Wednesday, December 26, 2007

natal

"Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku, dan kebangkitanku kelak." (QS 19: 33)

Dikisahkan, di Hari Natal, saat Imam Khomeini tinggal di Paris, beliau memberitahu kepada para kerabat dan sahabatnya untuk membagi-bagikan hadiah, berupa beragam makanan khas Iran, kepada warga di sekitar rumah tempat tinggal beliau. Setiap bingkisan tersebut dikemas sedemikian rupa dan ditambahkan setangkai bunga di atasnya.1

Sejak Rasulullah masih hidup, umat Kristen memang memiliki tempat tersendiri dalam Islam. Kita mengetahui bahwa saat kaum muslim sedang ditindas sedemikian rupa di Mekkah, Rasulullah memerintahkan agar mereka mencari suaka ke luar Mekkah dan tempat yang dipilih adalah Habasyah, sebuah negeri yang dipimpin Najasyi, seorang raja Kristen yang terkenal adil. Selama bertahun-tahun, dia melindungi kaum muslimin yang mencari perlindungan di negerinya.

Kita juga mengetahui bahwa Rasulullah sangat menghormati Perawan Suci Maria (Maryam) dan Yesus (Nabi Isa as.). Kisah yang sangat masyhur mengenai hal itu adalah saat kaum muslimin menaklukkan Kota Mekkah dan Rasulullah memerintahkan agar seluruh patung berhala yang ada di Ka'bah agar dihancurkan, kecuali lukisan Perawan Suci Maria dan Yesus di dinding Ka'bah.2

Mengenai hal tersebut, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, "Dengan melindungi patung orang suci ini, Nabi tidak saja menggarisbawahi perbedaan antara berhala dan patung kudus, melainkan juga menunjukkan bahwa walaupun Islam tidak memperbolehkan penggambaran (kendati) dalam seni yang kudus, tapi itu tidak berarti Islam menolak penggambaran yang telah dianut oleh agama lain yang struktur dan wawasannya berbeda dengan Islam."3

Sebaliknya, kita juga dapat membaca betapa besar penghormatan Muqauqis, seorang penguasa Kristen di Mesir, terhadap Rasulullah dan Islam. Muqauqislah yang dikenal memberikan hadiah yang berlimpah kepada Rasulullah -- termasuk di antaranya salah satu dayang-dayangnya yang bernama Maria al-Qibtiyah yang kemudian diperistri oleh Nabi -- walaupun ia menolak ajakan agar masuk Islam.

Jika saat ini kita masih memandang kaum Kristen berseberangan dengan Islam, mungkin kita perlu membuka kembali lembar sejarah di saat kaum muslimin mendoakan kemenangan Bangsa Romawi ketika bertempur melawan Bangsa Persi. Bangsa Romawi dianggap mewakili orang-orang yang percaya kepada Allah, para rasul, wahyu, dan kitab-kitab, dan akhirat. Sebaliknya, kaum kafir Quraisy berharap sebaliknya karena Bangsa Persi (saat itu) adalah orang-orang musyrik.

Namun, akhirnya kemenangan jatuh ke tangan Bangsa Persi. Lalu, Allah menurunkan kabar gembira tentang kemenangan Bangsa Romawi tak seberapa lama kemudian. Tidak cukup dengan satu kabar gembira ini saja, Allah menegaskan kabar gembira yang lain yaitu pertolongan yang diberikan Allah kepada orang-orang mukmin; dan pada hari (kemenangan Bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.” (QS: ar-Rum: 4-5) .4

Boleh jadi dengan perspektif itulah kita, antara lain, dapat menafsirkan apa yang pernah dilakukan oleh Imam Khomeini pada Hari Natal di Paris. Khomeini ingin berbagi kehangatan dan kasih kepada saudara-saudara Kristen yang sedang merayakan Natal. Karena memang muslim dan umat Kristen bersaudara sejak dahulu, dan karena -- hingga titik tertentu -- prinsip-prinsip ajaran kedua agama tersebut berasal dari satu sumber yang sama.

