Wednesday, February 28, 2007

tentang perjumpaan dan perpisahan

Bergaullah dengan orang lain sedemikian rupa sehingga apabila Anda mati, mereka akan menangisi Anda dan selagi Anda hidup, mereka akan merindukan Anda”. (Puncak Kefasihan, Kata-kata Hikmah ke-10).

Hak yang melekat pada setiap perjumpaan adalah perpisahan, seperti halnya hak pada setiap perpisahan adalah perjumpaan (kembali). Perjumpaan dan perpisahan, karenanya, bagai dua sisi mata uang. Karena itu, terlalu berlebihan dalam merayakan perjumpaan dengan orang yang dikasihi adalah justru bisa menyakitkan, dan terlalu berlebihan dalam meratapi perpisahan dengan yang dicintai adalah bahaya yang perlu dihindari.

Sebaik-baik perkara yang mengiringi setiap perjumpaan adalah kesadaran akan adanya perpisahan, dan sebaik-baik perkara yang menyertai perpisahan adalah harapan akan adanya perjumpaan kembali. Karena itu, hal terbaik untuk mengisi kebersamaan adalah sikap yang sedemikian rupa membuat seseorang merindukan kita saat masih hidup dan bersedih saat kita telah tiada. Dan, hal paling baik untuk memaknai perpisahan adalah tidak terputusnya doa bagi kebaikan orang yang meninggalkan kita. Karena, bagaimanapun, kita semua senantiasa dalam keadaan meninggalkan atau ditinggalkan.

Berkaitan dengan ini, saya selalu terharu setiap kali membaca ungkapan dari Ali bin Abi Talib di saat pemakaman Rasulullah: “Sesungguhnya kesabaran adalah baik kecuali mengenai Anda (Rasulullah SAW); meratap adalah buruk kecuali atas Anda; dan musibah yang berkenaan dengan diri Anda adalah besar, sementara setiap musibah lainnya, sebelum atau sesudahnya, hanyalah kecil belaka”. (Puncak Kefasihan, Kata-kata Hikmah ke-302).

Saya sampai saat ini terus belajar memahami hakikat dari perjumpaan dan perpisahan. Saya mungkin tidak akan sanggup bersabar akan perpisahan dengan orang-orang yang sangat saya cintai. Bahkan, memikirkannya saja membuat saya sedih tak terperi. Kesedihan saya lebih karena belum banyaknya kebaikan yang saya berikan kepada orang-orang tersebut, padahal kebaikan mereka pada saya tak terhitung jumlahnya. Karena itu, buat saya, salah satu doa yang paling utama adalah doa agar Allah mempertemukan kita kembali dengan orang-orang tercinta yang telah kita tinggalkan atau meninggalkan kita. Amin.

Untuk orang-orang terdekat, dan kawan-kawanku terkasih.

Salam,

amrie

Tuesday, February 20, 2007

I am Beauty and Grace!

Pembaca tercinta,

Sudah lama saya mengagumi puisi-puisi Muhyiddin Ibnu Arabi (Syaikhul Akbar), meski belum banyak membaca karya beliau. Pagi ini seorang pengagum Ibn Arabi lainnya mengirim salah satu puisi beliau yang sangat indah. Saya nyaris "pingsan" saat menyimaknya (mungkin ini agak berlebihan). Saya kemudian mencoba mengalihbahasakan puisi itu ke dalam bahasa Indonesia semampu saya. Hasilnya, seperti bisa teman-teman baca di bawah ini, sangat jauh dari keindahan dan keanggunan teks Inggrisnya. Sayang, saya tidak bisa bahasa arab, karena saya yakin, puisi dalam bahasa aslinya, jauh lebih indah dan anggun, dari versi terjemahannya. Akhir kata, selamat menikmati, selamat mencintai!

I am Beauty and Grace!
Mawlana Syaikh Ibnu Arabi qs

Oh, my beloved! How many times I have called you
without your hearing Me!
How many times I have shown Myself
without you looking at Me!
How many times I have become perfume
without your inhaling Me!
How many times I have become food
without your tasting Me!
How is it that you do not smell Me in what you breathe?
How do you not see Me, not hear Me?

I am more delicious than anything delicious,
More desirable that anything desirable,
More perfect than anything perfect.
I am Beauty and Grace!
Love Me and love nothing else
Desire Me
Let Me be your sole concern to the exclusion of all concerns!

(An Ocean Without Shore, Sheikh al Akbar/The GreatestMaster, Muhyidden Ibn Arabi, may Allah be well pleased with him )

(Dikutip dari e-mail dari milis Jurnalisme dari gazellerun@yahoo.com)

Alih bahasa oleh Amrie Hakim:

Akulah Kecantikan dan Keanggunan!

O, kekasihku! Berapa kali Aku memanggilmu
Tanpa kau mendengar-Ku!
Berapa kali Aku menampakkan Diri-Ku
Tanpa kau melihat-Ku!
Berapa kali Aku telah menjadi wewangian
Tanpa kau menghirup-Ku!
Berapa kali Aku telah menjadi hidangan
Tanpa kau mencicipi-Ku!
Bagaimana kau tak mencium wangi-Ku
Dalam tarikan nafasmu!
Bagaimana kau tidak melihat-Ku, tidak mendengar-Ku?

