Wednesday, January 24, 2007

tentang pemberian dan utang budi

“Utang budi dibawa mati, utang rokok musti bayar”. (Benyamin S.)

Dalam sebuah diskusi santai, seorang teman menceritakan betapa dia mengagumi filosofi “pemberian” dan “utang budi” yang ditulis Khalil Gibran dalam “Sang Nabi”. Dalam buku itu Gibran menulis, “Jangan memberati diri dengan rasa utang budi, sebab kau akan membebani dirimu dan dia yang memberi… Terlampau menyadari utangmu, adalah meragukan kedermawanan dia”. (Sang Nabi, Khalil Gibran, Pustaka Jaya). Teman saya ini begitu mengagumi Gibran dan Sang Nabi-nya sampai-sampai dia berucap, “Sang Nabi adalah kitab suci saya”.

Berhari-hari saya memikirkan kata-kata Gibran itu dan akhirnya membeli Sang Nabi dan buku Gibran lainnya, “Sayap-sayap Patah” yang menurut banyak orang, sangat bagus. Meski saya bukan pengagum Gibran dan karya-karyanya, tapi untuk yang satu ini saya sangat terkesan. Sang Nabi membuat saya mempertanyakan filosofi saya sendiri mengenai pemberian. Meski tidak sampai membebani diri dengan utang budi, saya merasa perlu membalas pemberian atau kebaikan seseorang dengan pemberian atau kebaikan lainnya. Kalau bisa, pemberian atau kebaikan saya harus melebihi pemberian atau kebaikan dia pada saya sebelumnya. Bukankah Tuhan juga mengganjar setiap kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda?

Dari yang saya pahami, Gibran tidak “melarang” seseorang merasa berutang budi akan pemberian orang lain, tapi yang dia larang adalah jika terlalu memberati diri dengan utang budi atau terlampau menyadari utang (pemberian) tersebut. Karena, bagaimanapun, pemberian bukanlah pinjaman atau utang yang harus dikembalikan atau dibayar. Di sinilah, menurut saya, bagian penting dari ungkapan Gibran. Sejak kecil kita akrab dengan pepatah/ungkapan “ada budi ada balas” atau “utang budi dibawa mati” seperti pernah muncul di salah satu lagu almarhum Benyamin S. seperti saya kutip di atas. Pepatah/ungkapan itu begitu populer sampai-sampai menjadi “ayat suci” bagi banyak orang.

Saya mungkin sampai saat ini berkesimpulan menjadi penerima itu sulit. Kadang menjadi penerima itu memang tidak terhindarkan, dan seperti yang ditulis Gibran juga, “.. engkau semuanya tergolong penerima!”. Selama kita menjadi penerima, kita akan terbebani, sedikit atau banyak, dengan pemberian yang kita terima, besar atau kecil. Semakin besar pemberian seseorang, semakin terbebani lah kita. Karena itu, menurut saya, menjadi pemberi itu lebih mudah. Seperti dikata Gibran, pemberian itu satu nafas dengan kedermawanan atau ketulusan. Tidak tulus, bukan pemberian namanya. Mengharap balas atau pengembalian dalam memberi, itu namanya menghutangkan atau meminjamkan. Tulus dalam memberi itu kata Al Ghazali sama dengan saat seseorang membuang, maaf, ludah. Seperti halnya seorang tidak pernah mengingat-ingat berapa kali dia meludah dalam sehari, ia juga haram menyebut-nyebut perbuatan-perbuatan memberi.

Sungguh, sebaik-baik Pemberi adalah Tuhan, dan seburuk-buruk pemberi adalah yang mengharap balasan dari selain Tuhan. Dan sebaik-baik pemberian adalah yang mendorong penerimanya berusaha menjadi pemberi, dan seburuk-buruk pemberian adalah yang membuat penerimanya menjadi peminta-minta. Wallahu ‘alam.

Salam,

Amrie

Monday, January 22, 2007

Nenek penjual bunga cempaka

Kisah ini dituturkan KH Jalaludin Rakhmat dari KH Zawawi Imron:

“Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai berjualan ia pergi ke mesjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekadarnya, ia keluar mesjid dan membungkuk-bungkuk di halaman mesjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman mesjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman mesjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari itu sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung mesjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari takmir mesjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk mesjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satupun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke mesjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,“ kata nenek itu, “berikan kesempatan padaku untuk membersihkannya.”

