Thursday, December 11, 2008

taman orang-orang yang jatuh cinta dan memendam rindu*

Apa yang paling dia inginkan untuk dirinya,
dia inginkan itu untuk sang kekasih
Dia berkata,
aku menyukai apa yang engkau sukai,
dan aku membenci apa yang engkau benci

Hanya melalui sang kekasih
dia mengenal dirinya
Dia berdoa,
Duhai Sumber Segala Cinta,
kehendak dia adalah kehendakku,
penolakkan dia adalah penolakkanku

Sumur dia tak pernah kering
dari mata air baik-sangka kepada sang kekasih
Kerinduan dia adalah demam
yang membuat terjaga malam-siang
Kecemburuan dia menambah garang sakit-rindu

Pena-kitab dia menulis
puji-pujian untuk sang kekasih
Kuas-kanvas dia melukis
merah-merona pipi sang kekasih
Lisan-kata dia mengucap
kebaikan-kebaikan sang kekasih

Dia bermunajat,
Duhai Engkau yang Mahaindah dan mencintai keindahan,
Sungguh telah Engkau perindah kejadian dia,
ku mohon perindah jualah akhlak dia
Duhai Engkau yang Membolak-balikkan hati
tetapkanlah selalu hatiku kepada diin-Mu
juga kepada dia


Kuningan, 11 Desember 2008
--------------------
*Judul diilhami buku "Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu" yang merupakan edisi bahasa Indonesia dari "Raudhah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Mustaqin" karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah yang diterbitkan oleh Darul Falah.

Tuesday, December 09, 2008

manfaat dan kesenangan

Suatu hari, kepada seorang sahabat yang sedang sedih, saya bilang, kesenangan kita mungkin tidak terletak pada seberapa besar manfaat yang kita rasakan dari orang-orang di sekitar kita, tapi pada seberapa besar manfaat yang telah kita berikan bagi mereka.

Bicara memang gampang. Menghadapi situasi yang pernah dihadapi sahabat saya itu ternyata sulit. Dia itu salah satu orang yang gemar menolong sesama. Lebih dari itu, dia juga paling takut melukai perasaan orang lain.

Meski dalam membantu dia tidak pernah berharap pamrih, tapi sebagai manusia biasa dia senang kalau dia beroleh bantuan dari orang-orang di sekitarnya saat dia membutuhkan. Dan sangat manusiawi jika dia sedih ketika itu tidak terjadi.

Saya duga dilema yang dihadapi sahabat saya itu hampir pasti pernah dirasakan setiap orang. Yang lulus ujian adalah mereka yang tidak surut dalam menjadikan dirinya bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang kendati terasa berat dalam melakukan itu. Berat karena dia harus rela (perbuatan baiknya) dilupakan dan, suatu saat, dia ditinggalkan. Berat? Tidak, tapi sangat berat.

Saya sendiri tidak rela perbuatan baik saya dilupakan dan saya merasa terlalu baik untuk ditinggalkan. Tapi, sementara apa yang saya senangi tidak terjadi, apa yang saya tidak senangi malah terjadi.

Syukur saya belum lupa bahwa sangat baik untuk menyenangi apa-apa yang terjadi, jika apa yang kita senangi tidak terjadi. Dan, melalui cara yang paling indah dan tersembunyi, saya sudah dibuat senang oleh sahabat saya itu..

Thursday, November 20, 2008

romantis

Saya punya banyak teori atau pengertian tentang apa itu romantis. Tapi tidak sebanyak yang mungkin saudara-saudara punyai atau pikirkan. Salah satu definisi saya soal romantis adalah merahasiakan perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan untuk orang yang kita sayangi. Tercakup dalam pengertian itu adalah perbuatan-perbuatan yang hampir semua orang awam anggap supertolol, mahagoblok atau bahkan "membahayakan" demi melindungi orang yang kita sayangi dari hal-hal yang jauh lebih supertolol, mahagoblok atau "membahayakan".

Romantis adalah mengorbankan perbuatan-perbuatan baik kita tidak diketahui,
bahkan oleh siapa perbuatan baik itu kita tujukan.
Romantis adalah memberikan sekuntum mawar setiap hari kepada seorang gadis buta yang tidak tahu siapa dan seperti apa (wajah) si pemberi mawar itu, dan ketika si gadis buta itu akhirnya dapat melihat, si pemberi mawar tetap tidak membuka identitasnya sebagai si pemberi mawar. Romantis adalah menjadi rahasia itu sendiri, bukan si pemegang rahasia.

Romantis adalah kegilaan atau kepatuhan bagai budak kepada dia yang kita
sayangi. Romantis adalah melupakan hasrat untuk menghitung untung-rugi atau
kadang menjaga harga-diri.
Romantis adalah penolakan dalam kepatuhan dan kepatuhan dalam penolakan. Romantis adalah memberi kecupan-kecupan kecil di saat sang kekasih sedang lelap dalam tidurnya, terbang bersama mimpinya. Romantis adalah menolak untuk menjadi romantis. Romantis adalah berhenti berkata-kata lagi.

Itulah teori saya mengenai romantis. Anda boleh tidak setuju dengan (teori) saya. (Pengertian) kita tidak perlu menjadi sama, dan saya berharap anda berbeda dengan saya. Karena, buat saya, itu juga romantis.

Thursday, November 13, 2008

balas dendam

Saya bukan tipe pembalas dendam. Tapi, sekali-dua kali saya ingin betul membalas dendam. Tidak cuma sebanding dengan luka yang saya alami, tapi melebihi itu. Pasti nikmat rasanya melihat orang yang sebelumnya berbuat buruk kepada kita menderita antara hidup dan mati.

Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, buat apa balas dendam? Toh, saya tidak sakit-sakit amat. Kalaupun sesaat sakit sekali rasanya, tapi lama-lama sakitnya bisa hilang (terlupakan) juga. Buat apa balas dendam? Toh, semua di dunia ini ada hitung-hitungannya.

Saya juga, anehnya, bukan tipe pemaaf. Saya sering mengatakan, maafkanlah tapi jangan melupakan. Ini tidak boleh sebetulnya. Karena idealnya memaafkan itu satu paket dengan melupakan. Karena buat apa memaafkan tapi masih mengingat-ingat kesalahan orang lain?

Buat saya tidak mudah ya untuk melupakan begitu saja orang yang sudah bikin hati kita babak belur. Memaafkan adalah satu hal, tapi melupakan adalah hal lain lagi. Saya tidak mau melupakan supaya tetap ingat agar tidak jadi korban kejahatan orang itu lagi. Itu pembenaran saya.

Tapi, begitu saya timbang-timbang lagi, baiknya saya lebih sering-sering memaafkan dan melupakan. Karena toh saya ini orang yang pelupa. Jadi, kenapa tidak saya memanfaatkan kelemahan saya yang satu itu untuk hal yang baik?

Bagaimanapun, saya mencadangkan hak saya untuk balas dendam. Jenis balas dendam seperti yang pernah dikatakan Cak Nun, "Seribu kali saya berbuat baik, orang tetap saja mencari-cari keburukan saya. Maka saya balas dendam, seribu kali orang berbuat buruk kepada saya, saya akan mencari-cari kebaikan orang tersebut." Wallahu 'alam.

Thursday, November 06, 2008

mungkin

Si mungkin itu terkadang baik hati. Sesuatu mungkin bisa membuat kita marah atau sedih pada saat tertentu. Tapi, asalkan kita bersabar sesuatu itu mungkin bisa membikin kita tersenyum atau bahagia. Jadi, mungkin kita perlu lebih sering-sering bersabar menunggu si "mungkin" ini menunjukkan batang hidungnya dan mengajak dia bercengkrama.

Si pasti itu tidak selamanya bersahabat. Seseorang yang selama ini kita duga teman kita dan pasti akan membantu kita saat dibutuhkan, ternyata tidak seperti yang kita duga. Sebaliknya, orang lain yang selama ini tidak pernah nempel di pikiran (apalagi di hati) kita dan pasti dia juga tidak peduli sama kita, tidak tahunya malah dia yang rajin membantu kita, dengan atau tanpa kita ketahui, di belakang dan di depan kita. Nah, makanya baiknya jangan terlalu sering menggauli si "pasti" itu.

Satu hal lagi nih yang lumayan penting diungkapkan. Selama ini saya mengira bahwa orang yang paling patut dikasihani adalah dia yang tidak punya teman atau punya sedikit saja teman. Karena orang-orang seperti itu sudah pasti kesepian dan tidak punya orang lain yang bisa diandalkan, dimintakan bantuannya, atau jadi teman berbagi cerita.

Tapi, saya salah banget soal itu. Ternyata orang yang paling wajib dikasihani adalah orang yang menduga dia punya banyak teman, tapi ternyata dia tidak punya satu bijipun. Bagaimana tidak kasihan, wong ketika dia lagi jatuh sejatuh-jatuhnya dan dia pikir akan ada (banyak) orang yang menopangnya, ternyata malah kagak ade. Itu sakitnya dua kali, mas dan mbak. Sakit pertama adalah saat dia tahu tidak ada orang (teman) yang menolongnya, dan yang kedua sakit karena jatuhnya itu. Naudzubillah.

Maka dari itu, oom dan tante, boleh saja kita mengandalkan atau setidak-tidaknya menggantungkan harapan orang lain untuk hadir membantu saat kita butuhkan. Tapi, jangan terlalu mengandalkan dan harapannya sebaiknya tidak digantung terlampau tinggi. Menurut saya, yang paling baik adalah menyiapkan diri kita untuk menjadi penolong bagi diri kita sendiri. Dan tingkat atau kualitas yang lebih tinggi lagi adalah menyiapkan diri untuk membantu orang lain, tidak peduli dia itu teman kita atau bukan.

Teman itu ibarat si pasti dan orang-orang yang bukan teman itu si mungkin-nya. Menggantungkan harapan yang terlalu tinggi kepada teman itu hampir-hampir tergolong sebuah kejahatan karena kerugian yang bisa ditimbulkannya terhadap diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, orang lain yang tidak kita anggap teman itu mungkin jadi teman kita dan sangat-sangat mungkin menjadi penolong kita saat semua orang yang kita anggap teman pasti meninggalkan kita. Mungkin.

Wednesday, October 08, 2008

'tetapi, aku ingin membunuhmu'

(What Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Pasukan gabungan (ahzab) kaum musyrikin Mekkah dan Yahudi mengepung Madinah. Kaum muslimin membentengi kota Madinah dengan menggali parit (khandaq) mengelilingi kota. Where Madinah. When Sekitar tahun 5 Hijriyah. Who Ali bin Abi Thalib, panglima pasukan Rasulullah Saw, dan Amr bin Abdu-Wud, pendekar perang pasukan Mekkah)

Para pendekar perang Quraisy tidak sabar lagi untuk terus-menerus berhenti di luar kota Madinah. Apalagi mereka hanya melakukan pengepungan sambil menunggu akibat-akibat apa yang akan terjadi. Amr bin Abdu-Wud bersama Ikrimah bin Abu Jahal dan Dhirar bin al-Khathab kemudian mencari bagian parit yang paling dangkal lalu mencambuk kuda mereka untuk melintasi parit.

Melihat bahaya sudah di ambang pintu, kaum muslimin segera mengerahkan beberapa orang pasukan berkuda di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib guna membendung gerakan musuh yang melintas daerah pertahanan paling rawan itu.

Amr bin Abdu-Wud terkenal seorang pendekar perang yang berani dan gesit, kepadanya Ali bertanya:

"Hai Amr, kudengar engkau telah bersumpah, jika ada seseorang dari Qureisy yang mengajukan dua pilihan kepadamu, engkau bersedia memilih salah satu di antaranya, bukan?"

"Ya benar," jawab Amr.

"Seakarang engkau kuajak supaya bersedia memeluk Islam serta beriman kepada Allah dan rasul-Nya," kata Ali lebih lanjut.

"Aku tidak membutuhkan itu," sahut Amr.

"Kalau begitu, engkau kuajak duel," kata Ali.

"Apa?" sahut Amr dengan nada meremehkan Ali. "Demi Allah, aku tidak ingin membunuhmu."

"Tetapi, aku ingin membunuhmu," jawab Ali sambil menyerang kuda Amr kemudian dibantai.

Setelah itu, Ali turun dari kudanya, dan terjadilah pertarungan satu lawan satu. Pada akhirnya, Ali berhasil membunuh Amr. Melihat Amr jatuh terkapar, teman-temannya lari terbirit-birit menyeberangi parit kembali.*


----------------------
* Referensi: Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Mitra Pustaka, Cet. V, April 2006.

Monday, September 22, 2008

terbuka

Seorang sahabat belum lama ini dengan baik hati mengingatkan saya agar mau sedikit mengerem kebiasaan mengomentari penampilan orang lain. Dia bilang antara lain, "Mas musti membatasi komentar soal apa yang dipakai seseorang, terutama kalau orang itu agak-agak 'berani' dalam berpakaian." Sahabat saya khawatir komentar saya malah berakibat tidak baik bagi orang yang bersangkutan.