Seorang sahabat beberapa hari lalu membalas sms ucapan selamat Natal dari saya dengan menulis antara lain; "Natal menjadikan kasih dan solidaritas sebagai ciri ke-Indonesiaan." Salam sejahtera semoga tercurah kepada Isa putra Maryam, dan semoga sukacita, rasa syukur dan keberkahan juga tercurah ke atas seluruh insan di bumi.


-------------------
Referensi:
------------
1. "Potret Sehari-hari Imam Khomeini", penerbit Pustaka IIman, Cetakan II, Januari 2007, hal. 43.
2. Karen Armstrong , "Muhammad Nabi Zaman Kita", Beranda, November 2007, hal. 159).

3. Seyyed Hossein Nasr, "Kekasih Allah Muhammad", Penerbit Srigunting, Januari 1997, hal. 47-48.
4. Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, "Sirah Nabawiyah", Pustaka Al-Kautsar, Juli 2006, hal. 170.

Tuesday, December 18, 2007

imej

"Sebuah perusahaan yang imej-nya kurang baik di mata masyarakat, terkadang pada kenyataannya perusahaan itu memiliki manajemen yang baik di dalam. Sebaliknya, ada pula perusahaan yang imej-nya baik di masyarakat, tapi ternyata di dalamnya manajemennya amburadul."

Itulah kurang lebih yang pernah dikatakan oleh pakar manajemen Rhenald Kasali dalam sebuah diskusi di salah satu radio. Apa yang dia sampaikan bisa dikupas panjang lebar dengan menggunakan beragam pisau analisis atau disiplin ilmu yang boleh jadi saya tidak kuasai. Pandangan di atas saya kutip hanya untuk menggambarkan betapa imej (image, citra) merupakan hal yang penting. Tapi di sisi lain, imej bukanlah segala-galanya karena imej bisa direkayasa.

Dikisahkan bahwa pemimpin revolusi Islam Iran Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini pernah di-imej-kan oleh sebagian orang sebagai pemimpin yang kurang ramah. Setelah disampaikan kepada beliau tentang hal itu, Khomeini menjawab. "Ini adalah tipu daya setan. Sesungguhnya, jiwaku sendiri mengajakku bersikap lebih ramah terhadap mereka agar jumlah orang yang menyukaiku bertambah banyak. namun, agar ajakan ini menarik bagiku, setan berkata, 'Ini demi Allah dan Islam!' Karena itulah aku tidak bisa melakukannya."1

Demikianlah imej di mata Imam Khomeini sebagai seorang sufi. Secara sederhana, apa yang diungkapkan oleh Khomeini dalam kasus di atas adalah perang di batinnya soal niat beliau untuk bersikap ramah kepada orang lain. Akhirnya, beliau sendiri memilih dianggap tidak ramah kepada orang lain daripada menuruti bisikan setan saat itu yang mendorongnya untuk bersikap ramah agar disukai oleh banyak orang. Khomeini bukanlah manusia yang "tergila-gila" akan imej di mata manusia. Imej di hadapan Allah lah yang beliau senantiasa jaga.

Ada pula cerita tentang Bayazid (Abu Yazid al Busthami), salah seorang sufi terkenal, yang berani "mengorbankan" imejnya sebagai seorang guru sufi yang dihormati banyak orang. Pada suatu hari, ketika ia pulang dari Mekah, ia singgah di kota Rey di Iran. Penduduk kota yang sangat menaruh hormat padanya, keluar mengelu-elukannya sampai seluruh kota menjadi gempar.

