagai keberpihakan beliau kepada kaumnya sendiri (Rasulullah adalah seorang Quraisy Mekkah), dan pertanda beliau meninggalkan kaum Anshar. Padahal, kebijakan tersebut diambil Nabi demi mengambil hati para muallaf (yang perlu dihibur hatinya) Quraisy.

Saad bin Ubada, seorang pemuka Anshar, kemudian menghadap Rasulullah dan menyampaikan kekecewaan mereka. Setelah mendengar apa yang dikatakan Saad, Rasulullah kemudian memintanya untuk mengumpulkan kaum Anshar di satu tempat. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah memulai pidatonya:

Rasulullah: Wahai kaum Anshar. Aku telah mendengar perkatan kalian yang menunjukkan di dalam diri kalian ada perasaan jengkel. Bukankah aku telah mendatangimu ketika kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian? Dan kalian dalam kemiskinan lalu Allah membuat kalian kaya? Dan kalian dalam keadaan bermusuh-musuhan lalu Allah menyatukan hati kalian?

Kaum Anshar: Benar, wahai Rasulullah. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.

Rasulullah: Mengapa kalian tidak menjawabku, wahai orang-orang Anshar?

Kaum Anshar: Dengan apa kami menjawabmu, wahai Rasulullah? Allah dan Rasulnya lebih baik dan lebih mulia.

Rasulullah: Demi Allah! Jika kalian mau jujur niscaya kalian akan mengatakan: 'Engkau telah datang kepada kami sebagai orang yang didustakan lalu kami memercayaimu, dan sebagai orang yang dihinakan lalu kami menolongmu, dan sebagai orang yang terusir lalu kami memberikan tempat tingggal kepadamu, dan sebagai orang yang miskin lalu kami memberikan sedekah kepadamu'.

Wahai orang-orang Anshar, apakah kalian memunyai rasa suka kepada dunia yang aku berikan kepada suatu kaum agar mereka berislam, sedangkan aku sudah percaya akan keislaman kalian? Tidakkah kalian rela, wahai orang-orang Anshar, untuk melihat orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, jikalau tidak ada hijrah, niscaya aku menjadi bagian dari orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung dan Anshar memilih jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.

Kata-kata tersebut diucapkan Nabi dengan penuh cinta dan kasih sayang kepada kaum Anshar. Kaum Anshar menangis hingga basah jenggot-jenggot mereka. Mereka lalu berkata, "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami." Orasi Rasulullah yang penuh hikmah dan mengharukan itu bukan saja mampu memadamkan api fitnah, tapi juga mengingatkan kembali kaum Anshar yang nyaris menuruti nafsu materialistik mereka.

Adalah keistimewaan dari Rasulullah yaitu beliau mampu memahami perasaan orang lain sehingga beliau senantiasa menggunakan gaya bahasa atau kata-kata atau cara penyampaian yang sesuai dengan audiens yang dihadapi. Ini, bagaimanapun, bukanlah sesuatu yang tidak bisa ditiru. Satu hal lagi, kejujuran atau ketulusan berbicara lebih fasih dari orator paling hebat sekalipun. Wallahu 'alam.

=====================
Referensi:
1. Amru Khalid, "Jejak Sang Junjungan: Sebuah Narasi Sirah Populer", Penerbit Aqwam, Cet. 1, 2007.
2. Muhammad Husain Haikal, "Sejarah Hidup Muhammad", Pustaka Jaya, Cet. 5, 1980.

Thursday, March 06, 2008

greater good

Vanity, definitely my favorite sin. ~ The Devil's Advocate

Salah satu cara yang cukup efektif untuk melatih diri melawan ego adalah melakukan sesuatu yang tidak populer atau mengundang cibiran orang banyak. Ego diri sangat mengagungkan sanjungan orang lain. Karena itu, untuk memupus kekuatannya, terkadang kita harus meninggalkan kesempatan untuk "menjadi pahlawan" dan bersiap menjadi "orang brengseknya".

Ego diri kita sangat rajin dan tidak pernah lelah mengajak melakukan segala hal yang membawa keuntungan bagi diri kita sendiri. Ego diri juga juara satu dalam hal kelabu-mengelabui. Saat berbuat kebaikan seakan-akan kebaikan itu kita lakukan untuk orang lain. Padahal, boleh jadi kebaikan itu kita lakukan untuk diri kita sendiri; untuk mendapat sanjungan dari orang banyak.

Dalam The Devil's Advocate, Kevin Lomax, sang advokat pemegang rekor tidak-pernah-kalah-satu-kasus-pun, memang lolos dari jeratan sang iblis, yang mengejawantah dalam sosok John Milton, untuk menuruti egonya. Nurani Lomax unggul di saat dia memutuskan untuk tidak meneruskan pembelaan atas seorang klien yang dia tahu benar-benar bersalah. Lomax tidak cuma rela kalah, tapi juga siap menerima sanksi atas tindakannya.

Tapi, Lomax (dianggap) gagal mengalahkan egonya di saat dirinya, meski dengan berat hati, menerima tawaran seorang jurnalis yang ingin menulis kisah "heroik"-nya itu. "Rasa bangga diri memang dosa favoritku," begitu ucap sang iblis yang saat itu menjelma dalam sosok Eddie Barzoon, sang jurnalis. Ego menang, nurani kalah telak.

Tipulah ego kita dengan melakukan sesuatu yang seolah-olah dia musuhi tapi sebetulnya dia cintai. Lawanlah, sebisa mungkin bujukan ego agar kita menjadi sombong dalam kerendah-hatian kita. Ego tidak rela kalau dirinya dicemooh dan selalu mencari-cari celah, sekecil apapun, untuk mendapatkan sanjungan dari orang lain. Jadilah orang brengsek, terimalah cemoohan, demi kebaikan yang lebih besar.