Sebagai laki-laki, saya sebetulnya merasa dimanjakan dengan mode pakaian perempuan saat ini. Mode di mana perempuan cenderung memakai pakaian yang serba terbuka. Kalau tidak terbuka bagian atasnya, yah di bagian bawahnya. Kalau tidak kedua-duanya, terbuka di bagian tengahnya. Bahkan tidak jarang ada yang memakai pakaian yang membuka bagian atas, tengah dan bawah tubuh perempuan. Dalam konteks inilah (mata) saya benar-benar dimanjakan.

Baru-baru ini saya juga sempat dibuat pusing dengan kebiasaan berpakaian seseorang yang ada di rumah saya. Saya sempat mau menegur langsung tapi kemudian batal karena ingin mencari momen yang benar-benar pas. Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya momen itu datang juga yaitu saat hatinya sedang riang, atau lebih tepatnya saat sedang berbelanja pakaian.

"Beli saja celana yang itu, bagus karena menutupi sebagian besar kaki kamu. Modelnya santai tuh bisa dipakai di rumah juga. Jadi, kamu tidak perlu lagi mengikuti tren mode para asisten rumah tangga di RT kita yang hobi bercelana agak pendek," kata saya. Orang yang saya ajak bicara tertawa saja. Setelah itu saya berdoa semoga dia menangkap pesan saya.

Sebelumnya, saya pernah mengomentari pakaian seorang teman yang menurut saya terlalu terbuka. Saya tanya kenapa dia berani memakai baju seperti itu ke tempat umum (saya menganggap acara resepsi sebagai tempat umum). Dia bilang pakaian dia sebetulnya tidak terlalu terbuka karena dia menutupnya dengan selendang. Lagipula, kata dia lagi, pakaiannya hanya "agak" terbuka di bagian atasnya, sedang di bagian bawah seluruhnya tertutup.

Saya baru saja menamatkan salah satu buku baik dari Quraish Shihab yang berjudul "Perempuan". Pada salah satu bagian buku itu, diungkapkan salah satu kecemasan (atau mungkin kemarahan) penulis berkaitan dengan tren busana wanita saat ini yang serba terbuka. Penulis menilai sebagian perempuan telah menjadi korban para perancang busana yang hendak membuka seluruh wilayah tubuh (perempuan) yang semestinya tertutup. Penulis juga menilai para perancang itu makin hari terlihat makin bingung dengan hasil karya mereka sendiri. Hal itu, kata Quraish Shihab, antara lain ditunjukkan dengan mode pakaian yang aneh-aneh misalnya, terbuka pada bagian atas, tapi tertutup pada bagian bawah atau sebaliknya. Atau juga, bagian depan tubuh sepenuhnya tertutup, tapi bagian belakangnya habis terbuka.

Saya berterima kasih kepada sahabat yang menasihati agar saya menahan komentar tentang cara seseorang berpakaian. Karena sahabat saya itu mengingatkan saya kembali tentang betapa kuatnya argumen (hujjah) saya untuk melakukan itu (mengomentari pakaian yang terlampau terbuka). Saya pikir kalau seseorang berani memakai pakaian terbuka, dia juga harus berani menerima komentar-komentar dari orang-orang seperti saya (maksudnya, orang yang senang-senang saja melihat perempuan berpakaian terbuka, tapi tidak senang kalau yang memakainya adalah orang-orang dekat). Wallahu 'alam.

Thursday, September 04, 2008

tidak semua keinginan bisa, eh, harus diwujudkan

Saya lagi naksir hape terbaru keluaran produsen Korea. Pertama kali lihat di majalah FHM edisi September '08, langsung jatuh cinta. Besoknya saya mampir ke gerainya di Lippo Supermall, makin jatuh cinta. Memang masih ada keragu-raguan misalnya, bagus-tidaknya kualitas hape itu. Tapi, sepertinya cinta saya jauh lebih besar daripada keraguan saya.

Belakangan ini, istri iba melihat saya yang sering termenung di depan iklan hape itu di FHM. Tak seperti biasanya, majalah FHM saya kini lecek di bagian iklan hape tersebut, dan bukan di halaman-halaman "menu utama" majalah itu. "Ya sudah nanti beli saja pakai uang THR," kata istri mencoba menghibur. "Ngga lah, bisa-bisa uang THR saya tinggal sedikit kalau buat beli itu. Padahal, banyak keperluan lain yang lebih penting," kata saya berlagak bijak.

Saya sempat melupakan keinginan memiliki hape tersebut walaupun tidak beberapa lama. Saat melintas daerah Slipi, saya melihat iklan hape itu di baliho yang besar sekali. Wah, cinta lama bersemi kembali jadinya. Besoknya saya lewat jalan itu lagi dan lihat baliho itu lagi, "Aduh jadi tambah ingin memiliki," kata saya dalam hati.

Teman saya bilang, hape itu tidak terlalu bagus. Penilaian itu bukan karena dia sudah punya atau tahu dari orang yang sudah memakainya, tapi hanya berdasarkan iklannya. Saya tidak peduli karena sudah terlanjur jatuh cinta. Saya bahkan tidak perlu diyakinkan oleh siapapun lagi kalau hape itu bagus dan wajib dimiliki. Cinta saya sepertinya nyaris irasional.

Tapi, saya tahu kalau tidak semua keinginan harus kita wujudkan, sekalipun kita bisa mewujudkannya. Hidup adalah seni memilah dan memilih mana keinginan yang harus kita wujudkan, mana yang bisa kita kesampingkan, dan mana yang perlu kita kubur dalam-dalam. Keinginan adalah sumber penderitaan, begitu kata Iwan Fals. Itu boleh jadi benar. Dan jangan menganggap semua penderitaan itu sebagai hal yang negatif. Penderitaan adalah bagian dari perjuangan untuk mewujudkan keinginan. Dan hidup adalah perjuangan, begitu kata pak Quraish Shihab tadi subuh di TVRI. Dalam kasus hape ini, saya siap menderita demi menunggu masa yang tepat untuk memilikinya, atau bahkan untuk tidak memilikinya. Insya Allah.

Monday, August 18, 2008

alam

Namanya Alam. Dia boleh dikata sahabat saya. Salah satu yang terbaik. Dari dulu sampai sekarang, Alam nyaris selalu siap saya buat susah. Padahal, dia tidak pernah menyusahkan saya. Sepuluh tahun lebih saya berteman sama Alam. Dari dulu sampai sekarang, Alam selalu bikin saya seolah-olah dia tidak punya teman lain sehebat saya atau sesukses saya. Padahal, saya tidak hebat, apalagi sukses. Alam tidak pernah mengungkapkan kesedihan dia di depan saya. Bahkan, dia baru menceritakan kepada saya soal ibundanya yang wafat setelah berbulan-bulan kemudian. Orang macam apa yang tidak mengetahui musibah yang sedang menimpa sahabatnya? Sahabat macam apa saya? Tapi, Alam tidak pernah ambil pusing. Itu sifat dia. Tidak mau menyusahkan orang lain. Alam tidak pernah satu kalipun menempatkan saya di posisi di mana saya harus memilih di antara dua atau lebih pilihan sulit. Alam tidak pernah mau bikin orang lain pusing. Itu kebiasaan dia. Saya pusing kenapa Alam masih mau berteman dengan saya. Padahal, saya gagal dalam banyak ujian untuk menjadi teman apalagi sahabat yang baik. Saya heran kenapa saya malah getol mencari orang-orang lain macam Alam untuk saya jadikan sahabat daripada berpikir bagaimana menjadi Alam bagi teman-teman yang sudah saya punya. Atau sekadar menjadi Alam untuk Alam.

Tuesday, August 12, 2008

surga

Saya pernah diajarkan dulu bahwa wanita yang wafat ketika melahirkan akan masuk surga. Sejak pertama kali mengetahui hal tersebut (mungkin hadis) tidak sulit bagi saya untuk memercayainya. Mungkin saja ada tempat tersendiri di surga bagi para wanita yang gugur waktu memperjuangkan hidup sang jabang bayi dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri.

Kemarin pagi, saat sedang mengurus administrasi di loket askes di sebuah RS di Tangerang, saya bertemu dengan seorang bapak yang juga sedang mengurus keperluan yang sama untuk istrinya. Awalnya, saya hanya mendengar secara sambil lalu waktu si bapak berjawab-tanya dengan petugas loket askes.

Untuk beberapa saat, tidak ada yang istimewa dari tanya-jawab antara sang bapak dengan petugas loket askes. Dari dialog antara keduanya, saya jadi tahu bahwa istri sang bapak baru saja melahirkan anak keduanya lewat operasi. Awalnya, saya juga tidak terlalu memerhatikan betapa selama berbicara wajah sang bapak terlihat murung (ekspresi yang lumrah ditemui di RS di mana saja).

"Istri Bapak meninggal jam berapa?" pertanyaan sang petugas itulah yang bikin saya terkejut. Saya langsung melihat ke wajah sang bapak yang sejak tadi berdiri persis di sebelah kanan saya. "Jam sembilan tadi," jawab si bapak. Saya lemas dan tidak tahu mesti bagaimana. Akhirnya, saya paksa untuk membuka mulut, "Yang meninggal istri Bapak?" Sang bapak mengiyakan. Saat itu saya bisa melihat lebih jelas ekspresi si bapak. Jelas sekali kalau dia sekuat tenaga menyembunyikan kesedihannya. "Bapak biar sabar ya," ucap saya yang tidak tahu harus bicara apalagi. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.

Anaknya selamat meski masih dalam perawatan khusus. Jenazah almarhumah istrinya masih di ruang ICU. Kepada sang petugas si bapak mengatakan kalau dia dan istrinya masuk RS itu pada Minggu sore. Usia kandungan sang istri saat itu delapan bulan. Sang istri memiliki riwayat penyakit yang, menurut si bapak, telah diinformasikan kepada pihak RS di hari pertama mereka masuk.

Lepas dari apapun yang terjadi di meja operasi, saya yakin istri sang bapak itu masuk surga. Saya tidak melihat balasan yang lebih baik dari surga bagi sang ibu yang telah menjaga dengan penuh cinta, kasih dan sayang bayi yang dikandung selama delapan hingga sembilan bulan penuh, siang-malam, sambil berdiri dan duduk, panas dan sejuk, di bawah terik matahari dan guyuran hujan, dalam keadaan kuat dan lemah, saat istirahat dan juga bekerja, dan kemudian wafat ketika berjuang hidup sang bayi dengan hidupnya sendiri... Balasan apalagi yang lebih baik dari surga?

Thursday, July 31, 2008

jangan pelit dong

Sungguh, orang gila yang pelit itu lebih baik daripada orang pelit yang gila. Karena orang yang disebut pertama itu tidak jadi pelit kecuali karena kegilaannya, sedangkan orang yang disebut belakangan itu tidak jadi gila kecuali karena kepelitannya. Naudzublillah. Jangan gila, eh, jangan pelit dong!

Sunday, July 13, 2008

insya Allah, mas’

Pada suatu malam, sepulang kerja, mas Ikan mampir ke ATM untuk menarik uang. Normalnya dua hari sekali, di hari kerja, mas Ikan menarik uang dari mesin yang letaknya tidak jauh dari tempat motornya terparkir itu.

Setelah menarik selembar uang yang menyembul di bagian bawah mesin, mas Ikan kini menunggu struk bukti transaksi. Tidak jarang, bagian ini bisa menjadi sesuatu yang menegangkan buat mas Ikan; melihat deretan angka yang tercetak di secarik kertas itu.

Tak seberapa lama, kertas itupun terjulur keluar dari mesin, dan langsung disambar lembut mas Ikan. Mas Ikan untuk beberapa saat memandang sederet huruf dan angka di kertas putih kecil itu, perhatiannya tertuju pada bilangan-bilangan yang menunjukkan sisa saldo tabungannya. Lalu, dia tersenyum sambil mengucap ’alhamdulillah’.

Saat melangkah keluar dari bilik ATM, mas Ikan menyunggingkan senyum kepada seorang yang sedang berdiri tak seberapa jauh darinya. Mas Ikan berkata, ”Usahakan untuk selalu mengucapkan alhamdulillah setiap kita melihat isi kertas ini, walaupun deretan angkanya mungkin tidak terlalu menyenangkan kita.” Orang yang kebetulan teman sekantor dengan mas Ikan itu balas tersenyum dan bilang, ”Insya Allah, mas.”

***

Pernahkah Anda main film hanya karena uangnya?

Nggak.

Kenapa? Apakah karena Anda nggak ingin pikiran terganggu dan bisa tidur nyenyak?

Karena saya harus bisa bangun dan pergi bekerja. Kita harus punya motivasi yang lebih kuat dari sekadar uang agar kita bisa bangun jam empat pagi, setiap hari, selama beberapa bulan. Uang bukan motivasi yang kuat bagi saya.