Singkatnya cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun-daun itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya, kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.”

(Sumber: “Sate Rohani dari Madura”, D. Zawawi Imron, Rosda, 2001)

Thursday, January 18, 2007

tentang nama yang baik dan panggilan yang buruk

Rekans tercinta,

Sebagian besar dari kita boleh jadi sering atau setidak-tidaknya pernah mensyukuri betapa indah nama yang diberikan orangtua kepada kita. Bilamana ada di antara kita yang belum melakukannya, tentu patut bagi kita untuk melakukannya. “What’s in a name”, “apa arti sebuah nama”, seperti disebut Shakespeare dalam “Romeo and Juliet”, menurut saya, hanya mengandung kebenaran dalam konteks drama itu saja. Dalam bergaul atau memilih teman tidak perlu kita melihat latar belakang keluarga (family name), atau juga status sosial dan ekonomi seseorang.

Tapi, nama adalah segala-galanya. Nama seseorang adalah doa dari sang orangtua untuk buah hatinya. Juga dikatakan, setiap orang tua adalah "nabi" bagi anaknya pada saat memberikan nama bayi itu (http://www.kawanankecil.org/bs_nama.php). Kawan-kawan Kristen kita boleh jadi akrab dengan ayat berikut: “... sebab seperti namanya demikianlah ia ...” (1SAMUEL 25:25). Jadi, adalah hak sang anak untuk diberikan nama yang baik dari orangtuanya. Hal mana selaras dengan ucapan Nabi Muhammad: “Sesungguhnya di antara hak anak ke atas ayah ialah mengelokkan namanya dan mengelokkan adabnya.” (HR. Al Bazzar).

Berdasarkan hadis di atas, saya setuju dengan pendapat bahwa nama bukanlah predestinasi (ramalan) dari masa depan pemilik nama tersebut. Adalah kewajiban dari orangtua untuk membentuk sang anak dengan ahlak yang luhur dan menjauhkan darinya hal-hal yang dapat mendekatkan si anak kepada moral yang rendah. Dengan memberikan nama Muhammad pada sang anak misalnya, sang orangtua sejak dini wajib mengakrabkan ahlak-ahlak Muhammad pada sang anak sedini mungkin. Anak yang diberikan nama Michael (Mikail) misalnya, menerbitkan kewajiban pada si orangtua untuk antara lain membiasakan anak menjadi seorang dermawan dan amanah, seperti tugas ilahiah Michael sebagai malaikat pendistribusi rezeki.

Demikian pandangan saya tentang betapa pentingnya sebuah nama bagi seseorang. Saya pribadi termasuk orang yang senang akan nama-nama sebagian teman yang indah. Saya kadang penasaran dan tak segan untuk bertanya jika saya tidak mengetahui apa makna dari nama seseorang. Beberapa nama bahkan berkesan di hati saya karena kedalaman maknanya, dan beberapa nama yang lain karena keunikannya. Tiap nama, bagaimanapun, unik. Betapa nama merupakan doa dan mencerminkan pemiliknya juga saya temui buktinya di antara beberapa teman. Seorang sahabat bernama Inayah misalnya, sesuai makna namanya, gemar menolong, dan yang bernama Alam, senang sekali bertualang di alam bebas.

Saya juga senang memanggil teman atau seseorang sesuai dengan nama yang dia miliki karena saya juga senang jika diperlakukan sama oleh orang lain. Sebaliknya, saya tidak senang jika ada teman dipanggil dengan nama yang tidak sesuai dengan namanya, apalagi panggilan tersebut cenderung merendahkan orang tersebut, karena saya pribadi tidak suka jika diperlakukan demikian oleh orang lain. Memanggil teman atau orang lain dengan julukan atau sebutan adalah suatu hal yang lazim di lingkungan kita. Seringkali hal demikian menunjukkan kedekatan atau keakraban kita dengan orang tersebut. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh misalnya, sering dipanggil dengan nama Arman oleh sebagian orang, termasuk oleh pers.