Bayazid, yang sudah jenuh akan pendewaan serupa itu, menunggu hingga ia sampai di pinggir pasar. Di sana ia membeli sepotong roti, lalu mulai memakannya di muka umum. Padahal waktu itu bulan puasa. Akan tetapi Bayazid yakin, bahwa dalam perjalanan ia tidak terikat pada peraturan-peraturan agama. (Orang yang dalam safar tidak diwajibkan berpuasa)

Tetapi para pengikutnya tidak berpikir demikian. Maka mereka begitu dikecewakan oleh perbuatan itu, sehingga mereka semua segera meninggalkannya dan pulang. Bayazid dengan rasa puas berkata kepada salah seorang muridnya: "Lihat, begitu aku berbuat sesuatu yang berlawanan dengan harapan mereka, rasa hormat mereka terhadapku hilang lenyap."2

Demikianlah kebanyakan dari kita, begitu gemar mengkultuskan (mendewa-dewakan) manusia lainnya. Saat "sang pujaan" melakukan hal-hal yang kita harapkan, kita pun memujanya sedemikian rupa yang dapat membuat orang tersebut terjerumus ke dalam rasa bangga diri, sombong, dan takabur. Tapi, giliran orang tersebut melakukan sesuatu yang tidak kita harapkan atau tidak kita sukai, kita pun meninggalkannya atau bahkan menistainya. Naudzubillah.

Dalam salah satu munajatnya, Imam Ali bin Abi Thalib memanjatkan doa berikut:

"Ya Allah, ampunilah aku tentang apa yang
Engkau
ketahui pada diriku.
Ya Allah, kalau aku kembali melakukan
kesalahan,
maka kumohon kembali jugalah
kepadaku
dengan pengampunan.

Ya Allah, ampunilah isyarat-isyarat buruk
yang kulakukan,
kesalahan-kesalahan kata
yang kuucapkan,
keinginan nafsu yang
kupendam,
dan ketergelinciran lidah yang
terlontarkan."


Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada
apa yang diduga orang dan
ampunilah
dariku apa yang mereka tidak ketahui.
"3


-----------------------------
Referensi:
1. "Potret Sehari-hari Imam Khomeini", penerbit Pustaka IIman, Cetakan II, Januari 2007.
2. "Burung Berkicau", Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994.
3. "Yang Sarat & Yang Bijak", M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, September 2007.

sepercikan mutiara & keteladanan Imam Khomeini

1. "Bahkan jika aku (istri Imam) masuk ke suatu ruangan, ia (Imam Khomeini) tidak pernah berkata, 'Tutup pintu,' tetapi menunggu hingga aku duduk, baru kemudian ia bangkit dan menutup pintu sendiri."

2. Sepanjang 60 tahun itu, ia tak pernah meminta dibawakan air minum, tetapi selalu mengambilnya sendiri. Jika posisinya jauh dari tempat air minum, ia akan mengatakan, 'Apakah tempat airnya tidak di sini?"

3. "Aku yang beruntung mendapat istri seperti dia. Tak seorang pun mengorbankan hidupnya seperti dia. Jika kau seperti Khanom (istri Imam), kau pun akan sangat disayangi suamimu."3

4. "Berhati-hatilah, jangan memperhatikan penampilan luar. Jika kau ingin menunjukkan pada orang bahwa kau begini atau begitu, itu berarti riya."

5. "Jika suamimu kesal, atau ia mengatakan sesuatu padamu karena alasan apa pun, atau jika ia berlaku tidak baik, janganlah mengatakan apa-apa saat itu juga, meskipun seandainya kau benar. Tunggulah hingga ia tenang, baru kemukakan apa yang ingin kau katakan"

6. "Berkatalah benar kepada anak-anakmu agar mereka pun tidak berdusta. Mereka senantiasa mencontoh ayah dan ibu mereka. Jadi bersikaplah baik kepada anak-anak agar mereka tumbuh dengan baik pula. Apapun yang kau nasihatkan kepada mereka, pastikan bahwa engkau pun melakukan hal serupa."

7. "Jangan meremehkan pekerjaan rumah. membesarkan anak bukan persoalan kecil. Jika seseorang bisa membesarkan anak dengan baik, ia telah mempersembahkan pengabdian yang teramat besar bagi masyarakat."

8. "Aku tidak akan menukar satu jam waktu bersenang-senang dengan belajar, tidak pula satu jam untuk belajar dengan bersenang-senang."

