Tuesday, January 29, 2008

guru saya, nashruddin

Every joke can have its truth ~ Green Day, "Nice Guys Finish Last"

Nashruddin Khouja atau Mullah Nashruddin adalah salah satu teladan saya. Kepada sebagian teman yang punya ketertarikan yang sama dalam hal tasawuf atau sufisme, saya sering bilang kalau mazhab atau tarikat saya adalah Nashruddiniyah. Nashruddin adalah mursyid (guru, pembimbing) jauh saya. Pernyataan saya itu separuh bercanda dan separuh lagi serius.

Separuh bercanda karena saya memang bukan pengikut tarikat Nashruddiniyah atau tarikat sufi manapun. Saya bahkan tidak tahu apakah ada tarikat Nashruddiniyah. Ketertarikan saya pada dunia tasawuf hanya sebatas sebagai "pemerhati" dan bukan sebagai pengikutnya (salik). Saya tidak pernah berpikir untuk jadi sufi.

Tapi di sisi lain, saya tidak bercanda waktu mengatakan bahwa Nashruddin adalah guru saya. Beberapa buku mengenai Nashruddin saya baca berulang-ulang dan sering saya ceritakan kembali kepada teman-teman. Sebagian anekdot Nashruddin pernah membuat perut saya sakit dan otot pipi saya pegal-pegal karena demikian lucunya. Sementara, sebagian anekdot Nashruddin lainnya masih belum bisa saya pahami maknanya.

Sebagian referensi yang saya baca menyebutkan bahwa Nashruddin adalah tokoh rekaan alias tokoh fiksi yang diciptakan oleh kaum sufi. Salah satu guru sufi, Idries Shah, dalam salah satu bukunya "Mahkota Sufi" membahas Nashruddin secara mendalam dalam satu bab khusus. Di buku itu antara lain ditulis: "Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya Nashruddin itu, kapan dan di mana ia hidup. Tujuan keseluruhan tulisan ini adalah menampilkan satu sosok yang tidak bisa diberi karakter yang sesungguhnya, dan yang berada di luar waktu. Adalah pesan, dan bukan orangnya, yang penting bagi para Sufi."

Namun, ada pula sumber yang mengatakan bahwa Nashruddin adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukkan Bangsa Mongol. Menurut versi ini, sewaktu masih sangat muda Nashruddin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering kali lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat (meramalkan): "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apapun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."

Salah satu pelajaran yang paling berharga yang saya dapatkan dari Mullah Nashruddin adalah beliau tidak pernah malu untuk melakukan atau mengatakan (atau gabungan dari keduanya) hal-hal yang dianggap supertolol oleh sebagian besar orang demi menyampaikan hikmah. Ungkapan-ungkapan Nashruddin sangat khas: menunjukkan ketololan dan kedalaman makna yang luar biasa. Itu antara lain ditunjukkan kisah berikut:

Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka -- tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.

"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?" tanya salah satu muridnya.

"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang patah!"

Dari Nashruddin saya juga belajar bagaimana menghadapi cemoohan atau sikap buruk dari orang lain. Nashruddin sepertinya tidak pernah menganggap besar cemoohan atau perlakuan buruk orang lain kepada dirinya. Cukup banyak anekdot yang menceritakan bagaimana Nashruddin kadang membalas perlakuan buruk orang lain -- yang kebanyakan tujuannya sekadar bercanda atau mengolok-olok. Seperti dapat dilihat pada kisah berikut:

Nashruddin mengunjungi tempat mandi Turki. Karena berpakaian jelek, ia dilayani secara kasar oleh petugas yang memberikannya sebuah handuk tua dan secuil sabun. Ketika pergi, ia memberikan sekeping uang emas kepada petugasnya.

Pada hari berikutnya ia kembali muncul. Kali ini ia berbusana mewah, dan tentu saja mendapatkan pelayanan yang terbaik dan berbeda.
Ketika selesai mandi, ia memberikan sekeping uang logam terkecil yang ada kepada petugasnya.

"Ini," ucap Nashruddin, "untuk pelayanan yang kemarin. Sementara uang emas itu adalah untuk pelayananmu pada saat ini."

Satu lagi, sepertinya tidak ada orang lain yang paling baik mengajarkan bahwa menertawakan ketololan diri sendiri itu jauh lebih nikmat dan "bergizi" daripada menertawakan ketololan orang lain. Karena, bagaimanapun, bila hari ini kita menertawakan ketolololan orang lain, boleh jadi besok (ketololan) kitalah yang akan menjadi bahan tertawaan. Dan, berdasarkan pengalaman Nashruddin, ketololan seringkali bermanfaat bagi diri kita. Simak saja anekdot berikut:

Seorang tetangga datang untuk meminjam tali jemuran Nashruddin.

"Maaf, aku tengah mengeringkan bubuk gandum di atasnya."