Ya karena Anda sudah punya uang. Anda sudah mengeyam kemewahan.

Tapi saya nggak pernah termotivasi karena uang. Pengalaman adalah sesuatu yang menambah kaya hidup saya dan pada akhirnya semua itu mendatangkan uang bagi saya. Tetapi saya nggak pernah termotivasi untuk mengumpulkan uang, atau tergantung kepada uang atau semacamnya. Itu bukan tipe saya.

Bagaimana dengan pekerjaan yang Anda lakukan sebelum terkenal? Pernah kerja di arena permainan bingo, perawat kuda, dan sebagainya. Apakah Anda menikmati itu semua?

Ya, semuanya benar, lho. Kalau itu pekerjaan kita, ya harus kita nikmati. Kalau kita seorang waiter, janganlah kita pergi bekerja sambil bersungut-sungut soal pekerjaan itu. Kalau saya justru mengatakan, ”Oke, teman-teman, mari bekerja,” ha ha! Dan ketika saya menjadi waiter, saya berusaha menjadi waiter terbaik, dan waktu bekerja di tempat Bingo juga demikian. Mungkin kedengarannya klise ya, tapi itulah kenyataannya dan begitulah sifat saya. Apapun yang saya kerjakan, saya berikan yang terbaik.*

*Wawancara FHM dengan Russell Crowe, FHM Juni 2008

Tuesday, July 01, 2008

ya Tuhan kami..

Ya Tuhan kami,
walau Engkau adalah Kebenaran Mutlak,
tapi maaf-Mu selalu mendahului murka-Mu

Ya Tuhan kami,
ampunilah kami
yang jarang sekali menetapi kebenaran,
tapi murka kami selalu mendahului maaf kami

Ya Tuhan kami,
maafkan kami
karena sering ragu dalam memberi maaf,
tapi jarang sekali berpikir panjang untuk melampiaskan murka

Ya Tuhan kami,
dekatkan lah kami senantiasa dengan maaf-Mu,
dan jauhkan lah kami sejauh-jauhnya dari murka-Mu

Ya Tuhan kami,
kasihanilah kami
kasihanilah kami

Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami manusia yang sadar akan kekerdilan kami,
kebodohan kami, kelemahan kami,
sehingga kami mudah dan suka memberi maaf
sehingga kami sukar dan takut melampiaskan murka

Sayangilah kami, ya Rabbi..

Tuesday, June 24, 2008

gila


aku gila
gila akan sesuatu yang pantas
digilai
kalaupun menurutmu dia tidak pantas
digilai
kegilaanku kepadanya
cukuplah sebagai buktinya

aku gila
kegilaan yang memaksa ku menceraikan
kewarasanku
atau paling tidak dia telah memaksa
kewarasanku
untuk berbagi dengan kegilaan
sebagai madu

aku gila
tapi jangan kasihani aku
pantaskah mengasihani orang yang
gila cinta?
kasihanilah diri anda sendiri
karena terlalu mencintai
kewarasan dan takut kegilaan
karena cinta!

aku gila
dan jangan mencariku atau
menyembuhkanku
bagaimana anda mencari orang
yang tersesat dalam
dirinya sendiri?
bagaimana anda menyembuhkan
sakit yang tak tersembuhkan
kecuali dengan
sakit itu sendiri?

aku gila
karena memiliki sesuatu yang
tak kubutuhkan
sementara ku membutuhkan
sesuatu yang
tak kumiliki!

aku gila
gila di atas gila
jangan cibir aku
karena belum pernah aku
sewaras ini!


amrie, kuningan, 24 juni 2008

Wednesday, June 18, 2008

yusuf


Kita semua seperti Zulaikha, budak penglihatan dan korban dari penampilan.


~ Jami

Kisah Yusuf adalah "kisah yang paling baik" yang pernah diwahyukan Allah kepada Muhammad Rasulullah (QS. Yusuf: 3). Kisah Yusuf memiliki spektrum luas dan sangat kaya dengan pelajaran. Saya beruntung jika dapat menceritakan kepingan paling kecil dari kisah Yusuf dan mampu mengambil pelajaran yang paling sederhana dari kepingan kisah itu.

Allah menciptakan Yusuf sebagai manusia paling rupawan dari jenis laki-laki. Saya tidak punya referensi yang menerangkan tentang keindahan rupa Yusuf selain dari buku "Yusuf & Zulaikha" karya Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami. Di dalam bukunya, Jami', sufi penyair Persia yang masyhur, melukiskan ketampanan Yusuf sebagai berikut:
"Bagaimana aku dapat menggambarkan daya tarik remaja ini, yang lebih indah bahkan dari malaikat dan bidadari surga? Ia adalah bulan di cakrawala keanggunan yang bercahaya di dalam dan di luar. Bulan? Bukan, matahari yang bersinar! Tetapi bahkan matahari pun hanyalah suatu bayangan udara dari kemegahan sumber abadi, yang suci, cahaya tak bercela di atas segala pembatasan tentang 'apa' dan 'bagaimana'."
Allah telah menakdirkan bahwa bayangan ketampanan dan keindahan rupa Yusuf masuk ke dalam mimpi Zulaikha, seseorang yang bahkan belum pernah melihat Yusuf. Sejak mendapat mimpi itu, Zulaikha telah jatuh cinta dan tergila-gila pada sosok rupawan tak bernama yang muncul dalam mimpinya.

Sang pecinta, Zulaikha, adalah putri kesayangan seorang raja yang makmur, berkuasa, dan termasyhur yang bernama Taimus. Sebelum bayangan Yusuf hadir ke dalam mimpinya, hari-hari Zulaikha penuh dengan suka-cita, siang maupun malam. Sebagaimana dilukiskan Jami':

"Tak pernah hatinya tertekan oleh kesedihan paling kecil sekalipun, tak pernah ada duri yang sampai menggores kakinya. Tak pernah ia jatuh cinta, tak pernah pula ia menjadi kekasih seseorang, ia tak peduli akan nafsu seperti itu."

Seperti Yusuf, kecantikan Zulaikha pun begitu masyhur. Kecantikan Zulaikha pun telah mengundang banyak raja maupun pangeran dari berbagai negeri untuk meminangnya. Tapi, sebanyak pria yang meminangnya, sebanyak itulah penolakan yang diberikan pihak Zulaikha. Tentang kecantikan Zulaikha, Jami' antara lain menulis:

"Zulaikha adalah bintang yang paling cantik pada cakrawalanya, permata yang paling gemerlap dalam kejayaannya. Menangkap kecantikannya saja dalam ucapan dan tulisan seakan mustahil, dan apalagi yang dapat saya katakan pada emas dan permatanya?"

Jalan nasib yang berliku akhirnya mempertemukan Yusuf dengan Zulaikha. Cinta Zulaikha kepada Yusuf sudah tidak bisa lagi dia bendung. Zulaikha akhirnya menyatakan cintanya kepada Yusuf yang saat itu telah menjadi anak angkat Wazir Agung Mesir, suami Zulaikha:

"'Wahai cahaya mataku, wahai suluh yang lembut, yang berkat sinar cahayanya aku tidak memerlukan bulan! Aku tahu tak mempunyai arti di matamu. Di antara semua pelayanmu, akulah budak yang paling rendah, tetapi mengapa engkau tak dapat menaruh belas kasihan kepada seorang perempuan udak yang malang, dan menghibur dalam kesedihannya? 'Tunjukkan kepadaku suatu kebaikan, izinkan aku memuaskan hasratku pada bibirmu. Biarlah hatimu mencair, sekalipun hanya sejenak, dan berikan kembali kepadaku kedamaian pikiranku. Berikanlah sejenak waktu untuk menemaniku, dan saksikanlah keluasan maksud baik yang aku rasakan bagimu."

Zulaikha yang hati telah terbakar cinta menggunakan berjuta cara dan rayuan untuk mendapatkan Yusuf. Tapi, sejuta cara yang digunakan Zulaikha, sejuta penolakan pula yang Yusuf berikan kepadanya:

"Dengarkanlah aku. Engkau yang hati dan jiwanya terbungkuk karena beratnya cintamu kepadaku, apabila pengakuan cintamu sepenuhnya benar seperti cahaya fajar, maka seharusnyalah mengikut bahwa satu-satunya keinginanmu adalah menyesuaikan diri dengan hasratku. Sekarang, yang aku minta kepadamu adalah melayanimu, dan apabila engkau menolak permintaanku ini, maka bukanlah itu cara seseorang mencintai. Hati yang rindu cinta tidak mencari apa-apa kecuali untuk memuaskan si tercinta, kepuasan pribadi sepenuhnya akan dikorbankan ke dalam hasrat untuk menyenangkan (si tercinta)."

Puncaknya adalah ketika Zulaikha memerangkap Yusuf di dalam istana yang dia buatkan untuknya. Pada kesempatan itulah, Yusuf hampir jatuh ke dalam cumbu-rayu Zulaikha, namun Allah menyelematkan beliau alaihissalam. Karena, seperti dikisahkan dalam Al-Quran, Yusuf pun "berkehendak" kepada Zulaikha. Saat Yusuf berusaha berpaling dan berusaha melarikan diri, Zulaikha menarik bagian belakang jubah Yusuf hingga robek. Karena sang Wazir Agung lebih memercayai dusta Zulaikha meskipun semua bukti memberatkan sang istri, hukuman pun ditimpakan kepada Yusuf yang sebenarnya adalah korban kejahatan Zulaikha.

Roda zaman kemudian berputar. Keistimewaan Yusuf yang dapat menafsirkan mimpi diketahui oleh raja. Yusuf dibebaskan dari penjara dan setelah berhasil menafsirkan mimpi raja, ia diangkat sebagai Wazir Agung Mesir yang baru. Jauh sebelumnya, di dalam salah satu mimpinya, Zulaikha pernah melihat bayangan Yusuf sebagai Wazir Agung. Mimpi itulah yang membuat Zulaikha datang ke Mesir dan kemudian melamar Wazir Agung yang ternyata bukanlah laki-laki yang dia lihat dalam mimpi. Sementara itu, Wazir Agung yang lama meninggal dunia karena kesedihan tak terkira lantaran kehilangan kekayaan dan jabatan. Nasib Zulaikha hanya sedikit lebih baik dari sang suami. Ia kehilangan segala kekayaannya, tapi tidak ada nestapa lain yang menghancurkan dia kecuali nestapa cinta karena Yusuf yang semakin menghancurkan ruh dan raganya. Jami melukiskan kebangkitan Yusuf, dan keterpurukan Zulaikha dengan sangat indah:

"Karena demikianlah jalan langit dalam kediaman kekecewaan ini: perlahan dalam cinta, cepat dalam kebencian, mengangkat seseorang setinggi matahari yang memuncak, membaringkan yang lainnya terkapar bagai bayangan."

Jalan langit pula yang akhirnya mempertemukan kembali Yusuf dengan Zulaikha. Yusuf tidak lagi mengenali sosok Zulaikha yang tua-renta dan nyaris buta dan hidup sebagai gelandangan. Kegagalannya mendapatkan cinta Yusuf telah merenggut kecantikan dan kemudaan Zulaikha. Keterpisahan dengan Yusuf telah menghancurkan jiwa Zulaikha. Hilangnya cahaya wajah Yusuf membuat kedua mata Zulaikha tenggelam dalam air mata darah. Harta Zulaikha telah terkuras bagi siapa saja yang menyanyikan pujian bagi Yusuf. Atas izin Allah, Yusuf mengembalikan kemudaan dan kecantikan Zulaikha. Dengan izin dari Allah pula, Yusuf kemudian dipersatukan dengan Zulaikha. Belakangan, Yusuf baru mengetahui bahwa Zulaikha masih suci dan tidak pernah disentuh oleh Wazir Agung yang lama yang pernah menjadi suaminya. Ketika mendengar penjelasan mengenai bagaimana Zulaikha menjaga kesuciannya untuk dirinya, Yusuf berkata:

"'Katakan kepadaku, wahai engkau yang bahkan lebih cantik dari bidadari, tidakkah engkau berpikir ini lebih baik daripada yang engkau kehendaki?'

"'Ya!' Jawab Zulaikha. 'Maafkan aku, kepedihan cinta itulah yang menurunkan aku kepada keadaan itu. Hatiku dahulu berada dalam belenggu nafsu yang tanpa batas. Jiwaku disiksa oleh sakit yang tak ada obatnya. Rupamu begitu elok sehingga setiap saat melemparkan perasaan ke dalam gejolak yang bahkan lebih besar. Hal itu lebih besar daripada yang dapat aku tanggung. Maka aku memohon kepdamu untuk menarik ampun atas kejahatanku. Bagaimana mungkin si tercinta menghina si pencinta demi kata-kata yang timbul dari cinta yang mutlak?'"