Tapi, memanggil seseorang dengan julukan atau sebutan bukan tidak ada batasannya. Saya berpandangan, sebutan atau panggilan bagi seseorang adalah halal sepanjang tidak merendahkan orang tersebut. Kalaupun panggilan atau sebutan tersebut tidak seindah nama aslinya, setidak-tidaknya orang tersebut menyetujui untuk dipanggil dengan panggilan atau sebutan tertentu. Tapi, saya setuju dengan pendapat bahwa kita dilarang memanggil seseorang dengan nama-nama binatang, kecuali jika maksudnya sebagai sanjungan. Seperti misalnya julukan Asadullah atau singa Allah bagi salah seorang sahabat Nabi yang perkasa di medan peperangan.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan salah satu ayat Al Quran yang berkaitan dengan larangan untuk mengolok-olok orang lain. Terima kasih atas perhatian rekan-rekan semua.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang diolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan jangan kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS 49: 11)

Salam saya,


Amrie

Wednesday, January 17, 2007

tentang menggunjingkan orang lain

Rekans tercinta,

Menggilanya tayangan gosip ternyata tak mampu diredam dengan fatwa MUI bahwa program infotainment itu haram. Fatwa demikian juga diperkuat dengan fatwa serupa dari NU. Saya pribadi berpendapat, meski ada materi tayangan infotainment yang bernilai news dan karena itu bermanfaat bagi publik luas, tapi kebanyakan gosip atau gunjingan yang tidak bermanfaat buat masyarakat, bahkan cenderung merusak moral.

Dengan menonton tayangan infotainment, publik diajak untuk ikut-ikutan menggunjingkan keburukan orang lain. Saya akui bahwa saya dan keluarga juga masih sering tergoda untuk menonton tayangan infotainment, tapi saya berusaha menahan diri untuk mengomentari apa yang ditayangkan, apalagi mendiskusikannya. Cara termudah untuk menghindari bahaya tayangan infotainment adalah dengan tidak menontonnya, atau sesedikit mungkin menontonnya.

Saya pernah membaca wawancara dengan Cut Tary sebagai salah satu presenter salah satu tanyangan infotainment. Waktu itu dia ditanya, apakah orang yang dia gosipin tidak marah sama dia, Cut Tary bilang kurang lebih, “Tidak, tapi kalau mereka marah saya tinggal minta maaf saja”. Apakah sesederhana itu? Minta maaf lalu dosa menggunjing langsung terhapuskan? Cut Tary mungkin lupa kalau memberi maaf kepada orang yang berbuat salah hukumnya tidak wajib. Karena maaf itu harus diberikan secara tulus. Selama si korban pergunjingan tidak memberikan maaf, selama itulah si penggunjing menanggung dosanya.

Berikut ini salah satu khotbah yang indah dari Imam Ali bin Abi Talib, salah satu pemimpin mulia Islam, sepupu (anak paman) dan menantu dari Nabi Muhammad, mengenai menggunjing dan membicarakan keburukan orang lain:

“Orang-orang yang tidak berbuat dosa dan telah dianugerahi keselamatan (dari dosa) harus menaruh belas kasihan pada pendosa dan orang yang tidak taat lainnya. Rasa syukur harus selalu menjadi kegemaran mereka yang paling besar, dan (hal) itu harus mencegah mereka dari (mencari-cari kesalahan) orang lain. Bagaimana tentang si penggunjing yang menyalahkan saudaranya dan mencari-cari kesalahannya? Apakah dia tidak mengingat bahwa Allah telah menyembunyikan dosa-dosa yang dilakukannya, padahal dosa-dosa itu lebih besar dari dosa-dosa saudaranya yang ditunjukannya? Bagaimana ia dapat menjelek-jelekkannya tentang dosa-dosanya padahal ia sendiri telah berbuat dosa seperti itu? Sekalipun ia tidak berbuat dosa yang serupa itu, tentulah ia telah berbuat dosa-dosa yang lebih besar. Demi Allah, sekalipun ia tidak melakukan-dosa-dosa besar tetapi melakukan dosa-dosa kecil, pembeberannya atas dosa-dosa orang itu sendiri merupakan dosa besar”. (Puncak Kefasihan, Khotbah 139).

Salam,

Amrie