Aku lebih lezat dari segala yang lezat,
Lebih dihasrati dari segala yang dihasrati,
Lebih paripurna dari segala yang paripurna,
Akulah Kecantikan dan Keanggunan!
Cintai Aku dan bukan yang lainnya
Hasrati Diri-Ku
Jadikan Aku satu-satunya yang kau cemaskan
Menafikan segala kecemasan lainnya!

(Samudra Tak Bertepi, Syaikhul Akbar, Muhyiddin Ibnu Arabi)

Monday, February 19, 2007

tentang pemberian dan utang budi (2)

Pembaca tercinta,

Beberapa hari lalu, seorang teman menelpon dan mengatakan akan memberikan “bingkisan kecil” buat saya. Katanya, itu sebagai ucapan terima kasih karena dia sering merepotkan saya. Saya langsung menjelaskan kalau apa yang saya lakukan merupakan bagian dari pekerjaan saya, jadi tidak perlu dikasih apa-apa. Toh, saya sudah mendapat gaji dari kantor. Kemudian, beberapa hari kemudian, teman baik saya ini kirim SMS ke saya dan minta alamat pengiriman buat kirim “sesuatu” buat saya. Lagi-lagi, saya menolak baik-baik permintaan beliau ini dengan menulis kurang lebih, niat baik dia itu sudah melebihi bingkisan termahal sekalipun. Alhamdulillah, dia mengerti.

Sebetulnya, saya menolak bukan karena tidak suka hadiah, apalagi pemberinya teman sendiri. Hanya saja, saya merasa hadiah itu bukan hak saya. Itu saja. Saya juga yakin teman saya ini tidak punya maksud lain di balik pemberiannya kecuali ingin mengucapkan terima kasih. Selain bukan hak saya, ada satu hal lagi yang membuat saya perlu sedikit berhati-hati dalam menerima pemberian yang ada kaitannya, langsung atau tidak langsung, dengan pekerjaan saya. Bukannya pekerjaan saya demikian pentingnya atau posisi saya di kantor begitu tinggi hingga saya bisa mengambil keputusan yang menentukan nasib orang lain. Tapi, itu karena saya terlibat langsung dengan sebuah komunitas yang terkadang tidak segan memberikan “sesuatu” demi memuluskan urusannya.

Belum lama, saya buka-buka koleksi lama saya, “Jejak-jejak Ruhani” karangan Murtadha Muthahari, untuk memenuhi ketidakpuasan saya akan kesimpulan saya dalam masalah pemberian dan utang budi. Alhamdulillah, di buku itu saya menemukan salah satu ucapan Imam Ali bin Abi Thalib yang berkaitan dengan pemberian dan menjaga kehormatan diri. Khotbahnya lumayan panjang, itu saya yakin lantaran masalah pemberian memang bukan hal yang sederhana. Di satu sisi, kita harus menghargai niat baik orang lain yang hendak memberikan sesuatu kepada kita, sementara di sisi lain kita perlu menjaga kehormatan diri agar tidak menjadi “tawanan perbuatan baik” orang lain.

”Amirul Mukminin a.s. bersabda, ‘Jika engkau berbuat kebajikan kepada seseorang dan memenuhi orang itu dengan segala pemberian, maka orang itu – siapapun dia – akan menjadi tawanan perbuatan baikmu dan berada di bawah perintahmu, sementara engkau menjadi atasan baginya. Jika engkau merasa cukup dan tidak butuh kepada seseorang, maka siapapun orang itu, apapun pangkat dan kedudukan yang dimilikinya, engkau akan menjadi pribadi yang sama dan sederajat dengannya. Namun, jika engkau merasa butuh kepada seseorang, meminta pertolongan darinya, niscaya siapapun orang itu, engkau akan menjadi hambanya, tawanannya, dan pesuruhnya.’”. (Dinukil dari “Jejak-jejak Ruhani”, Murtadha Muthahari, Pustaka Hidayah, Mei 1996, hal. 53, dari “Ghurarul Hikam”, Cet. Univ. Teheran, Jilid II, hal. 54).

Masih dari buku yang sama:

"Sesuatu yang dapat menjadikan manusia sebagai tawanan ialah membutuhkan dan menerima pemberian dan kebaikan orang lain. Perbuatan itulah yang dapat merusak kehormatan dan kemuliaan seorang manusia. Sebaliknya, merasa cukup dan tidak butuh merupakan penjaga kehormatan dan kemuliaan seseorang. Dari sinilah setiap usaha dan segala sesuatu yang dapat menghilangkan ketergantungan kepada orang lain mempunyai kedudukan yang mulia. Hal ini karena tidak ada yang lebih suci daripada sesuatu yang dapat menjaga kehormatan dan harga diri seorang manusia".

Wasalam,

amrie