==================
Referensi:
Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami, "Yusuf & Zulaikha", penerjemah, M. Hasyim Assagaf, Penerbit Lentera, Edisi Revisi, Cet. 1, 2002.

Tuesday, June 10, 2008

abtar

Dulu waktu kami baru menikah dan belum punya momongan, banyak yang menanyakan ke istri, "Udah isi belum?" Pertanyaannya memang sederhana, tapi kalau ditanyakan terus-menerus selama berbulan-bulan oleh bermacam-macam orang, ternyata bisa bikin pusing juga.

Kemudian Allah menganugerahi kami seorang putri. Keluarga besar kami bersyukur. Apalagi kedua orangtua saya yang punya tiga orang anak dan semuanya laki-laki. Beberapa tahun kemudian, saya dan istri pun kembali menerima pertanyaan yang umum dialamatkan pasangan yang baru punya anak satu, "kapan nih tambah satu lagi?" Pertanyaan ini tidak terlalu berat, jadi kami bisa menjawab dengan santai, "nanti lah tunggu yang pertama agak besar".

Kemudian Allah memberkahi kami kembali dengan seorang putri. Keluarga besar kami semakin bersyukur. Memang ada yang berharap anak kedua kami akan berjenis kelamin laki-laki, tapi saya dan istri tidak pernah berharap seperti itu. Doa dan harapan saya dan istri sejak awal kehamilan anak kedua (dan juga anak pertama dulu) adalah supaya anak kami akan terlahir sehat, apapun jenis kelaminnya.

Tapi, rupa-rupanya keluarga yang punya anak yang semuanya perempuan bukan dianggap sebuah prestasi. Bahkan, seorang tetangga yang juga punya dua orang putri seoleh-olah tidak bangga dengan itu. "Itu (punya dua anak perempuan) sih bukan alhamdulillah, pak Amrie," begitu katanya kurang lebih. Saya kaget juga waktu dengar itu, tapi kemudian saya pikir dia hanya bersikap merendah.

Sepertinya (komentar) tetangga saya itu mewakili persepsi umum di masyarakat bahwa anak laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Kemudian, ada juga satu-dua orang yang menafsirkan karunia anak perempuan sebagai "hukuman" buat ayahnya. Mereka yang menganut tahayul ini biasanya mengatakan, "Lo sih suka begini-begitu sama perempuan, jadi lo dikasih anak perempuan."

Persepsi-persepsi masyarakat umum seperti di atas memang tidak muncul begitu saja. Pasti ada penyebabnya, ada sejarahnya, dan itu tidak terlepas dari budaya serta tingkat pendidikan masyarakat yang bersangkutan. Persepsi bahwa anak laki-laki lebih unggul adalah warisan budaya kerajaan di mana anak laki-laki adalah putra mahkota penerus dinasti. Kalau seorang raja hanya punya anak perempuan dan tidak punya anak laki-laki, maka dianggap terputuslah garis keturunannya dan mahkota dialihkan kepada pihak lain, bukan kepada sang putri.

Itu sedikit banyak mengingatkan saya pada ejekan kaum musyrikin Mekkah kepada Rasulullah yang tidak memiliki anak laki-laki. Seperti diketahui, kaum musyrikin sangat membenci Nabi karena dakwah yang beliau sampaikan. Mereka juga melakukan berbagai cara untuk menghentikan atau mengganggu dakwah Nabi, mulai dari ejekan hingga kekerasan. Salah satu ejekan dari kaum musyrik kepada Nabi adalah "abtar" atau terputus karena mereka menganggap keturunan Nabi terputus karena beliau tidak memiliki anak laki-laki. Peristiwa itu menjadi sebab turunnya surat Al-Kautsar (nikmat yang melimpah ruah). Dalam salah satu ayat surat tersebut Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, "innasyani'aka huwal abtar", "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (Muhammad) dialah yang terputus (keturunannya)."

Anak perempuan juga bukan hukuman bagi dosa atau kesalahan yang mungkin dilakukan orang-tuanya, entah itu ayah atau ibunya. Dalam agama saya, seseorang hanya menanggung dosa atau kesalahan yang dia perbuat. Artinya, tidak ada istilah dosa yang diturunkan kepada anak atau cucunya. Setiap bayi terlahir suci dan dia adalah amanah sekaligus anugerah bagi kedua orang tuanya, laki-laki maupun perempuan.

Tapi, mungkin saja saya salah. Mungkin saya terlalu merisaukan hal yang sepele. Karena, boleh jadi kalau kedua anak saya berjenis kelamin laki-laki, orang-orang malah akan mengatakan, "tinggal anak ceweknya nih." Jadi, mungkin sebagian orang berpandangan, keluarga itu lebih komplit kalau ada anak laki-laki dan perempuan.

Di atas itu semua, yang menurut saya lebih penting adalah, kita tidak perlu terlalu merisaukan omongan yang kurang bermanfaat. Jangan sampai omongan yang bermutu rendah dari satu-dua orang membuat kita melupakan nikmat melimpah ruah yang Allah berikan kepada kita dan keluarga. Wallahu 'alam.

Wednesday, June 04, 2008

si buyung

Yesterday, love was such an easy game to play
~ The Beatles, 'Yesterday'

"Saya akan mundur saja, Mas," kata si Buyung tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya saya, setengah kaget.
"Kayaknya dia semakin mengambil jarak. Lagipula, dugaan saya sebelumnya sepertinya makin benar. Dia sedang dekat dengan orang lain. Dari 'kasta' yang lebih tinggi," ucap Buyung sambil tersenyum.

"Ya, sudah. Mungkin lebih baik begitu," kata saya. Melihat dia sepertinya masih berharap ada lanjutan dari kalimat saya sebelumnya, saya kemudian melanjutkan, "maksud saya, baiknya sampeyan mundur dengan pertimbangan mungkin itu akan membuat dia lebih bahagia. Tapi, jangan mundur cuma gara-gara ada saingan, sekalipun dari 'kasta' yang lebih tinggi."

"Tapi, apa Mas masih mau bantu saya?" Ah, si Buyung menagih janji saya sebelumnya.
"Itu dia, dik Buyung. Dalam perjalanan ke sini, saya sempat berpikir kalau saya mungkin tidak bisa membantu. Dulu saya menawarkan bantuan cuma bermodal semangat, niat baik. Saya sadar, saya tidak punya kemampuan untuk membantu. Kalau cuma punya niat tapi tidak punya kemampuan, itu malah tidak akan membantu," saya berkelit dengan susah payah.

"Mas pasti bisa bantu saya," Buyung meyakinkan saya.
Saya berpikir sebentar. Bagaimanapun saya merasa bersalah karena sudah mengucap janji. "Saya cuma bisa menulis, dik Buyung," kata saya akhirnya.
"Jadi, Mas akan buat tulisan soal masalah yang saya hadapi?" Pertanyaan Buyung, buat saya, lebih terdengar sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
"Saya usahakan," sambut saya, masih agak ragu.

Malam itu, si Buyung dan saya kemudian menghabiskan sisa makanan dan minuman yang tersisa di meja, sebelum akhirnya kami pergi meninggalkan warung.

***

Abu Dzar adalah salah satu sahabat yang ikut ekspedisi ke Tabuk bersama Rasulullah Saw dan para pasukannya. Perjalanan ke Tabuk (400 mil di utara Madinah) kala itu teramat berat di tengah panas padang pasir yang membara. Di tengah jalan, tiga orang, satu demi satu, tercecer di belakang, dan setiap kali ada yang tercecer, Nabi diberi tahu, dan setiap kali itu Nabi berucap: "Jika ia orang baik, Allah akan mengembalikannya; jika ia orang tidak baik, lebih baik ia pergi (tidak menyusul)."

Unta Abu Dzar yang kurus dan lemah terbelakang, dan dia pun tertinggal di belakang. "Ya Rasulullah, Abu Dzar juga tercecer!" ujar salah seorang sahabat. Nabi pun mengulangi kalimat yang sama: "Jika ia orang baik, Allah akan mengembalikannya; jika ia orang tidak baik, lebih baik ia pergi."

Pasukan itu terus maju, dan Abu Dzar makin tercecer tetapi tak ada yang dapat dilakukannya; binatang tunggangannya itu tetap tak berdaya. Apa pun yang ia lakukan, untanya tak juga bergerak, dan kini ia telah tertinggal beberapa mil di belakang. Ia membebaskan untanya, lalu memikul sendiri muatannya. Dalam suhu terik itu ia meneruskan perjalanan di gurun panas. Ia serasa akan mati kehausan. Ia menemukan tempat berteduh pada batu-batu yang terlindung panas oleh bukit. Di antara batu-batu itu ada sedikit air bekas hujan yang menggenang, tapi ia berniat tidak akan meminumnya mendahului sahabatnya, Rasulullah Saw. ia mengisi air itu ke dalam kantong kulit (kirbat), memikulnya, dan bergegas menyusul kaum muslim yang telah jauh di depan.

Di kejauhan, pasukan muslim melihat suatu sosok. "Ya Rasulullah! Kami melihat suatu sosok menuju ke arah kita!"

Beliau Saw berucap semoga sosok itu adalah Abu Dzar. Sosok itu makin dekat, dan memang itu Abu Dzar, tetapi tenaga yang terkuras dan dahaga serasa mau mencopot kakinya. Nabi Saw khawatir ia akan roboh. Nabi Saw menyuruh agar Abu Dzar secepatnya diberi minum, tapi Abu Dzar berkata dengan suara serak bahwa ia mempunyai air. Nabi Saw berkata: "Engkau mempunyai air, tetapi engkau hampir mati kehausan!"

"Memang ya Rasulullah! Ketika saya mencicipi air ini, saya menolak meminumnya sebelum sahabatku, Rasulullah," ucap Abu Dzar.*


=============
*Dinukil dari Murtadha Muthahhari, "Karakter Agung Ali bin Abi Thalib", dari "Bihar al-Anwar".

Monday, May 26, 2008

menyesal

There is no excuse my friend, for breaking my heart, breaking my heart again.

~ Michael Learns to Rock

Kalau kita tidak bisa menghibur hati orang lain, setidak-tidaknya kita tidak melukai hati mereka. Itulah prinsip yang selama ini sedapat mungkin saya jalankan. Tapi, prinsip tinggal lah prinsip, sudah tidak bisa menyenangkan, saya malah melukai hati orang lain. Seperti yang saya lakukan baru-baru ini.

Dengan maksud berguyon, kepada seorang teman saya mengatakan sesuatu yang -- saya sendiri tahu itu -- tidak pantas saya katakan. Cuma dibutuhkan beberapa detik untuk mengeluarkan kata-kata itu, tapi berhari-hari saya menyesalinya. Untuk itu, saya minta maaf kepada yang bersangkutan. Alhamdulillah, dia mau memaafkan saya.

Kejadian itu membuat saya sadar bahwa perbuatan tidak menyakiti hati orang lain itu lebih sulit daripada menghibur orang lain. Seperti halnya kegiatan mencegah dari perbuatan buruk (nahi munkar) mungkin lebih sulit daripada menyeru kepada sesuatu yang baik (amar ma'ruf).

Tidak terlalu sulit buat kita untuk mengetahui hal-hal atau perbuatan-perbuatan apa yang bisa menyenangkan hati orang lain. Tapi, mungkin kita akan terus meraba-raba untuk mengetahui cara agar perbuatan dan perkataan kita tidak melukai hati orang lain.

Kita selalu punya banyak alasan untuk menyenangkan hati orang lain. Tapi, kita tidak punya sedikitpun alasan untuk melukai hati mereka. Tidak ada sama sekali.

Thursday, May 22, 2008

'..akan tetapi tidak ada nabi setelahku'

Pagi ini saya ingin sekali berbagi cerita mengenai "insiden" kecil menjelang keberangkatan Rasulullah dan pasukannya menuju Tabuk. Seperti tercatat dalam sejarah, dalam ekspedisi ke Tabuk itu Rasulullah memerintahkan Ali untuk mewakili beliau SAW untuk menjadi wali Kota Madinah. Baru kali itulah Nabi tidak mengikutsertakan Ali dalam pasukannya untuk berperang.

Dari sisi Nabi, keputusan beliau menunjuk Ali untuk menjaga Madinah adalah keputusan besar. Pertama, karena hal demikian berarti Nabi akan kehilangan salah satu pejuang paling tangguh untuk memperkuat pasukannya di Tabuk. Kedua, hal demikian menandakan bahwa Rasulullah lebih membutuhkan Ali untuk mempertahankan stabilitas keamanan dan politik dalam negeri (Madinah).

Pada waktu itu, Madinah memang masih rawan dari rongrongan kaum munafik (hipokrit/muka dua). Golongan munafik ini adalah salah satu musuh yang bagai duri dalam daging bagi kaum muslim di Madinah. Terhadap mereka, Rasulullah mengambil sikap yang sangat hati-hati karena di satu waktu mereka menunjukkan wajah islam mereka, tapi di lain waktu -- terutama di belakang Nabi -- barulah tampak wajah jahat mereka.