9. "Sepengetahuanku, pahala menjamu tamu tidak lebih kecil dibandingkan pahala berziarah dan berdoa."

10. "Sesungguhnya, jiwaku sendiri mengajakku bersikap lebih ramah terhadap mereka agar jumlah orang yang menyukaiku bertambah banyak. namun, agar ajakan ini menarik bagiku, setan berkata, 'Ini demi Allah dan Islam!' Karena itulah aku tidak bisa melakukannya."

11. "Tak ada bedanya antara aku dengan pasukan penjaga yang berada di pos di ujung jalan sana. Ia memiliki kehidupan, aku pun demikian. Jika hidupnya berharga, hidupku pun berharga. Demi Allah, aku tak melihat perbedaan antara aku yang terbunuh atau penjaga di ujung jalan itu."

12. "Seandainya kau tidak memasukkan pengetahuan itu ke dalam hati, dengan kata lain kau hanya mempelajarinya, maka ia akan menjadi kotak tempat kau menyimpan bermacam memori, laiknya perpustakaan. Jika demkian, pengetahuan itu sendiri akan menjadi tabir."

13. "Dalam pesanku ini, aku menulis: "Aku berdoa untuk kalian dengan segenap kemampuanku,' aku ingin mengubahnya menjadi "Aku berdoa untuk kalian semampuku.' Kalimat ini lebih tepat."

14. "Demi Allah, jika Ahmad (putra Imam) melakukan pelanggaran kecil sekalipun dan hukumannya adalah kematian, aku sendiri yang akan membunuhnya."

15. "Jika kalian tidak memiliki pengetahuan dan jika kalian tidak memiliki agama, bersikaplah bijaksana. Jangan ada hasrat di hati kalian untuk mencemari citra manusia."

16. "Aku tahu ajalku tak lama lagi. Jika kalian (para dokter) ingin mempertahankan aku demi diriku sendiri, biarkanlah aku seperti ini. Tapi jika itu demi umat, lakukanlah segala yang haru kalian lakukan."

17. Dalam shalat-shalat malam terakhir yang dijalankannya, Imam sering kali menangis sembari merintih kepada Allah: "Wahai Allah, terimalah aku."

18. Bahkan istri Imam mengaku tak pernah sekalipun terbangun karena Imam tak pernah menyalakan lampu ketika shalat malam. Jika beliau akan berwudhu, beliau menempatkan spons di dasar lantai untuk meredam bunyi percikan air, dengan demikian orang lain tidak terbangun.

19. "Sebisa mungkin, baktikanlah dirimu untuk masyarakat dengan cara apa pun (dan) beribadahlah sebaik mungkin selagi muda. Sadarilah berharganya usia muda, karena begitu kalian mencapai usiaku, kalian tidak lagi mampu melakukan banyak hal, seperti aku yang tidak bisa berbuat apa-apa."

-------------------------------
Dikutip dari: "Potret Sehari-hari Imam Khomeini", penerbit Pustaka IIman, Cetakan II, Januari 2007.

Thursday, December 13, 2007

mengapa tidak berlemah lembut?

"... maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka." (QS: Ali Imran [3]: 159)

Satu hal yang dialami seorang teman belum lama ini semakin mempertebal keyakinan saya bahwa kelemahlembutan wajib didahulukan daripada ucapan atau perilaku yang kasar atau semena-mena. Sikap lemah lembut itu, menurut saya, ibarat software super hebat yang compatible di segala jenis operating system, kapanpun. Sebaliknya, adalah sifat naluriah manusia untuk menolak sikap semena-mena atau aniaya dari orang lain.

Segala tipe manusia suka diperlakukan lemah lembut, dan sebaliknya hanya segelintir orang saja yang bisa menerima perlakuan yang kasar. Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kelemahlembutan itu inheren di dalam diri setiap manusia. Setiap orang dalam kondisi normal tidak akan resisten terhadap perlakuan lemah lembut dari orang lain.