"Tetapi bagaimana engkau bisa mengeringkan bubuk gandum di atas tali jemuran?"

"Hal ini tidak sesulit yang Anda kira, jika Anda tidak ingin meminjamkannya."

Akhirnya, yang mungkin paling penting adalah Nahsruddin ingin memberikan contoh sikap kerendah-hatian dalam bentuknya yang lain yaitu kepandiran dan ketololan. Kepandiran Nashruddin sama sekali tidak menghilangkan kewibawaannya sebagai ulama, ahli hukum, filsuf, dan guru. Jadi, sepertinya tidak terlalu penting lagi apakah Nashruddin adalah tokoh nyata atau hanya fiksi. Pesannya lebih penting daripada orangnya; isi lebih penting daripada bungkusnya. Wallahu 'alam.

Thursday, January 17, 2008

disobedience

When leaders act contrary to conscience, we must act contrary to leaders. ~Veterans Fast for Life

Satu dari sejumlah hal yang paling sulit, tapi boleh jadi cukup sering, kita hadapi dari orang-orang di sekeliling kita adalah pembangkangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembangkangan (disobedience) berarti tidak mau menurut (perintah), mendurhaka, menentang, menyanggah. Pembangkangan, pendeknya, adalah penolakan mengikuti perintah.

Dalam satu waktu kita adalah pihak yang menghadapi pembangkangan, tapi di waktu yang lain boleh jadi kita adalah yang menjadi pembangkang. Sebagai anak, kita mungkin sering membangkang terhadap orangtua; sebagai adik, kita hampir pasti pernah membangkang terhadap kakak kita; sebagai bawahan, boleh jadi sekali-dua kali kita pernah melakukan pembangkangan terhadap atasan.

Berdasarkan pengalaman, menjadi pembangkang sepertinya lebih mudah daripada menghadapi pembangkangan. Hampir semua orang berpotensi untuk menjadi pembangkang yang baik atau yang buruk, tapi mungkin hanya sedikit orang yang bisa menjadi individu yang dapat menghadapi pembangkangan dengan baik.

Pembangkangan memang semestinya tidak dilihat semata sebagai aksi insubordinasi, tapi juga sebagai bentuk dorongan untuk melakukan perbaikan terhadap ketidaksesuaian yang mungkin ada. Karena pembangkangan tidak mungkin muncul tanpa ada sebabnya. Pembangkangan adalah api yang disulut oleh ketidakpuasan, kekecewaan, atau juga ketidakmampuan. Jadi, sebab pembangkangan bisa jadi halal atau haram.

Pembangkangan bisa ditemui dalam bentuknya yang paling halus hingga yang paling ekstrim. Pembangkangan yang paling halus biasanya ditunjukkan dengan sikap diam, pasif, atau tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh mereka yang punya hak untuk memberikan perintah. Pembangkangan yang derajatnya lebih tinggi biasanya disertai dengan protes lewat lisan atau tulisan atau juga perbuatan.

Rasulullah saw. juga pernah menghadapi semacam pembangkangan dari sebagian sahabat yaitu usai penandatanganan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Quraisy. Nabi mengajak para sahabatnya untuk menyembelih kurban dan bercukur, namun tidak ada seorang pun sahabat yang melaksanakan perintah beliau. Bahkan, sampai beliau saw. mengulangi perintahnya hingga tiga kali, para sahabat masih diam.

Penyebab dari penolakan kaum muslimin dapat dipahami oleh Rasulullah yaitu ketidakpuasan mereka dengan isi perjanjian Hudaibiyah yang dipandang merugikan kaum muslimin dan menguntungkan kaum Quraisy. Tapi, sesungguhnya Rasulullah mengetahui apa yang tidak diketahui para sahabatnya. Di kemudian hari terbukti bahwa sejak perjanjian itu disepakati lebih banyak orang yang berbondong-bondong masuk Islam.

Nabi sempat bingung bagaimana menyikapi penolakan para sahabatnya itu. Beliau kemudian meninggalkan mereka dan meminta pendapat istrinya yang ikut serta dalam perjalanan kali itu, Ummu Salamah, tentang apa yang beliau hadapi. Ummu Salamah kemudian mengatakan, "Wahai Rasulullah, janganlah anda menegur mereka sebab baru saja mereka melakukan pekerjaan yang sangat berat dan mereka merasa sedih akibat perjanjian itu, sebab mereka harus pulang tanpa ada hasil apa-apa. Untuk mengatasi persoalan ini saya mempunyai pendapat yaitu hendaklah engkau keluar kepada mereka tanpa bicara sepatah katapun , kemudian engkau sembelih kurban dan panggillah salah seorang dari mereka untuk mencukur rambut engkau."