Kaum munafik telah menyusun rencana untuk menggoyang stabilitas Madinah seperginya Rasulullah bersama pasukan muslim ke Tabuk. Rasulullah yang mengetahui rencana buruk mereka itu kemudian memerintahkan Ali yang merupakan salah satu sahabat utama sekaligus anggota keluarga beliau untuk mengamankan Madinah dari upaya makar kaum munafik. Pemilihan Ali untuk menjaga Madinah adalah langkah yang sangat tepat mengingat banyaknya keutamaan beliau, terutama dalam hal keberanian dan kebijaksanaannya.

Kehadiran Ali di Madinah di saat Nabi SAW dan sebagian besar kaum muslimin pergi ke Tabuk telah mengacaukan rencana kaum munafik. Karenanya, mereka menebar isu miring bahwa Rasul tidak lagi memerlukan Ali dalam perang Tabuk karena perjalanannya yang panjang dan panas yang membakar. Mereka juga menebar kasak-kusuk bahwa Ali meminta untuk tinggal di Madinah dengan anak-anak kecil dan kaum wanita di saat semua orang pergi menanggung kesusahan ke Tabuk.

Mendengar isu itu Ali mengejar Nabi SAW sampai ke daerah Juhfah yang terletak beberapa kilometer dari kota Madinah. Kepada utusan Allah itu, Ali menyampaikan isu yang beredar di Madinah. Berikut kronologisnya seperti dituturkan Imam Bukhari dalam salah satu sahihnya:

"Bahwasanya Rasulullah saw berangkat menuju tabuk dan mengangkat Ali ra sebagai penggantinya di Madinah. Lalu Ali berkata, 'Apakah engkau mengangkatku untuk mengurusi anak-anak dan wanita? Beliau saw bersabda, 'Tidakkah engkau rela (wahai Ali), bahwa kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa? Akan tetapi, tidak nabi setelahku.'"

Pada insiden di atas mungkin timbul kesan bahwa Ali hendak mempertanyakan perintah Rasulullah kepadanya dan tidak rela dengan hal itu. Saya berpendapat bahwa pertanyaan Ali bukan dimaksudkan agar Rasulullah mengoreksi perintah beliau sebelumnya. Bukan pula karena Ali merasa "dikecilkan" dengan perintah tersebut atau menganggap tugas "mengurusi anak-anak dan wanita" adalah hal yang sepele.

Insiden tersebut, menurut saya, menunjukkan betapa dahsyatnya isu yang ditiupkan oleh kaum munafik di Madinah sehingga Ali merasa perlu mendapat penegasan atau konfirmasi dari Rasulullah (mengenai ketidakbenaran isu tersebut). Di sisi lain, Ali juga perlu penegasan dari Rasulullah bahwa penunjukkan dia untuk menjaga Madinah dan tidak ikut dalam Perang Tabuk bukan karena permintaan Ali sendiri dan bukan juga lantaran dia takut (berperang).

Jawaban Rasulullah terhadap pertanyaan Ali meskipun singkat, tapi sangat tegas dan bermakna dalam. Hadis Rasulullah di atas termasuk apa yang dikenal sebagai jawami' al kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya). Jawaban (retorika) Rasulullah kepada Ali tersebut mungkin dianggap tidak menjawab pertanyaan Ali. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, itulah jawaban paling fasih yang menjawab inti dari pertanyaan Ali.

Seperti diketahui, Harun adalah kakak kandung Nabi Musa. Kisahnya di dalam Al-Qur'an selalu disebut bersama dengan kisah adiknya itu. Harun diangkat oleh Allah Swt. menjadi nabi dan rasul untuk membantu tugas kerasulan Nabi Musa. Ia mendampingi Nabi Musa menemui Fir'aun untuk meminta agar Fir'aun melepaskan Bani Israil dari perbudakan. Harun memiliki kemampuan berbahasa lebih fasih daripada adiknya. Karena itu, Musa memohon kepada Allah Swt. agar mengutus Harun mendampinginya menemui Fir'aun. Permohonan itu dimaksudkan untuk membenarkan kata-kata yang disampaikan Musa, karena ia khawatir Fir'aun akan mendustakannya.

Maksud ucapan Rasulullah kepada Ali bahwa "kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa", menurut saya, adalah Ali merupakan pembantu Rasulullah dalam tugas-tugas kerasulan beliau saw. Hadis di atas juga menunjukkan keutamaan Ali di mata Rasulullah, terutama pada kalimat, "Akan tetapi, tidak nabi setelahku".

Demikian sepenggalan kisah yang sekali lagi melukiskan keagungan pribadi Nabi dan kebijaksanaan di balik apa-apa yang beliau lakukan dan ucapkan. Satu lagi barangkali, kisah di atas juga menunjukkan keutamaan Ali dalam perjuangan dan dakwah awal Islam. Wallahu 'alam.

Monday, May 19, 2008

the philosophy of losing

Sebagian dari kita mungkin setuju bahwa kebahagiaan itu sebetulnya terletak pada bagaimana cara kita memandang sesuatu atau setiap hal yang terjadi pada diri kita. Saat kita ditimpa musibah misalnya, bukankah kita dapat melihatnya dari sisi bahwa kita dapat tertimpa musibah yang lebih buruk daripada yang menimpa kita saat itu? Dan, yang lebih penting, sudah barang tentu, adalah bagaimana kita dapat belajar dari musibah tersebut.

Dengan rumus yang sama, kita juga dapat melihat kekalahan melalui perspektif atau cara pandang yang lebih luas. Kalah memang tidak enak, tapi itu bukan berarti tidak ada yang enak yang dapat kita nikmati dari kekalahan. Menang mungkin sedap rasanya, tapi menang terasa lebih lezat jika kita sudah pernah mengecap rasa kekalahan.

Filosofi kekalahan dengan sangat baik diungkapkan dalam film yang menawan berjudul 'A Good Year'. Dalam sebuah adegan film itu dikisahkan seorang kakek mencoba menghibur cucunya yang baru saja ia kalahkan dalam pertandingan tenis di salah satu sudut rumahnya. Sang kakek mengatakan begini kurang lebih, "Kamu akan belajar bahwa seorang pria tidak belajar apa-apa dari kemenangan. Kekalahan, bagaimanapun juga, dapat melahirkan kebijaksanaan yang besar. Salah satunya adalah bahwa menang itu jauh lebih menyenangkan dari pada kalah. Hal yang lumrah jika sekali-dua kali kita mengalami kekalahan. Rahasianya adalah jangan menjadikan hal itu sebagai kebiasaan."

Saya melihat bahwa apa yang dikatakan sang kakek kepada cucunya itu merupakan hal yang indah. Dengan ungkapan yang cukup fasih, dia menyampaikan dua hal yang sama sekali berlawanan tapi di saat yang sama, begitu berkelindan, yaitu betapa enak dan tidak enaknya kalah; "Kekalahan, bagaimanapun juga, dapat melahirkan kebijaksanaan yang besar. Salah satunya adalah bahwa menang itu jauh lebih menyenangkan dari pada kalah".

Jadi, tanpa perlu mengubah tekad dan upaya kita untuk terus unggul dalam bidang-bidang yang kita kuasai, kita juga perlu terus mengingat bahwa kalah-menang bukanlah tujuan hakiki kita. Karena buat apa kemenangan yang dicapai melalui cara-cara orang kalah? Dan, hal mana yang lebih manis daripada kekalahan yang didapat setelah usaha dan doa yang maksimal? Kemenangan belum tentu membawa kebahagiaan dan kekalahan tidak harus ditanggapi dengan kesedihan. Wallahu 'alam.

Tuesday, May 13, 2008

berkorban

"I may not have a lot to give, but what I got I'll give to you."

~ The Beatles

Derajat tertinggi pengorbanan adalah mengorbankan sesuatu yang sangat berharga buat kita. Dinamakan pengorbanan karena kita merelakan milik kita yang masih kita butuhkan untuk orang lain. Bukan pengorbanan namanya kalau yang kita lepas itu bukan sepenuhnya milik kita. Tidak pas juga disebut pengorbanan kalau yang kita "korbankan" itu sudah tidak berharga atau kita butuhkan.

Saat berkorban kadang kita merasa berat hati. Tapi, itu tidak selalu menandakan kita tidak ikhlas dalam berkorban. Kadang itu dapat dilihat sebagai bentuk lain dari kelezatan berkorban. Meski berat bagi kita untuk memberi, tapi kita tetap memberi. Lagipula, yang namanya ikhlas itu tidak mudah didefinisikan. Ikhlas hanya bisa dicapai dengan latihan dan mengulang-ulang perbuatan berkorban.

Setiap kita berkorban, kita mengorbankan sedikitnya dua hal. Satu, mengorbankan hasrat atau keinginan untuk terus memiliki (dan menikmati) milik kita. Kedua, mengorbankan keinginan atau harapan agar pengorbanan kita itu mendapatkan balasan dari orang lain (terutama dari orang yang menerima pengorbanan kita). Dengan kata lain, kita perlu menahan diri untuk berharap (apalagi meminta) agar orang lain mau berkorban untuk kita.

Banyak harta seringkali tidak berbanding lurus dengan kemampuan seseorang untuk berkorban. Tidak jarang orang yang sedikit hartanya malah lebih gemar berkorban daripada orang yang berlimpah hartanya. Boleh jadi itu karena hati orang yang disebut pertama lebih tidak terikat dengan harta daripada (hati) orang yang disebut terakhir. Berkorban adalah jurus sakti untuk mengikis kecenderungan hati kita untuk terlalu mencintai harta-benda.

Sampai saat ini, saya ibarat murid taman kanak-kanak dalam mata pelajaran "berkorban". Pengorbanan saya juga hampir pasti belum sampai derajat ikhlas karena jarangnya saya berlatih berkorban. Semoga saya selalu menyadari kebodohan saya dalam pelajaran ini sehingga saya makin rajin berlatih, dan bertambahnya ilmu dalam pelajaran ini tidak membuat saya mengurangi latihan berkorban.

Friday, May 02, 2008

munajatku

Ya Tuhanku, sembunyikanlah dariku, kebaikan-kebaikanku,
Sehingga aku terhindar dari keburukan-keburukannya.

Ya Tuhanku, tampakkanlah kepadaku, keburukan-keburukanku,
Sehingga aku tidak terhalang untuk dapat meraih kebaikan-kebaikannya.

Ya Tuhanku, sembunyikanlah dariku, keburukan-keburukan orang-orang selain aku,
Sehingga aku dapat melihat kebaikan-kebaikan mereka.

Ya Tuhanku, tampakkanlah kepadaku, kebaikan-kebaikan orang-orang selain aku,
Sehingga aku dapat terhindar dari keburukan-keburukan mereka.

============
*Catatan: Tulisan sebagaimana terbaca di atas pertama kali ditampilkan pada 1 Mei 2008 dan telah mengalami revisi pada 6 Mei 2008.

Wednesday, April 30, 2008

friends and foes


"No matter how good you are, don't ever let them see you coming. That's the gaffe, my friend. You gotta keep yourself small. Innocuous. Be the little guy. You know, the nerd... the leper... shit-kickin' surfer. Look at me."

~ The Devil's Advocate

Berdasarkan pengalaman hidup sejauh ini, makin hari saya makin mengerti betapa pentingnya menjaga perkataan kita. Selain kita harus berhati-hati memilih setiap kata yang akan kita ucapkan, kita juga perlu benar-benar memerhatikan kepada siapa kata-kata itu kita ucapkan. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa penyesalan karena tidak mengatakan sesuatu adalah lebih baik daripada penyesalan karena telah mengatakan sesuatu.

Dari pengalaman hidup sejauh ini, saya juga berkali-kali menemukan bukti betapa benarnya anjuran agar kita tidak mencintai seseorang kecuali sekadarnya saja karena suatu saat mungkin kita akan membenci dia, dan tidak membenci seseorang kecuali sekadarnya saja, karena suatu saat mungkin kita akan mencintai dia. Beruntunglah jika kita belum pernah membenci orang yang dahulu teramat sangat kita cintai, atau sebaliknya mencintai orang yang dahulu kita benci.

Kita sepertinya juga perlu meninjau ulang mengenai siapa saja "orang-orang yang PALING PERLU diwaspadai" dan "orang-orang yang PALING TIDAK PERLU diwaspadai". Saya pribadi berpendapat bahwa "orang-orang yang PALING TIDAK PERLU diwaspadai" JAUH LEBIH PERLU diwaspadai daripada "orang-orang yang PALING PERLU diwaspadai". Bukankah musuh yang paling berbahaya adalah yang (kita anggap) paling dekat dengan kita?