Kelemahlembutan adalah sesuatu yang wajib diterima oleh seorang anak dari kedua orangtuanya sejak anak itu dilahirkan. Kelemahlembutan juga merupakan "mata kuliah" yang wajib diajarkan di dalam setiap keluarga. Jadi, jika kita menemui seseorang yang sikapnya jauh dari kelemahlembutan, itu sudah cukup buat kita untuk bertanya-tanya mungkin ada yang salah di keluarganya.

Memang kadangkala juga terjadi bahwa seseorang meninggalkan atau terkikis sifat lemah lembutnya karena faktor lingkungan (di luar keluarga yang bersangkutan), atau bahkan bahan bacaan. Seseorang yang hobi membaca kisah hidup para tiran, diktator, dan penguasa penghisap darah rakyatnya punya peluang besar untuk ketularan sifat tokoh yang digemarinya itu.

Kita juga sebenarnya tidak pernah benar-benar aman dari intaian sifat kejam, kasar, dan aniaya. Tanpa kita sadari mungkin kita sering bersikap kasar atau kejam terhadap orang-orang yang kita pandang lemah, mereka yang miskin, atau yang posisinya lebih rendah dari kita di tempat kerja.

Sebaliknya, mungkin kita telah terbiasa untuk berlemah-lembut terhadap orang yang lebih kuat dari kita, yang kita anggap punya kekuasaan lebih besar dari (kekuasaan) kita. Sikap lemah lembut jenis ini biasanya muncul didorong oleh rasa takut dan bukan kasih sayang.

Sikap seperti itu -- kasar kepada yang lemah dan lemah lembut kepada yang kuat -- harus kita akui sebagai sesuatu yang nyaris, mohon maaf, menjijikan. Kalau kita bisa berlemahlembut kepada mereka yang kita anggap punya power lebih besar dari kita, kita harus belajar berlemah-lembut pula kepada mereka yang lemah.

"Tuhanku, letakkanlah hikmah dalam hatiku dan
kelemahlembutan dalam benakku agar
aku tidak membiarkan emosi menutup akalku,
tidak juga akalku mengalahkan perasaanku.
Tuhanku, penuhkanlah hatiku dengan toleransi.
Bantulah aku sehingga tidak memperbesar
kesalahan orang lain agar aku
mampu melupakan kesalahan. Bantu pula
aku menemukan kesalahan-kesalahanku,
agar dapat bersegera memohon maaf dan
memperbaiki diri."*


------------
* Referensi: M. Quraish Shihab, "Yang Sarat & Yang Bijak", Penerbit Lentera Hati, September 2007, hal. 253-254.

Wednesday, December 05, 2007

(bukan) tentang poligami

Sesuatu yang dikatakan seorang teman baru-baru ini begitu membekas di pikiran saya. Cerita berawal dari obrolan santai kami mengenai status baru dia sebagai seorang ayah. Allah telah mengaruniai dia seorang putri. Kegembiraan masih terpancar jelas dari wajah sang ayah baru.

Saya pun bertanya mengenai nama anak pertamanya itu karena saya selalu tertarik dengan nama manusia-manusia baru yang dilahirkan ke dunia ini. Dia pun menyebutkan sebuah nama yang terdiri dari dua kata, tapi yang tertangkap oleh saya hanya nama yang kedua yaitu "Khadijah".

Sang ayah baru kemudian menjelaskan lebih jauh kenapa nama "Khadijah" yang dia pilih, "Saya pilih (nama) 'Khadijah', dan bukan 'Aisyah', karena Khadijah tidak dipoligami, sedangkan Aisyah mau dipoligami. Saya setuju dengan poligami, tapi saya tidak mau putriku (nanti) dipoligami."

Dari situ, semakin jelas buat saya kalau nama "Khadijah" bagi nama putrinya dia ambil dari nama istri Nabi Muhammad SAW karena dia juga menyandingkan nama itu dengan "Aisyah" yang juga istri Rasulullah. Jadi, ketika dia menyebut-nyebut poligami, yang dia maksud sudah pasti poligami yang dilakukan Rasulullah.