Sedemikianlah Rasulullah menghormati pendapat orang lain, kendati beliau adalah Nabi yang mendapat wahyu dari Tuhan. Nabi dikenal sebagai orang yang paling banyak bermusyawarah, baik dengan para sahabatnya ataupun dengan istri-istrinya. Sebagian besar sahabat bahkan merasa jengah melihat istri-istri Nabi seringkali bebas menyatakan pendapat mereka kepada Rasulullah. Dikisahkan kemudian, Nabi saw. mengikuti pendapat Ummu Salamah. Begitu melihat Rasulullah menyembelih kambing dan bercukur, para sahabat kemudian mengikuti apa yang beliau lakukan.

Demikian beliau saw. menghadapi pembangkangan dari sebagian sahabatnya saat di Hudaibiyah. Dan demikian pula para sahabat mengakhiri dengan santun dan penuh kepatuhan pembangkangan yang sebelumnya mereka lakukan juga dengan cara yang santun. Itu adalah bentuk pembangkangan yang paling santun yang dilakukan oleh mereka yang dididik oleh manusia yang paling santun.

Jadi, boleh dibilang mustahil bagi kita untuk berharap bahwa kita tidak akan menghadapi pembangkangan dari orang lain. Hal yang dapat kita harapkan adalah bahwa saat itu terjadi kita dapat menghadapinya dengan baik dan lembut sebagaimana Rasulullah melakukannya. Dan, yang paling penting, adalah salah mengharapkan kepatuhan (obedience) dari orang lain jika apa yang kita lakukan berlawanan dengan kebenaran.

Monday, January 14, 2008

revolusi hati

Salah satu alasan kenapa cukup sulit buat saya untuk memelihara dendam (terhadap orang lain) adalah karena sikap atau kata-kata buruk orang lain tentang saya mungkin berakar pada sikap atau perkataan buruk saya juga. Alasan lainnya, karena besarnya harapan agar orang itu akan berubah menjadi baik suatu hari nanti. Bahwa dia akan mengalami revolusi hati.

Kepada sebagian besar teman saya suka memohon agar mereka mengritik, menjelek-jelekkan, menyumpah-serapah diri saya di depan hidung saya, tidak di belakang saya. Hal itu saya minta karena, bagi saya, lebih nikmat mendengar kritikan langsung dari sumbernya (orang pertama) ketimbang dari orang selain dia. Simpelnya, seperti kata Britney Spears, don't let me be the last to know.

Saya, insya Allah, tidak pernah membeda-bedakan antara kritik yang membangun dengan kritik yang tidak membangun. Buat saya semua kritik adalah membangun. Kritik yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak membangun pun bisa membangunkan saya. Kritik selalu membuat mata, hati, dan pikiran saya terbuka.

Balik ke soal mendendam, terhadap mereka yang mencela, menghina, atau berburuk sangka terhadap saya, saya tidak mendendam. Satu-satunya orang yang mungkin pantas saya dendami adalah diri saya sendiri. Begitu banyak kesalahan yang telah saya lakukan tapi sangat sedikit niat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu.

Kadang kita sulit untuk mengerti mengapa ada orang yang begitu manis tutur katanya dan prilakunya saat di depan kita, tapi demikian "menyeramkan" kata-kata dan sikapnya (terhadap kita) ketika tidak bersama kita. Inilah sesungguhnya jenis manusia yang paling perlu kita waspadai. Orang-orang seperti ini mengingatkan kita pada sosok Abdullah bin Ubay, seorang munafik yang menjadi musuh dalam selimut bagi kaum muslimin di Madinah.

Itu satu lagi alasan kenapa kita tidak dianjurkan untuk memelihara dendam atau prasangka buruk kepada orang lain. Orang yang seakan-akan manis di depan kita, belum tentu akan manis pula saat di belakang kita. Dan, mereka yang begitu keras sikap atau perkataannya di hadapan kita, belum tentu punya maksud yang buruk terhadap kita.

Umar bin Khaththab, salah satu sahabat Nabi yang paling dekat, dahulunya termasuk musuh Islam yang paling kejam. Tapi, kemudian Umar mengalami, apa yang disebut Tariq Ramadan sebagai, revolusi hati. Islam masuk ke hati Umar pada hari ketika dia hendak membunuh Rasulullah SAW dengan pedangnya. Sejak hari itu Umar telah berubah menjadi pahlawan Islam yang utama.

Mengenai hal itu, Tariq Ramadan menulis, "Tak seorang pun di antara pengikut Nabi yang dapat membayangkan bahwa Umar akan mengikuti pesan agama Islam, mengingat ia dengan sangat jelas telah mengungkapkan kebenciannya kepada islam. Revolusi hati ini merupakan sebuah tanda, dan ia mengajarkan dua hal: tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, dan kita tidak boleh memberikan penilaian mutlak terhadap sesuatu atau seseorang."*


----------
Referensi:
* Tariq Ramadan, "Muhammad: Rasul Zaman Kita", Penerbit Serambi, Oktober 2007, hal. 133-134.