Sepertinya, kita juga perlu mewaspadai orang-orang yang memiliki kepatuhan yang melampaui batas-batas yang wajar kepada kita, orang-orang yang (mempertontonkan secara gamblang) kecintaan mereka yang berlebih-lebihan kepada kita. Orang-orang yang demikian, menurut hemat saya, tidak kalah berbahayanya daripada orang-orang yang sering menunjukkan oposisi, penentangan mereka kepada kita. Kelompok yang disebut pertama cenderung melengahkan, dan yang terakhir justru membuat kita selalu terjaga. Wallahu 'alam.

Monday, April 28, 2008

signature

"Jadi bos itu nggak gampang," begitu yang pernah dikatakan salah satu teman. Setiap bos punya gaya atau signature masing-masing dalam mengelola kantornya dan juga para bawahannya, dia juga bilang begitu. Mungkin teman saya itu memakai kata signature (tandatangan) untuk menyebut ciri atau gaya khas seseorang yang sangat jarang ditemui pada orang lain (dan karenanya membedakan dia dari orang lain).

Banyak bos yang punya gaya atau pembawaan khas yang dirasakan nyaman oleh para bawahannya. Tapi, tidak sedikit juga bos yang punya gaya atau pembawaan yang sulit untuk diterima dengan baik oleh para bawahannya. Mungkin jenis bos yang disebut terakhir itulah yang paling sering dihindari kebanyakan orang. Apalagi, yang namanya signature atau pembawaan, pada umumnya sangat sulit untuk diubah.

Teman saya yang tadi itu juga bilang, kalau ada bawahan yang tidak bisa menerima gaya kepemimpinan dari bosnya itu, sebaiknya dia bersabar, karena siapa tahu bosnya itu akan berubah. Dan, kalau bosnya itu masih belum berubah dan si bawahan sudah tidak tahan dengan dia (karena itu memang sesuatu yang hampir mustahil berubah), sang bawahan setidaknya punya dua pilihan; (belajar) menerima dengan tanpa syarat gaya bosnya itu, atau keluar dari kantor tersebut.

Sementara itu, teman saya yang lain menceritakan pengalamannya memiliki bos yang barangkali memenuhi syarat untuk disebut "bos baik hati". Baik hati karena bosnya sering mentraktir makan bawahannya, kapan saja kalau diminta. Saya sendiri tidak tahu apakah itu dilakukan oleh sang bos karena pembawaannya yang memang murah hati atau hanya untuk mengambil hati bawahannya.

Saya tadinya berpikir jenis bos yang begitulah yang ideal, karena baik kepada bawahannya. Tapi ternyata teman saya bilang, bosnya itu disenangi karena mudah "disetir" bawahannya. Dari nada bicara teman saya, saya membaca kalau model kepemimpinan yang demikian tidak bisa disebut ideal. Teman saya juga setuju dengan pendapat teman saya yang satu lagi bahwa tiap bos punya signature yang terkadang tidak bisa diukur dengan timbangan "benar-salah".

Jadi, sepertinya benar perkataan bahwa jadi bos itu tidak gampang. Dan, tidak gampang pula menemukan bos yang benar-benar sesuai dengan selera kita. Mungkin yang perlu kita sadari bahwa setiap bos itu pada hakikatnya adalah bawahan juga. Kalau ada bos yang menganggap dan bertingkah-laku seolah-olah dia orang yang paling berkuasa di jagad raya ini, orang seperti itu tidak perlu kita sumpahi, tapi sepatutnya kita kasihani dan doakan supaya penyakitnya sembuh.

Dan, kita sebagai bawahan juga sebaiknya tidak main mutlak-mutlakan. Bos atau atasan mutlak salah, mutlak zalim, dan sebaliknya, kita sebagai bawahan mutlak benar dan mutlak dalam keadaan ditindas atasan. Imam Ali suatu kali pernah mengatakan kurang lebih, "Dahulu saya kira hanya penguasa yang dapat berbuat zalim kepada rakyat. Ternyata, rakyat juga dapat berbuat zalim terhadap penguasa".

Di akhir tulisan ini saya kutipkan salah satu resep Imam Ali yang sangat bermanfaat, sangat mudah diterapkan oleh kita -- yang pada hakikatnya adalah pemimpin (meski bukan bos, seperti halnya tidak semua bos adalah pemimpin) -- dan sangat perlu menjadi signature kita:

"Campurlah ketegasan dengan kelembutan. Bersikap lunaklah ketika kelunakan lebih memadai, dan bersikap tegaslah ketika ketegasan dibutuhkan. Rendahkan sayapmu bagi rakyatmu. Cerahkan wajahmu di hadapan mereka. Lembutkan sikapmu untuk mereka. Jangan membeda-bedakan perlakuanmu di antara mereka, baik dalam perhatian, tatapan, isyarat maupun ucapan salam. Sehingga dengan demikian "orang-orang penting" tidak mengharapkan penyelewenganmu demi kepentingan mereka; rakyat kecil pun takkan putus asa akan keadilanmu dalam memerhatikan nasib mereka."

Monday, April 21, 2008

'suara lembut'

"We were together, alone, close to an extent beyond description. I was not crying - the tears came later. Each of us was before the other; unknown & united as we had been at the beginning of our journey. In this last unity, in the midst of this very close familiarity, I talked to him, kissing that forehead that was so noble and handsome, on which age and pain had not succeeded to carve any wrinkles, and no adversity had managed to cause to frown - a forehead that still emanated light."

Kalimat itu adalah sebagian kesaksian yang ditulis seorang istri mengenang almarhum suami yang sangat ia cintai. Kata-kata itu ditorehkan oleh Suzanne dalam buku berbahasa arab berjudul "Ma'ak" (Bersamamu) yang dia persembahkan untuk mendiang suaminya, Taha Hussein (di Indonesia sering ditulis Taha Husain). Ma'ak hingga sekarang dikenal sebagai buku yang sangat menyentuh yang bercerita tentang kehidupan dan kebersamaan mereka.

Saya tidak mengenal Suzzane, tapi saya mengagumi suaminya. Saya pertama kali "mengenal" Taha Hussein saat masih di bangku kuliah, tepatnya pada salah satu hari ketika saya menghabiskan waktu di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok, beberapa tahun ke belakang. Saya mengenal cendekiawan berkebangsaan Mesir itu lewat salah satu karya besarnya yaitu "Fitnatul Kubra" yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul "Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam".

Berdasarkan sumber yang saya baca, semasa hidupnya Hussein menulis sejumlah buku dan banyak artikel. Topik-topik tulisan Hussein pada umumnya mengenai literatur dan sejarah Islam, karya fiksi, serta politik. Hussein adalah seorang doktor filsafat. Hussein juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Mesir pada 1950. Hussein juga pernah menerima penghargaan di bidang hak asasi manusia dari PBB. Di atas itu semua, sebagian karya tulis Hussein sempat mengundang kontroversi dan tekanan dari kaum konservatif Mesir.

Hussein adalah seorang yang mengalami kebutaan sejak ia berusia tiga tahun. Keterbatasan indra penglihatannya nyaris tidak menjadi penghalang bagi Hussein untuk memperoleh pendidikan hingga ke jenjang doktoral. Sejarah baru Hussein sendiri dimulai dari pertemuannya dengan Suzzane saat dia menjalani kuliah di Prancis. Karena tidak banyak buku yang ditulis dengan huruf braile, Suzzane lah yang membacakan berbagai referensi untuk Hussein.

Suzzane, yang dipanggil Hussein dengan "suara lembut", kemudian menjadi istri, mentor, penasihat, asisten, dan ibu dari anak-anaknya. Hussein pernah mengatakan bahwa sejak pertama kali ia mendengar "suara lembut" Suzzane, "amarah tidak pernah lagi merasuk ke hatinya".

Hussein wafat pada Oktober 1973 dalam usia 84 tahun di rumahnya, sendiri, hanya ditemani Suzanne, si pemilik "suara lembut".

Monday, April 14, 2008

putus

Pernah, dulu sekali, saya begitu tidak bisa menerima kata "putus" yang diucapkan oleh seseorang yang waktu itu saya sangat sukai. Itulah kata "putus" pertama yang pernah saya terima dari seorang pacar. Kata "putus" dari pacar pertama mungkin memang tidak mudah diterima oleh kebanyakan orang. Apalagi, kata "putus" itu datang pada waktu yang sangat tidak kita harapkan.

Kata "putus" yang kita terima mungkin lebih mudah diingat daripada kata yang sama yang keluar dari mulut kita. Artinya, kita lebih sering (atau mungkin hobi) mengingat-ingat saat-saat kita disakiti orang daripada saat-saat kita menyakiti orang lain. Saya begitu juga. Tapi, rasa-rasanya saya boleh bersyukur karena bukan termasuk orang yang menemukan kegembiraan dari perbuatan menyakiti (hati) orang lain.

Betul juga kalau dikatakan kalau kata "putus" tidak selalu menimbulkan efek yang sama kepada setiap orang atau pasangan, terutama dari pihak yang "diputuskan". Sudah lumrah terjadi kata itu malah sudah ditunggu lama. Dan, buat sebagian yang lain, kata "putus" jauh lebih indah daripada situasi "gantung". Kadang juga, kata "putus" merupakan bagian dari jawaban akan doa-doa kita karena apa yang terjadi setelahnya malah jauh lebih baik.

Kata "putus", tentu kita sudah tahu, bukanlah akhir dari sebuah hubungan, tapi sebaliknya merupakan awal. Karena, setiap awal itu adalah akhir, dan setiap akhir sejatinya adalah suatu awal. Artinya, boleh jadi benar bahwa "putus" mengakhiri satu hubungan (yang dulu), tapi kata itu juga menandakan lahirnya sebuah hubungan yang baru.

Kata "putus" harus diartikan putusnya hal-hal yang buruk yang pernah ada dalam sebuah hubungan. "Putus" sama sekali tidak boleh mengakhiri hal-hal baik yang sudah dibangun bersama-sama. Alasannya sebetulnya sederhana saja, segala hal yang putus pasti bisa disambung lagi. Bagi mereka yang memiliki pandangan yang jauh ke depan, "putus" justru dilihat sebagai satu tahapan penting dari dan demi (kematangan) sebuah hubungan.

Akhirnya, Saya ingin menutup curhat yang sangat tidak penting ini dengan sebuah kutipan yang sangat penting dari Ali bin Abi Thalib kw: "Bila kau berniat memutuskan hubungan dengan seorang kawan, tinggalkan kepadanya kenangan manis dirimu yang kelak akan membuka jalan kembali kepadamu di suatu saat, jika sewaktu-waktu ia ingin menjalin hubungan denganmu." Wallahu alam.

Wednesday, April 09, 2008

beyond victory


Bila kau beroleh kemenangan atas musuhmu, jadikanlah pengampunanmu atas dirinya sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan itu

~ Ali bin Abi Thalib

Saya tidak tahu mana yang paling membuat saya bahagia pagi ini, membaca apresiasi dari seorang sahabat terhadap tulisan saya yang berjudul "tentang politik, perang dan tipu muslihat" ataukah ulasan dia terhadap tulisan itu yang, menurut saya, begitu lugas, mencerahkan dan -- melebihi semuanya -- sangat menawan.

Dia sudah memberikan saya izin untuk menampilkan tanggapan yang dia sampaikan melalui e-mail di blog ini. Saya melakukan sedikit penyuntingan yang sangat kecil atas isi e-mail di bawah yaitu terkait tanda baca dan ejaan. Itu saya lakukan semata-mata untuk menambah keasyikan dalam membaca. Dan, karena saya merasa kurang afdhal kalau tulisan ini tidak berjudul, maka saya beranikan diri untuk menambahkan judul untuk e-mail sahabat saya itu. Selamat menikmati.

beyond victory

Tulisannya mantap sekali. Namun, ada sebuah kritik dari gw. IMHO (in my humble opinion, amr), Ada perbedaan kata "tipu muslihat" dalam ucapan Ali as: “Demi Allah, Muawiyah tidak lebih cerdik dari saya. Tetapi, ia menipu dan melakukan kejahatan. Sekiranya saya tidak benci penipuan, maka tentulah saya menjadi paling cerdik dari semua manusia. Tetapi, setiap penipuan adalah dosa, dan setiap dosa merupakan pendurhakaan terhadap Allah" dengan hadits Rasulullah yang berbunyi: "perang adalah tipu muslihat".

Tipu muslihat dalam kalimat Ali harus dibaca dalam makna sebenarnya, yaitu cara-cara menipu dalam melakukan konfrontasi perang atau langkah politik. Tentu yang disindir Ali as adalah beberapa perbuatan Muawiyah seperti suka menyuap seseorang dengan menggunakan uang negara agar mau mengikuti dan menjadi pembela Muawiyah, suka mengingkari janji, memutarbalikkan fakta, dan mengambil langkah-langkah yang menguntungkan secara politis walaupun melanggar hukum Islam.