Terus terang, saya tidak bisa sepenuhnya menangkap apakah pernyataannya soal pemilihan nama Khadijah dan soal poligami itu serius atau bergurau. Karena kalau itu pernyataan serius, menurut saya, pendapatnya sangat keliru. Dan, kalau pernyataan itu cuma gurauan, maka itu adalah gurauan yang kurang lucu.

Saya bertanya-tanya, bagaimana dia bisa menyetujui satu hal (poligami), tapi dia tidak mau jika hal itu "menimpa" anggota keluarganya (putrinya)? Apakah sikap mendua tersebut lantaran dia menyamakan poligami yang dilakukan Rasulullah dengan poligami yang dilakukan oleh laki-laki yang lain? Apakah dia sadar kalau secara sadar atau tidak sadar dia telah menyamakan derajat Nabi dengan manusia lain yang bukan nabi?

Apakah dia berpikir kalau dia lebih berilmu atau lebih mulia kedudukannya daripada Abu Bakar ra. dan Umar bin Khaththab ra yang masing-masing putri beliau berdua dipoligami oleh Nabi? Apakah dia juga berpikir bahwa Aisyah atau Hafshah atau istri-istri Rasulullah yang lain mengalami ketidak-adilan atau penderitaan selama mereka dipoligami oleh beliau? Itu semua hanya sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang bisa saya ajukan kepada teman saya itu dan dia punya kewajiban moral dan intelektual untuk menjawabnya.

Saya pribadi berpendapat kalau poligami adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali telah terpenuhi seluruh persyaratan yang diatur dalam Al-Quran. Rasulullah hidup bahagia selama 25 tahun bersama Khadijah hingga sang istri tercinta wafat. Selama 25 tahun penuh rumahtangga Nabi adalah rumahtangga monogamis. Saya pribadi berpendapat bahwa poligami adalah hak istimewa dari Allah yang diberikan khusus bagi Rasulullah yang mengemban tugas menyampaikan risalah kepada seluruh alam.

Saya juga memiliki seorang putri saat ini. Dan terus terang, tidak pernah terlintas di kepala saya kemungkinan putri saya akan dipoligami kelak. Seperti kebanyakan orangtua lainnya, saya hanya berpikir untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi keluarga saya. Saya rasa itulah kewajiban saya sebagai orangtua, dan bukan mendidik dia supaya mau atau tidak mau dipoligami suatu hari nanti.

Di akhir dialog, teman saya itu mengatakan bahwa masalah poligami bukan satu-satunya alasan kenapa dia memilih nama "Khadijah". "Ada banyak pertimbanganlah, bukan cuma itu (poligami). Misalnya, karena Khadijah itu adalah istri yang paling dicintai Rasulullah hingga akhir hayat beliau, sampai-sampai Aisyah sering cemburu dengan almarhumah (Khadijah)," begitu kira-kira yang teman saya katakan. Ah, kalau itu baru saya setuju..

Tuesday, December 04, 2007

sampai kerinduan itu hampir-hampir membinasakan...

Sangat baik apa yang ditulis dalam buku "Al-Quran Berjalan" karya Dr. A'idh Abdullah al-Qarni saat menjelaskan perihal periode terputusnya wahyu dari Allah kepada Rasulullah SAW selama 40 malam sejak wahyu pertama yang turun di Gua Hira. Al-Qarni menulis antara lain:

"Masa terputusnya wahyu itu adalah selama 40 malam. Itu terjadi agar Rasulullah SAW merindukan wahyu. Oleh sebab itu sebagian kaum bijak dan ahli hikmah berkata, "Jika kamu ingin saudaramu semakin mencintaimu, maka menjauhlah darinya untuk sementara waktu. Dengan begitu, saudaramu itu akan semakin terkait hatinya denganmu."