Dengan kalimat Ali as di atas, seakan-akan Sayyidina Ali as ingin mengatakan kepada pengikutnya, bahwa Ali as mengetahui secara detail setiap tindakan Muawiyah. Dan jikalau langkah-langkah Muawiyah dibenarkan secara agama - suatu hal yang mustahil -, akan menjadi mudah bagi Ali as untuk mengikuti langkah-langkah Muawiyah dan mengalahkan Muawiyah. Namun, karena tujuan Ali as bukanlah memenangkan peperangan semata-mata, tetapi lebih tinggi dari itu, yaitu selalu konsisten di dalam jalan Allah dan Rasulullah.

Langkah Ali as yang selalu konsisten tersebut, dapat dibaca sesaat beliau as diangkat menjadi Khalifah. Langkah mula-mula yang beliau ambil adalah langsung memecat Muawiyah dan konco-konconya. Sebuah langkah yang mendapat tantangan dari orang terdekat beliau seperti Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menyarankan agar beliau menunda pemecatan tersebut, karena menurut pemikiran Ibnu Abbas, langkah tersebut tidak bisa dibilang cerdas.

Kekhalifan Ali as barulah seumur jagung, sedangkan kekuatan Muawiyah sudah ber-urat akar di Syuriah selama 12 tahun. Mencopot Muawiyah, sama saja memaklumkan perang. Tetapi, karena pribadi Ali as sangat berbeda jauh dengan pribadi Ibnu Abbas, tidak mengeherankan jika usul tersebut ditolak. "Demi Allah, aku tidak dapat membiarkan Muawiyah duduk di singgasananya walaupun satu detik, sementara aku membiarkan orang-orang tertindas di luar sana", jawab Sayyidina Ali.

Bagi Ali as, urusan Muawiyah tidak semata-mata urusan politik jikalau harus mengorbankan hak-hak orang banyak. Secara politis, langkah pemecatan Muawiyah jelas tidak cerdik. Ali as tentu sadar akan hal ini, walaupun tanpa bantuan pendapat Ibnu Abbas sekalipun. Tetapi, membiarkan Muawiyah duduk di singgasananya, sama saja melakukan penipuan dan melakukan kejahatan, karena ada hak-hak orang banyak di sana yang tertindas. Sekiranya, melakukan kejahatan dan penipuan itu kita sebut sebagai kecerdikan, dan penipuan itu dibolehkan oleh agama, maka Sayyidina Ali as tentulah manusia yang paling cerdik, sebagaimana klaim Ali as di atas.

Adapun maksud hadits Rasulullah yang berbunyi: "perang adalah tipu muslihat" adalah -- dalam laga peperangan -- anda dibolehkah melakukan strategi perang atau "tipu muslihat" perang demi meraih kemenangan. Tentu kata tipu muslihat berbeda makna dengan kata tipu muslihat dalam ucapan Ali as. Bukankah Rasulullah SAW melarang setiap prajurit perang untuk membakar tumbuh-tumbuhan, membunuh hewan-hewan, meracun sumber air, merusak ladang-ladang, membunuh anak-anak-wanita-orang tua dan membunuh para pemuka agama di tempat peribadatannya? Bukahkah Rasulullah melarang untuk mengingkari janji perdamaian dengan pihak musuh walaupun hal tersebut membawa keuntungan?

Jika "tipu muslihat" dalam makna sebenarnya dibolehkan, tentulah merusak ladang, meracun air, membunuh anak-anak-wanita-orang tua dibolehkan. Karena jika langkah tersebut dilakukan, pastilah akan membawa efek mematikan bagi pihak musuh. Jadi, tipu muslihat di sini haruslah dilihat dalam konteks strategi peperangan, sebuah strategi kapan saat yang tepat untuk menyerang, menyergap dan bertahan secara efektif dan efisien.

Begitulah yang saya pahami Amri...

Best regards

~subchan

Monday, March 31, 2008

tentang politik, perang dan tipu muslihat


Wahai dunia, tipulah selain diriku
~ Ali bin Abi Thalib

Dalam sejarah Islam kita tidak akan menemukan satu tokoh pun, setelah Rasulullah, yang begitu gandrung akan perdamaian kecuali Ali bin Abi Thalib. Cinta beliau akan perdamaian dan keadilan sedemikian besarnya sampai-sampai sulit untuk dipahami dengan "logika" kebanyakan orang. Sikap itu antara lain dapat dilihat dari bagaimana beliau menjalankan strategi politik dan perang yang bebas tipu muslihat.

Ali boleh dikatakan mengharamkan diri dan para panglimanya untuk menggunakan tipu muslihat dalam setiap peperangan yang dia hadapi. Hal itu sangat berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Gubernur Suriah, Muawiyah, yang memberontak dari kekhalifahan Ali. Tujuan menghalalkan cara (end justifies means), begitu kurang lebih prinsip Muawiyah. Karena itu dia bersama penasihat politiknya yang luar biasa cerdik, Amr bin Ash, menghalalkan seribu-satu tipu muslihat untuk menggerogoti kedaulatan Ali.

"Demi Allah, Muawiyah tidak lebih cerdik dari saya. Tetapi, ia menipu dan melakukan kejahatan. Sekiranya saya tidak benci penipuan, maka tentulah saya menjadi paling cerdik dari semua manusia. Tetapi, setiap penipuan adalah dosa, dan setiap dosa merupakan pendurhakaan terhadap Allah," demikian antara lain dikatakan Ali untuk menjawab anggapan bahwa Muawiyah lebih pandai berpolitik ketimbang dirinya.

Sepertinya kita tidak dapat begitu saja membaca ucapan Ali tentang pengharaman tipu muslihat di atas. Pasalnya, ucapan tersebut sangat kontradiktif dengan diri Ali dan tidak bersesuaian dengan apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah. Saat Perang Ahzab, Rasulullah pernah mengatakan bahwa perang adalah tipu muslihat. Jadi, memang dibolehkan untuk melakukan tipu muslihat dalam perang seperti yang Rasulullah lakukan dalam Perang Ahzab.

Ali hadir pada Perang Ahzab dan mengetahui ucapan Rasulullah tersebut. Jadi, setidaknya ada dua kemungkinan; Pertama, ucapan tersebut bukan dari Ali atau jika sebagian kalimat tersebut diucapkan oleh Ali tapi tidak dikutip sebagaimana ucapan yang sebenarnya. Untuk memastikan kemungkinan ini, berarti kita mempertanyakan otentisitas atau keaslian Nahjul Balaghah yang berisi pidato, surat, serta ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib yang disusun oleh Sayyid ar-Radhi. Menurut saya, kemungkinan pertama ini kecil karena Nahjul Balaghah termasuk buku yang dijamin keasliannya oleh banyak pakar sejarah, syiah dan sunni.

Kemungkinan kedua, ucapan tersebut merupakan ucapan Ali yang beliau ucapkan dengan penuh kesadaran dan pengetahuan penuh akan hadis Nabi bahwa tipu muslihat dalam peperangan itu dihalalkan. Kalimat itu diucapkan karena Ali tahu benar bahwa musuh yang dia hadapi saat itu sangat berbeda dengan musuh yang dihadapi oleh Rasulullah. Dan juga, sebab dan motif dari peperangan yang dialaminya kala itu tidak sama dengan yang pernah terjadi di zaman Rasulullah.

Jika membaca kisah perjalanan hidup atau biografi Ali kita akan mengetahui bahwa beliau adalah salah satu sahabat yang memiliki tingkat kehati-hatian yang tertinggi dalam mengambil atau menetapkan sebuah garis hukum. Karena itulah mungkin Ali sangat berhati-hati dalam menerapkan garis hukum dari Rasulullah bahwa perang adalah tipu muslihat. Musuh yang dihadapi Ali ketika menjadi khalifah bukanlah kaum musyrik atau penyembah berhala, tapi saudara sesama muslim. Tujuan atau motif peperangan saat itu juga bukan demi agama, tapi lebih kepada soal politik/kekuasaan.

Ali bukanlah sosok yang gila akan kekuasaan seperti lawan politiknya Muawiyah. Kekuasaan, buat Ali, bukanlah tujuan melainkan hanya salah satu kendaraan untuk mencapai keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan bagi rakyat yang ia pimpin. Ali tidak ingin memperoleh atau melestarikan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk menumpahkan darah manusia yang tidak berdosa. Ali juga bukan sosok yang haus darah yang dengan mudahnya menabuh genderang perang, sekalipun keadaan pasukannya jauh lebih menguntungkan daripada pihak musuh. Ali juga bukan orang yang takut mati sekalipun di saat keadaan pasukannya lebih lemah daripada pihak musuh. Dalam salah satu pidatonya, Ali mengatakan:

"Tentang pertanyaan kalian apakah penundaan perang itu karena ketidaksukaan saya pada kematian, maka demi Allah, saya tidak peduli apakah saya menuju maut atau maut mendatangi saya. Tentang kesan kalian bahwa itu mungkin disebabkan kekhawatiran saya terhadap orang Suriah, demi Allah, saya tidak menunda perang walaupun cuma sehari kecuali dengan harapan suatu kelompok mungkin bergabung dengan saya, memperoleh petunjuk melalui saya, dan melihat cahaya pada diri saya dengan mata mereka yang lemah. Ini lebih saya sukai daripada membunuh mereka dalam keadaan tersesat, walau mereka tentunya akan memikul dosa mereka sendiri."

Dalam Perang Shiffin, pasukan Muawiyah sempat menguasai sumber air dan mencegah pasukan Ali untuk mendapatkan air. Kemudian, waktu pasukan Ali berhasil merebut sumber air tersebut, Ali malah membiarkan pasukan Muawiyah ikut mengambil minum dari tempat itu. Demikianlah Ali. Menurut Ali, jika kita sulit bertindak adil, maka kita pasti akan lebih sulit lagi mengurusi ketidakadilan. Wallahu 'alam.

Thursday, March 13, 2008

puncak dari puncak kefasihan


Tidakkah kalian rela, wahai orang-orang Anshar, untuk melihat orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? ~ Muhammad saw

Ucapan-ucapan Rasulullah, baik yang ringkas (jawami al-kalim) maupun yang panjang (orasi), tidak sekadar indah dan sarat makna, tapi juga mampu menghujam dalam ke relung hati setiap pendengarnya (dan pembacanya). Kefasihan dalam berkata-kata adalah salah satu anugerah yang Allah berikan kepada Rasulullah.

Salah satu orasi Rasulullah yang paling mengagumkan dan sedemikian rupa menunjukkan kehalusan perasaan beliau adalah yang disampaikan usai pembagian harta rampasan kaum Hawazin. Orasi beliau saat itu sanggup membuat para pejuang Islam dari kaum Anshar yang gagah berani bagai singa di medan Perang Hunain, berurai air mata hingga basah jenggot-jenggot mereka.

Rasulullah menyampaikan orasi tersebut di saat pasukan muslimin terancam fitnah (bencana) besar yaitu perpecahan. Fitnah ini bermula dari kemarahan kaum Anshar atas pembagian harta rampasan perang yang menurut mereka tidak adil. Rasulullah saat itu memberikan seluruh rampasan perang kepada suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya, tapi tidak sedikitpun kepada kaum Anshar Madinah.

Kaum Anshar melihat sikap (kebijakan) Rasulullah dalam hal pembagian harta rampasan sebagai keberpihakan beliau kepada kaumnya sendiri (Rasulullah adalah seorang Quraisy Mekkah), dan pertanda beliau meninggalkan kaum Anshar. Padahal, kebijakan tersebut diambil Nabi demi mengambil hati para muallaf (yang perlu dihibur hatinya) Quraisy.

Saad bin Ubada, seorang pemuka Anshar, kemudian menghadap Rasulullah dan menyampaikan kekecewaan mereka. Setelah mendengar apa yang dikatakan Saad, Rasulullah kemudian memintanya untuk mengumpulkan kaum Anshar di satu tempat. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah memulai pidatonya:

Rasulullah: Wahai kaum Anshar. Aku telah mendengar perkatan kalian yang menunjukkan di dalam diri kalian ada perasaan jengkel. Bukankah aku telah mendatangimu ketika kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian? Dan kalian dalam kemiskinan lalu Allah membuat kalian kaya? Dan kalian dalam keadaan bermusuh-musuhan lalu Allah menyatukan hati kalian?

Kaum Anshar: Benar, wahai Rasulullah. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.

Rasulullah: Mengapa kalian tidak menjawabku, wahai orang-orang Anshar?

Kaum Anshar: Dengan apa kami menjawabmu, wahai Rasulullah? Allah dan Rasulnya lebih baik dan lebih mulia.

Rasulullah: Demi Allah! Jika kalian mau jujur niscaya kalian akan mengatakan: 'Engkau telah datang kepada kami sebagai orang yang didustakan lalu kami memercayaimu, dan sebagai orang yang dihinakan lalu kami menolongmu, dan sebagai orang yang terusir lalu kami memberikan tempat tingggal kepadamu, dan sebagai orang yang miskin lalu kami memberikan sedekah kepadamu'.

Wahai orang-orang Anshar, apakah kalian memunyai rasa suka kepada dunia yang aku berikan kepada suatu kaum agar mereka berislam, sedangkan aku sudah percaya akan keislaman kalian? Tidakkah kalian rela, wahai orang-orang Anshar, untuk melihat orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, jikalau tidak ada hijrah, niscaya aku menjadi bagian dari orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung dan Anshar memilih jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.

Kata-kata tersebut diucapkan Nabi dengan penuh cinta dan kasih sayang kepada kaum Anshar. Kaum Anshar menangis hingga basah jenggot-jenggot mereka. Mereka lalu berkata, "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami." Orasi Rasulullah yang penuh hikmah dan mengharukan itu bukan saja mampu memadamkan api fitnah, tapi juga mengingatkan kembali kaum Anshar yang nyaris menuruti nafsu materialistik mereka.

Adalah keistimewaan dari Rasulullah yaitu beliau mampu memahami perasaan orang lain sehingga beliau senantiasa menggunakan gaya bahasa atau kata-kata atau cara penyampaian yang sesuai dengan audiens yang dihadapi. Ini, bagaimanapun, bukanlah sesuatu yang tidak bisa ditiru. Satu hal lagi, kejujuran atau ketulusan berbicara lebih fasih dari orator paling hebat sekalipun. Wallahu 'alam.

=====================
Referensi:
1. Amru Khalid, "Jejak Sang Junjungan: Sebuah Narasi Sirah Populer", Penerbit Aqwam, Cet. 1, 2007.
2. Muhammad Husain Haikal, "Sejarah Hidup Muhammad", Pustaka Jaya, Cet. 5, 1980.

Thursday, March 06, 2008

greater good

Vanity, definitely my favorite sin. ~ The Devil's Advocate

Salah satu cara yang cukup efektif untuk melatih diri melawan ego adalah melakukan sesuatu yang tidak populer atau mengundang cibiran orang banyak. Ego diri sangat mengagungkan sanjungan orang lain. Karena itu, untuk memupus kekuatannya, terkadang kita harus meninggalkan kesempatan untuk "menjadi pahlawan" dan bersiap menjadi "orang brengseknya".

Ego diri kita sangat rajin dan tidak pernah lelah mengajak melakukan segala hal yang membawa keuntungan bagi diri kita sendiri. Ego diri juga juara satu dalam hal kelabu-mengelabui. Saat berbuat kebaikan seakan-akan kebaikan itu kita lakukan untuk orang lain. Padahal, boleh jadi kebaikan itu kita lakukan untuk diri kita sendiri; untuk mendapat sanjungan dari orang banyak.

Dalam The Devil's Advocate, Kevin Lomax, sang advokat pemegang rekor tidak-pernah-kalah-satu-kasus-pun, memang lolos dari jeratan sang iblis, yang mengejawantah dalam sosok John Milton, untuk menuruti egonya. Nurani Lomax unggul di saat dia memutuskan untuk tidak meneruskan pembelaan atas seorang klien yang dia tahu benar-benar bersalah. Lomax tidak cuma rela kalah, tapi juga siap menerima sanksi atas tindakannya.

Tapi, Lomax (dianggap) gagal mengalahkan egonya di saat dirinya, meski dengan berat hati, menerima tawaran seorang jurnalis yang ingin menulis kisah "heroik"-nya itu. "Rasa bangga diri memang dosa favoritku," begitu ucap sang iblis yang saat itu menjelma dalam sosok Eddie Barzoon, sang jurnalis. Ego menang, nurani kalah telak.

Tipulah ego kita dengan melakukan sesuatu yang seolah-olah dia musuhi tapi sebetulnya dia cintai. Lawanlah, sebisa mungkin bujukan ego agar kita menjadi sombong dalam kerendah-hatian kita. Ego tidak rela kalau dirinya dicemooh dan selalu mencari-cari celah, sekecil apapun, untuk mendapatkan sanjungan dari orang lain. Jadilah orang brengsek, terimalah cemoohan, demi kebaikan yang lebih besar.

Wednesday, February 27, 2008

akhir yang baik

Salah satu kaidah dalam memberikan nama kepada anak kita, dari yang saya tahu, adalah menghindari mengambil nama dari seseorang/tokoh yang masih hidup. Alasannya adalah karena kita belum mengetahui bagaimana akhir dari hidup dan kehidupan orang itu. Jika hari ini seseorang dielu-elukan karena kelurusan pribadinya, belum tentu dia akan tetap lurus hingga ajal menjemputnya.

Dalam bingkai yang lebih besar, kaidah di atas menyimpan pesan bahwa setiap manusia yang masih bernafas itu belum final. Orang yang baik belum final kebaikannya dan orang yang jahat juga belum final ke-jahat-annya. Karena itu, kalau ada orang yang kita anggap baik, tolonglah jangan terlalu mengultuskannya atau memuji-mujinya sampai ke langit. Begitu juga, kalau ada orang jahat cukup dicela perbuatannya saja, iya perbuatannya saja, karena orangnya sewaktu-waktu bisa berubah baik.

Dalam konteks ini ada contoh yang baik yang dapat diambil dari Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau memiliki beberapa putra yang diberi nama mengikuti nama sahabat-sahabat utama Rasulullah di antaranya Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Hal demikian beliau lakukan selain sebagai tanda kecintaan Imam Ali kepada ketiga khalifah yang lurus (khulafa ar-rasyidin) itu, tapi juga karena ketiganya tetap lurus hingga akhir hayat mereka.

Saya misalnya, di satu sisi termasuk salah satu orang Indonesia yang mengagumi Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad. Tapi di sisi lain, saya agak menahan diri untuk memberi nama anak saya, kalau dia laki-laki misalnya, dengan 'Ahmadinejad'. Mungkin saya akan mengambil satu atau lebih sifat baik yang saya kagumi dari Ahmadinejad, untuk dijadikan nama anak saya kelak. Sifat-sifat baik, seperti pemberani, bijaksana, adil, atau lemah-lembut, bisa dimiliki dan harus dicita-citakan untuk dimiliki oleh siapa saja.

Akhirnya, kita diajarkan untuk berdoa agar Tuhan menganugerahkan kita akhir yang baik (husn al khatimah), dan agar kita dapat menjadi teladan bagi orang lain, bukan cuma hari ini, tapi juga sampai ujung usia kita. Wallahu 'alam.

Thursday, February 14, 2008

hari patah hati

Kahlil Gibran pernah menulis, "Ketika engkau bersedih tengoklah kembali ke dalam hatimu, maka engkau akan mendapati bahwa sesungguhnya engkau sedang menangisi sesuatu yang sebelumnya adalah (sumber) kebahagiaanmu."

Patah hati adalah proses yang wajib, otomatis, dan tidak bisa tidak (pasti) dilalui setiap orang yang jatuh cinta. Kalau hari ini cinta membuat anda tersenyum, maka suatu hari nanti, mungkin besok, cinta juga yang akan membuat anda meratap.

Jika kita berani untuk merayakan hari cinta, hari kasih-sayang, kita seharusnya juga tidak ragu untuk merayakan hari patah hati. Karena patah hati juga punya hak penuh untuk dirayakan. Karena patah hati lahir dari rahim cinta.

Hari ini, merataplah untuk mereka yang jatuh cinta, dan bersuka-citalah untuk dia yang patah hati. Yang jatuh cinta, akan patah hatinya. Dan yang patah hati akan jatuh cinta lagi. Kepadamu, duhai patah hati, hari ini aku nyatakan cintaku.

Tuesday, February 12, 2008

'kita sudah kaya, sayang'

Mintalah hati yang damai, entah apa pun yang terjadi dalam hidupmu. ~ Anthony de Mello, Burung Berkicau

Salah satu buku yang merupakan koleksi terbaik saya adalah Burung Berkicau karangan Anthony de Mello SJ. Burung Berkicau hampir pasti disukai juga oleh mereka yang menyukai buku-buku filsafat atau tasawuf. Burung Berkicau boleh jadi disukai pula oleh mereka yang menyukai bacaan-bacaan yang mengusung pluralisme dan inklusifitas, terutama dalam beragama.

Pater de Mello adalah penulis yang berlatar belakang agama Katolik Jesuit. Tapi, Burung Berkicau - serta juga dua buku de Mello yang lain yaitu Doa Sang Katak dan Berbasa Basi Sejenak -- seperti yang ditulis dalam pengantar situs isnet.org, tidak dimaksudkan pengarangnya sebagai pegangan untuk mengajarkan doktrin atau dogma Kristen kepada umat beriman Katolik.

Menurut sumber yang saya baca, Pater de Mello memang terkenal sebagai sosok guru yang jago bercerita. Seseorang yang sepertinya dekat dengannya mengatakan bahwa murid-muridnya senang mendengar cerita-cerita de Mello yang tidak kunjung habis. De Mello wafat pada 2 Juni 1987 di New York.

Burung Berkicau sendiri adalah buku yang berisikan 70 kisah dari berbagai tradisi agama, mulai dari Katolik, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, sampai Konghucu. Kisah-kisah dalam Burung Berkicau lebih singkat dibandingkan yang ada di Doa Sang Katak, tapi relatif lebih panjang daripada yang terdapat dalam Berbasa-Basi. Tapi, ketiga buku itu sama baiknya, menurut saya.

Ini salah satu kisah favorit saya dari Burung Berkicau:

"Suami:

'Manisku, aku akan bekerja keras supaya pada suatu saat kita akan menjadi kaya.'

Isteri:

'Kita sudah kaya, sayang, karena kita saling memiliki. Kelak mungkin kita akan mempunyai banyak uang juga.'"

Bagian dari kesenangan saya adalah merekam, dari bacaan-bacaan, kata-kata singkat yang (saya anggap) indah dan dalam maknanya. Saya juga mencoba merekam beberapa kata-kata singkat dari Burung Berkicau.

Bagaimanapun, Saya sama sekali tidak bermaksud untuk merangkum isi dari buku itu menjadi hanya 20 butir kalimat saja. Usaha ini boleh dianggap sebagai "godaan" kepada teman-teman yang untuk menyelami samudera kearifan dalam Burung Berkicau.

  1. Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya. Pandanglah saja.
  2. Aku sungguh berniat mengisi jubahku dengan bunga-bunga. Dan bila kembali pada kawan-kawanku, aku bermaksud menghadiahi mereka beberapa kuntum bunga. Tetapi ketika aku di sana, keharuman taman itu membuatku mabuk, sehingga aku menanggalkan jubahku.
  3. Orang yang tahu, tidak banyak bicara. Orang yang banyak bicara, tidak tahu.
  4. Kepercayaan yang kaku dapat memutarbalikkan kebenaran.
  5. Jauh lebih mudah percaya kepada dewa-dewa berhala ciptaan kita sendiri, kalau kita berhasil meyakinkan orang lain, bahwa dewa-dewa memang ada.
  6. Pada mulanya aku berharap dapat mengubah mereka. Kini aku masih terus berseru, agar supaya mereka jangan mengubah aku!
  7. Agama yang jelek memperkuat kepercayaannya akan jimat. Agama yang baik membuka matanya untuk melihat, bahwa setan-setan tidak ada.
  8. Bukanlah penghargaan bagi seorang pembimbing rohani, bahwa para murid selamanya duduk bersimpuh di depan kakinya.
  9. Sekarang aku tahu, bahwa aku tidak dapat benar-benar berubah, sebelum aku menemukan orang yang tetap akan mencintaiku, entah aku berubah atau tidak.
  10. Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja.
  11. Jika engkau mencari kebenaran, engkau berjalan sendirian. Jalan ini terlalu sempit untuk kawan seperjalanan. Siapakah yang dapat tahan dalam kesendirian itu?
  12. Seandainya aku membatasi diri dan hanya mengkhotbahkan apa yang kupraktekkan, maka aku tidak begitu munafik lagi.
  13. Kehilangan nama? Tidak banyak berbeda dengan kehilangan kontrak yang mau ditandatangani dalam mimpi.
  14. Simpanlah hartamu dan tinggalkan si 'aku'. Jangan membakar tubuhmu, bakarlah 'ego'mu! Cinta akan muncul dengan sendirinya.
  15. Cinta itu tidak mengingat-ingat kesalahan.
  16. Ia menjadi jauh lebih indah justru karena tidak menyadari keindahannya. Dan ia menarik perhatianku, justru karena tidak berusaha untuk memikatku.
  17. Kebanyakan orang memerlukan seorang suci untuk disembah dan seorang guru untuk dimintai nasehat. Ada persetujuan diam-diam: 'Engkau harus hidup sesuai dengan harapan kami, dan sebagai gantinya kami akan menghormatimu.'
  18. ‘Kita sudah kaya, sayang, karena kita saling memiliki. Kelak mungkin kita akan mempunyai banyak uang juga.'
  19. Mintalah hati yang damai, entah apa pun yang terjadi dalam hidupmu.
  20. Setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia. Hampir tak seorang pun berpikir bagaimana mengubah dirinya.