Dengan terputusnya wahyu untuk beberapa waktu, Allah bermaksud menimbulkan kerinduan dalam hati Nabi SAW terhadap wahyu. Oleh karena itu, Allah menghentikan wahyu kepada beliau selama 40 malam."

Menurut riwayat, Nabi SAW memang dilanda kerinduan dan kesedihan yang sedemikian hebat saat wahyu tidak lagi turun kepada beliau. Kerinduan beliau tersebut begitu dahsyatnya sampai hampir-hampir membinasakan beliau. Dikatakan oleh sebagian riwayat bahwa pada masa-masa itu beliau naik ke puncak gunung dan terbersit keinginan untuk melemparkan diri dari puncak gunung. Mengenai hal ini al-Qarni menulis:

"Dalam kesedihan yang mendalam seperti itu, seorang wanita musyrik yang sudah tua renta berkata, "Tuhan(nya) Muhammad telah membencinya dan setannya telah meninggalkannya." Maka turunlah ayat yang berbunyi, "Demi waktu matahari naik sepenggalahan, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu." (QS adh-Dhuha [93]:1-3)"

Tapi, tidak semua ahli sejarah sepakat dengan versi riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah sampai berniat bunuh diri pada periode terputusnya wahyu tersebut. Pasalnya, versi cerita itu berasal dari kalangan sahabat dari sahabat Nabi. Dalam arti lain, periwayat berita itu yakni Ma'mur az-Zuhri adalah sahabat yang tidak hidup sezaman dengan Nabi SAW karena itu hadis (berita) yang dia sampaikan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Mengenai hal ini, dalam buku "Saat-saat Kritis dalam Kehidupan Rasulullah", Abd. Wahab Hamudah menulis:

"Riwayat mengenai keinginan Nabi untuk melemparkan dirinya dari puncak gunung berlawanan dengan cita-cita beliau sendiri. Sejak pertama beliau sangat berhasrat untuk memberi bimbingan kemanusiaan. Maka bagaimanapun tak mungkin beliau berfikir untuk bunuh diri.

Jika kita perhatikan memang benar Nabi lebih sering menyepi diri dari masa-masa sebelumnya. Tapi, hal itu tidak boleh diartikan dengan satu kesimpulan yang tidak masuk akal yaitu kepergiannya ke gunung itu diartikan untuk menjatuhkan dirinya karena putus asa. Kesimpulan demikian sama sekali tidak beralasan dan tak punya sandaran."

Mengenai cerita itu, Saya pribadi mengikuti pendapat yang kedua. Namun, lepas dari cerita yang terakhir, jelas bahwa Rasulullah sangat sedih dan merindukan turunnya kembali wahyu dari Allah. Ditundanya wahyu kedua dari Allah selama beberapa waktu lamanya boleh jadi untuk menguji keteguhan hati Nabi. Karena itulah, untuk menunggu datangnya wahyu tersebut Rasulullah semakin sering ke gunung lebih dari yang biasa beliau lakukan. "Hal itu beliau lakukan karena sedang mencari nur samawi yang menghilang dan dirindukannya untuk kembali," demikian tulis Hamudah.

Jadi, berbahagialah jika anda selalu menyimpan kerinduan kepada orang-orang yang anda sayangi. Selalu berpikir positiflah kalau yang anda rindukan itu juga merindukan anda karena kecintaan dia kepada anda. Kalaupun sekiranya dia tidak merindukan anda, lakukanlah sesuatu yang bisa membuat dia merindukan anda. Buatlah sesuatu sehingga anda tinggal di hatinya, seperti halnya wahyu dari Langit telah menghujam dalam di hati Rasulullah.

Kecuali kerinduan terhadap Allah dan Rasulullah yang semakin baik jika sering diungkapkan, rahasiakanlah kerinduan anda terhadap orang-orang yang anda cintai jika ingin kerinduan itu bertambah manis dari hari ke hari. Sampai kerinduan itu hampir-hampir membinasakan kita.. Wallahu 'alam.